Posts

Showing posts from 2008

Panduan Untuk Calon Bupati

Image
Setelah beberapa hari kedatangan bulan Ramadan tahun ini, saat meriang pilkada di beberapa daerah di Sulsel sedikit menurun, aku kedatangan pula seorang tokoh dari daerah kelahiranku. Entah mengapa, dia minta saranku atas rencananya ikut hajatan demokrasi di daerahnya tahun ini. Tapi lebih dari sekadar saran, aku malah mendiktekan semacam panduan yang kusebut ”Esprit.” Singkatan dari empat Si enam Prioritas. Pertama, lakukan refleksi atas niat Anda ikut pilkada. Sungguh-sungguhkah Anda mau mengabdikan diri untuk kebaikan rakyat di daerah Anda? Tidakkah Anda sekedar tergoda kecenderungan meluapkan syahwat kuasa dan menumpuk-numpuk kekayaan? Atau tersulut gairah dan emosi mengalahkan calon lain? Jika kedua hal terakhir ini motivasinya, berhentilah! Malulah pada diri sendiri dan Allah untuk tetap ngotot maju. Sebab, niat menentukan proses dan resultan semua perbuatan. Menjadi bupati bukan sekadar faktor banyaknya bakat dan besarnya minat, tapi terutama sucinya niat. Kedua, introspeksi pot

Keberagamaan yang Kekanak-kanakan

Dalam salah satu mailing list di internet, seorang teman mempertanyakan relevansi agama bagi kalangan ilmuan. Dia mengurai sejumlah riset ilmiah yang berimplikasi pada kesimpulan, semakin pintar seseorang, semakin ragu dia terhadap perlunya agama dalam kehidupan. Dia bertanya, “Apakah Tuhan dan agama memang hanya konsumsi orang bodoh?” Sehingga, “Semakin bodoh (dan lemah dan miskin) seseorang atau suatu kelompok, semakin percaya mereka pada Tuhan dan resep-resep agama?” Dalam diskusi itu, saya menawarkan sebuah jawaban panjang yang ringkasannya berikut ini. Jika kebodohan identik dengan kekanak-kanakan, maka jawaban atas pertanyaan di atas adalah afirmatif. Mengapa? Bagi banyak filosof, agama terutama diperlukan oleh seseorang yang masih berada pada fase “kanak-kanak.” Pada tahap ini, secara potensial dan aktual, akal manusia belum sepenuhnya berkembang untuk melakukan refleksi intelektual yang mandiri guna menjawab problem hidup mereka. Sejumlah filosof dan teolog Muslim rasional s

Seolah-olah Puisi Ramadan

(#1) Welcome Ya Ramadan Ramadan penuh berkah Dalam geliat doa dan dosa Di puncak kepayang pada dunia Kau datang lagi tanpa gegap gempita Bersamamu, padamu Harapanku menggebu Mengurai buhul dosa membatu Menabung obral pahala Mendapat perisai api neraka Tapi selalu kudisiksa ragu Tentang keluasan ceruk hatiku Juga kelapangan waktuku Menerima dan memanfaatkan kedatanganmu Sementara rasa sesak di dada bergemuruh Menggema keras melintas lembah Aku mengalir diam luluh Seperti air mata tumpah ruah Pelan-pelan hatiku menangis pilu Meratapi diri yang tak kunjung tipu Sementara aku menampung awan kelabu Untuk sekejap curahan air mata biru Sebagai isyarat luluhnya hati yang beku Pendulum waktu mengayun kencang Dan Ramadan terus mengalir tenang Lalu membumbung kembali ke langit terang Meninggalkanku yang sedang gamang Tuhan Kalau bukan karena kasih-Mu Aku akan selalu gagal menemui-Mu Karena aku-ku terselimuti tujuh tirai biru Yang menghalangi pandanganku ke

Kapankah Kita Akan Bahagia?

Image
Tulisan berikut adalah salah satu posting saya di milis UIN-Makassar@yahoogroups.com Seringkali kita merasa kebahagiaan itu baru bisa tercapai di masa depan yang masih sangat jauh, dan kita sering merasa begitu yakin bahwa masa depan yang kita bayangkan itu akan tercapai sesuai rencana kita. Karena itulah, seringkali detik demi menit demi jam demi hari demi minggu demi bulan demi tahun demi dekade demi perempatan abad, bahkan demi paruh abad dan demi millenium, setiap moment dalam hidup kita kita habiskan hanya untuk memburu dan terus memburu angan-angan dan cita-cita tersebut. Akibatnya hak tubuh sering kita abaikan, hak rohani kita ketepikan, hak keluarga kita acuhkan, hak masyarakat kita langgar, hak Tuhan kita lupakan....lalu kita pun lupa pada diri kita sendiri: kita ini siapa? kita ini ada di sini dan saat ini untuk apa? dan kita ini mau ke mana? dan apakah itu KEBAHAGIAAN..??? Kata Allah, “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mer

Pesan Transformatif dari Peristiwa Isra’ Mi’raj

Dalam perspektif sosio-historis, peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw di tahun 620 M merupakan salah satu etape terpenting dalam rangkaian perjuangan berat beliau melanjutkan transformasi moral, sosial, dan spiritual manusia secara mondial. Namun, karena dipandang bersifat adialamiah, seringkali seremoni mengenang peristiwa tersebut di kalangan masyarakat Muslim lebih menyerupai ajang mendengarkan dongeng tentang tahap-tahap perjalanan malam beliau dari Mekah ke Jerusalem, lalu menanjak menembus tujuh petala langit. Dari waktu ke waktu, mimbar-mimbar peringatan Isra Mi’raj hanya berceloteh tentang “bagaimana” ketimbang “mengapa” peristiwa itu terjadi. Maka makna dan pesan terpenting bagi transformasi sosio-moral dan spiritual umat manusia dari peristiwa itu pun kerap tertimbun ritus seremoni tahunan yang makin sarat nuansa hiburan, simbolisasi kesalehan dan selebrasi politik. Berjilid-jilid buku telah ditulis para ulama dan sarjana yang mengulas interpretasi mereka terhadap

