Posts

Showing posts from February 24, 2008

Makassar Kota Bersejarah atau Kota “Gila”?(Catatan dari Seminar Nasional 400 Tahun Makasar)

Di tengah eskalasi ketergerusan budaya lokal akibat terjangan ombak besar globalisasi gaya hidup konsumtif dan pragmatis di hampir seluruh pelosok Nusantara dewasa ini, Seminar Nasional 400 Tahun Makassar Sabtu (30/6) kemarin bertema ”Menemukenali dan Merangkai Sejarah dan Budaya Makassar,” terasa meniupkan angin segar. Hajatan Lontara Management Center dan Pemkot Makassar ini menghadirkan enam pakar dan lebih 400 peserta dari berbagai kalangan di Hotel Sahid Makassar. Tujuan seminar cukup realistis: menelusuri khazanah dan jejak keunikan sejarah dan budaya Kota Makassar dalam konteks global dan merumuskan upaya strategis dan sistemik bagi reinvensi, revitalisasi, reintegrasi dan resosialisasi nilai-nilai kesejarahan dan budaya tersebut untuk mengembalikan eksistensi Makassar sebagai kota yang ramah, terbuka, toleran, aman dan nyaman bagi warganya seperti empat abad silam. Shaifuddin Bahrum, yang tampil pertama di sesi pagi, membahas sejumlah unsur dan nilai kebudayaan Makassar yang

Anda adalah Handphone Anda

Apa bedanya orang kaya sejati dan orang kaya baru, tepatnya, orang yang berusaha dipandang kaya (populer disebut OKB)? Kawan saya, seorang juragan minyak tanah, punya jawabannya. Orang kaya sejati biasanya tak lagi suka terang-terangan pamer kekayaan. Memang mereka masih kerap terlihat memakai aksesoris orang kaya. Tapi, mereka taklagi menghiraukan simbol-simbol itu bisa selalu dilihat orang. Pemilihan dan pemakaian barang-barang berkualitas tinggi dan mahal tampaknya bukan lagi buat menegaskan prestise sosial-ekonomi mereka, melainkan demi kenyamanan saja. Kalau OKB? Menurut kawan saya yang lain, OKB justru sebaliknya. Masih disibukkan dengan penampakan simbol, icon atau logo dan merek produk yang mengesankan diri sebagai kalangan berduit. Misalnya, bagaimana memilih restoran mewah, merek pakaian, gaya check-in di hotel, jenis musik, filem, dan hiburan lain yang dinikmati, bahkan macam olah raga yang dimainkan. Kepercayaan diri --confidence, alias "pede"-nya-- OKB masih ba

Makassar Gemar Membaca atau Berbelanja?

Tulisan M. Aan Mansyur bertajuk “Apa Kabar Makassar Membaca” di koran ini ( Tribun 16/1 ) bisa memantik perbincangan lebih serius tentang Gerakan Makassar Gemar Membaca (GMGM). Saya setuju dengan sebagian besar tanggapan, kritikan dan saran Aan atas program yang dicanangkan Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar awal Juni 2005 lalu itu. Lepas dari reliability hasil survei yang dikemukakannya, temuannya itu tetap berguna dalam menganalisis masalah ini lebih jauh. Tulisan ini sekedar ikut menyemarakkan diskusi tentang GMGM, sebuah program penting yang sayangnya tak pernah jadi “berita besar” di kota ini. Karena pentingnya kegemaran membaca bagi kemajuan sebuah bangsa, program semacam GMGM memang sudah sangat “telat” dimulai, seperti ditulis Aan. Bukan hanya di Makassar , di hampir seluruh pelosok negeri ini, minat baca masyarakat sudah lama tertindih oleh kegemaran lain yang kontraproduktif bagi kemajuan sebuah bangsa. Sebelum gemar membaca, masyarakat sudah terlanjur gemar nonton TV, n

Belajar dari Jim Moody

James Powers Moody, akrab dipanggil Jim, adalah anggota partai Demokrat yang mewakili Negara Bagian Wisconsin di House of Representative (DPR) Amerika Serikat selama 10 tahun (1983-1993). Jika senator (DPD) dipilih setiap 6 tahun sekali, anggota House of Representative (DPR) dipilih setiap 2 tahun. Sebelumnya, Jim adalah legislator di Negara Bagian Wisconsin (1979-1982), semacam anggota DPRD provinsi di Indonesia. Di Musim Panas 2004 yang gerah di sebuah aula kecil di Kampus Tenley, American University yang terletak di jantung kota Washington DC, saya berkesempatan mendengar dan menerjemahkan ceramah panjang Jim Moody tentang pengalamannya menjadi anggota DPR. Audiensnya, 40 pelajar SLTA dari Indonesia peserta “Youth Leadership Program” ke Amerika Serikat. Organiser program tersebut adalah sebuah LSM di Richmond, VA., tempat saya bekerja partimer sebagai interpreter selama liburan semester semasa kuliah di Universitas Temple, Philadelphia. Yang paling menarik dari cerita Jim adalah

Pendidikan Nasional dan Tanggung Jawab Lokal

Sudah menjadi pengetahuan dan kesadaran umum bahwa pendidikan merupakan salah satu masalah yang sangat kompleks dan akut di Indonesia sejak beberapa dekade terakhir. Tidak sulit menghabiskan puluhan lembar kertas, bahkan ratusan halaman buku, untuk menulis tentang krisis pendidikan kita. Sudah terlalu banyak diskusi, talkshow, seminar, workshop, simposium, konferensi dan sejenisnya yang kita selenggarakan khusus untuk membicarakan masalah pendidikan kita. Namun, tampaknya semua perhelatan tersebut belum mampu mengatasi krisis akut dan nestapa yang dialami dunia pendidikan kita. Makalah ini tidak dimaksudkan untuk sekedar menambah tingginya tumpukan makalah dan artikel yang menawarkan solusi atas masalah-masalah pendidikan kita. Mungkin lebih tepat jika tulisan ini disebut sebagai sekedar ekspresi kerisauan dan kekesalan seorang non-pakar pendidikan yang juga sdang merasakan nestapa dunia pendidikan di Indonesia. Masalah-masalah Klasik dalam Pendidikan Kita Dalam pandangan seju