Pesan Transformatif dari Peristiwa Isra’ Mi’raj

Dalam perspektif sosio-historis, peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw di tahun 620 M merupakan salah satu etape terpenting dalam rangkaian perjuangan berat beliau melanjutkan transformasi moral, sosial, dan spiritual manusia secara mondial. Namun, karena dipandang bersifat adialamiah, seringkali seremoni mengenang peristiwa tersebut di kalangan masyarakat Muslim lebih menyerupai ajang mendengarkan dongeng tentang tahap-tahap perjalanan malam beliau dari Mekah ke Jerusalem, lalu menanjak menembus tujuh petala langit. Dari waktu ke waktu, mimbar-mimbar peringatan Isra Mi’raj hanya berceloteh tentang “bagaimana” ketimbang “mengapa” peristiwa itu terjadi. Maka makna dan pesan terpenting bagi transformasi sosio-moral dan spiritual umat manusia dari peristiwa itu pun kerap tertimbun ritus seremoni tahunan yang makin sarat nuansa hiburan, simbolisasi kesalehan dan selebrasi politik.
Berjilid-jilid buku telah ditulis para ulama dan sarjana yang mengulas interpretasi mereka terhadap setiap stasiun perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi saw. Karena itu, kita hampir-hampir tidak perlu lagi berbicara tentang bagaimana, tapi mengapa, peristiwa itu terjadi, paling tidak dari sudut pandang sejarah sosial. Menurut saya, ada tiga pesan penting yang perlu dikapitalisasi setiap kali kita harus mengenang peristiwa itu guna mereguk hikmahnya bagi perjalanan hidup duniawi kita.
Pertama, di balik setiap tantangan berat yang harus dihadapi seorang manusia, Tuhan akan menganugerahkan sebuah momen yang menentramkan jiwa. Isra’ Mi’raj adalah momen seperti itu bagi Nab. Momen keindahan dan kenikmatan spiritual yang tak tepermanaikan. Sekelebat perjalanan tertinggi yang dapat dibayangkan seorang manusia yang mendambakan pertemuan dan perjamuan dengan Tuhannya. Sebongkah anugerah terbesar yang diberikan Allah hanya kepada hamba terbaik-nya, justru di saat dia masih hidup di dunia. Kenyataanya, hanya setelah momen itulah, sebuah transformasi individual dan sosial baru dapat diwujudkan Nabi secara total, yang diawali dengan migrasi beliau dan para sahabatnya dari Mekah ke Yastrib (Madinah).
Sebelum ber-Isra’ dan Mi’raj, Nabi mengalami tiga ujian terberat di awal misi kenabiannya: meninggalnya dua penolong dan pelindung utama beliau, istrinya, Khadijah, dan pamannya, Abu Thalib, ditambah dengan semakin kerasnya tantangan kaum kafir Quraish terhadap beliau. Jadi sesungguhnya Isra’ Mi’raj merupakan pelipur lara bagi Nabi saat berada di puncak penderitaannya. Itulah sebabnya, tahun saat Nabi Isra’ juga biasa disebut tahun kedukaan. Tapi Allah mahaadil, di balik kedukaan yang mencekam, tersembunyi kebahagiaan yang membungkam. Hanya mereka yang telah melakukan perjalanan malam yang bakal meraih fajar kemenangan.
Kedua, ketika Nabi berada pada “jarak” terdekat yang dapat dicapai seorang hamba dengan Allah, apa pun permintaan Nabi sebenarnya bisa dipenuhi Allah. Tapi dalam puncak tertinggi ekstase spiritual (mystical union) karena “berdua-duaan” dengan Allah itu, Nabi bukannya minta supaya dikekalkan dalam maqam spiritual tertinggi itu guna selamanya menghindari tantangan berat di dunia bawah sana. Nabi justru memohon agar Allah menyelamatkan umatnya dari siksaan berat neraka yang simulasinya telah beliau saksikan dalam perjalanan Isra’. Nabi bahkan segera minta pamit turun kembali ke bumi, menemui umatnya dan melanjutkan hidup bersama mereka hingga akhir hayat beliau. “Muhammad dari Arabia naik ke langit tertinggi dan kembali. Demi Allah, aku bersumpah kalau aku seperti dia, tentu aku takkan mau kembali,” dendang seorang sufi Indo-Pakistani dalam seuntai puisinya yang dikutip Muhammad Iqbal pada awal bab kelima dari The Reconstruction of Religious Thought-nya.
Apa hikmah yang bisa ditenggak dari sini? Perjalanan spiritual sejati seseorang ternyata bukan berakhir tatkala dia telah merasa sudah sedemikian dekat dengan Allah. Sebaliknya, justru setelah sedemikian dekat dengan-Nya, seseorang penempuh jalan spiritual harus kembali ke komunitas manusia di dunia nyata, lalu hidup dan berjuang bersama dan untuk mereka. Seperti Nabi, beliau kembali ke Mekah dan setelah itu berhijrah ke Madinah dan membangun sebuah masyarakat keagamaan yang cahayanya masih memancar ke hampir seluruh pojok bumi hingga hari ini. Oleh karena itu, rute perjalanan spiritual sejatinya adalah berawal dari diri sendiri menuju Allah lalu kembali ke pengabdian pada sesama yang disinari petunjuk Allah.
Ketiga, Nabi menerima perintah shalat lima waktu saat Mi’raj. Seringkali, saat rindu pada Mi’rajnya itu, beliau meminta Bilal untuk segera menggemakan azan supaya beliau bisa segera bershalat demi mengenang peristiwa itu. "Shalat adalah mi’rajnya orang-orang Mukmin", kata beliau. Karena itu, shalat hampir-hampir identik dengan Mi’raj, yaitu sebagai tangga wujud dalam mencapai persatuan spiritualj dengan Yang Qudus.
Setiap manusia yang sukses rupanya memiliki ritus kontemplasi yang hebat. Gay Hendricks dan Kate Ludeman dalam buku mereka, "The Corporeat Mystic" (1996) menemukan bahwa di antara 11 karakter pengusaha dan eksekutif sukses di Amerika Serikat adalah spiritualitas dan pengetahuan diri. Mereka adalah mistikus sejati, dengan teknik meditasinya masing-masing. Selain memiliki jaringan dan hubungan kemanusiaan yang kuat dan hangat, orang-orang besar ternyata sangat merawat hubungan intim dengan Tuhan Yang Kudus. Dengan kata lain, mereka menjaga harmoni antara kontemplasi dan aksi, seperti Nabi yang tidak putus-putusnya bersimpuh di hadapan Allah sembari mendedikasikan seluruh hidup dan matinya demi umat yang sangat dicintainya.
Nah, shalat adalah salah satu medium paling efektif dan efisien untuk berkomunikasi intim dengan Tuhan, baik untuk tujuan mendapatkan orgasme atau ejakulasi spiritual secara individual maupun untuk memperoleh ilham, motivasi dan kepercayaan diri menghadapi tantangan dunia eksternal yang berat. Hanya orang yang mampu menjaga hubungan vertikal dan horizontal seperti inilah yang mampu mencapai kegemilangan hidup. Jika tidak, dia hanyalah seorang hipokrit bahkan pemimpi. Dalam Islam disebutkan, hanya orang yang tulus menjalin hubungan baik dengan dan mengasihi sesama makhluk yang akan dapat mendapatkan keridaan Tuhan. Kata Nabi saw, "Barangsiapa tidak menyayangi, tidak akan disayangi," dan "Kasihilah makhluk di bumi, nanti engkau dikasihi yang di langit".

Comments

Popular posts from this blog

Arung, Topanrita dan Relasi Kuasa di Sulsel

Memperebutkan Makna Islam

Obama dan Kita Menjelang Pesta Demokrasi 09