Pemimpin Adalah Refleksi Keadaan Masyarakatnya

Image
“ Kamâ takũnũna yuw all â ‘ alaikum ” (se b aga i m a na keadaan kalia n, demikian pula ditetapkan penguasa atas kalian). Ungkapan di ata s ad a lah di antara hadis Nabi Muhammad saw yang tergolon g ringkas tapi sarat makna ( ja wâ mi’ al-kalîm ). Pertama , kalimat itu d apat bermakna , pedoman sekaligus perintah kepada masyarakat untuk menyalurkan kehendak mereka melalui upaya pemilihan dalam menetapkan pemimpin/penguasa. Kedua , seorang penguasa atau pemimpin adalah cerminan dari keadaan masyarakatnya. Pemimpin/penguasa yang baik adalah dia yang dapat menangkap aspirasi masyarakatnya, sedang masyarakat yang baik adalah yang berusaha mewujudkan pemimpin yang dapat menyalurkan aspirasi mereka. Ketiga , masyarakat tidak boleh terburu-buru menyalahkan pemimpin mereka yang menyeleweng, durhaka, atau membangkang. Sebab, pada dasarnya, yang bersalah adalah masyarakat itu sendiri. Bukankah pemimpin adalah refleksi dari keadaan masyarakatnya? Sebagaimana keadaan kalian, kata Nabi, demi

Wajo: Dari Demokrasi ke Feodalisme

Image
“ Daerah Wajo’ di kala itu merupakan tempat kebebasan berpikir dan bernalar bagi orang-orang yang datang berdiam di situ dari berbagai daerah seperti Bone, Luwu’, Soppeng, dan Gowa.... Dapatlah disimpulkan bahwa Wajo’ pada abad XV-XVI merupakan “Amerikanya” Sulawesi Selatan, di mana orang-orang yang tidak disukai di daerahnya masuk ke Wajo’ dan mempunyai kebebasan untuk mengeluarkan pendapat.” (A.Z. Abidin 1991, 130) Jika dibaca dalam perspektif modern, sejarah lokal Sulsel mencatat, hampir semua pilar demokrasi telah ditemukan eksistensinya di kerajaan Wajo abad XV-XVI. Kedaulatan rakyat, pemerintahan berdasarkan persetujuan yang diperintah, kekuasaan mayoritas, hak-hak minoritas, jaminan terhadap HAM, pemilihan yang bebas dan jujur, proses hukum yang adil dan egaliter, pembatasan pemerintah secara konstitusional, pluralisme sosio-politik-ekonomi, dan penghargaan terhadap nilai‑nilai toleransi, rasionalitas, kerja sama dan mufakat, adalah pilar-pilar utama demokrasi. Maka, menuru

Makassar Kota Bersejarah atau Kota “Gila”?(Catatan dari Seminar Nasional 400 Tahun Makasar)

Di tengah eskalasi ketergerusan budaya lokal akibat terjangan ombak besar globalisasi gaya hidup konsumtif dan pragmatis di hampir seluruh pelosok Nusantara dewasa ini, Seminar Nasional 400 Tahun Makassar Sabtu (30/6) kemarin bertema ”Menemukenali dan Merangkai Sejarah dan Budaya Makassar,” terasa meniupkan angin segar. Hajatan Lontara Management Center dan Pemkot Makassar ini menghadirkan enam pakar dan lebih 400 peserta dari berbagai kalangan di Hotel Sahid Makassar. Tujuan seminar cukup realistis: menelusuri khazanah dan jejak keunikan sejarah dan budaya Kota Makassar dalam konteks global dan merumuskan upaya strategis dan sistemik bagi reinvensi, revitalisasi, reintegrasi dan resosialisasi nilai-nilai kesejarahan dan budaya tersebut untuk mengembalikan eksistensi Makassar sebagai kota yang ramah, terbuka, toleran, aman dan nyaman bagi warganya seperti empat abad silam. Shaifuddin Bahrum, yang tampil pertama di sesi pagi, membahas sejumlah unsur dan nilai kebudayaan Makassar yang

Anda adalah Handphone Anda

Apa bedanya orang kaya sejati dan orang kaya baru, tepatnya, orang yang berusaha dipandang kaya (populer disebut OKB)? Kawan saya, seorang juragan minyak tanah, punya jawabannya. Orang kaya sejati biasanya tak lagi suka terang-terangan pamer kekayaan. Memang mereka masih kerap terlihat memakai aksesoris orang kaya. Tapi, mereka taklagi menghiraukan simbol-simbol itu bisa selalu dilihat orang. Pemilihan dan pemakaian barang-barang berkualitas tinggi dan mahal tampaknya bukan lagi buat menegaskan prestise sosial-ekonomi mereka, melainkan demi kenyamanan saja. Kalau OKB? Menurut kawan saya yang lain, OKB justru sebaliknya. Masih disibukkan dengan penampakan simbol, icon atau logo dan merek produk yang mengesankan diri sebagai kalangan berduit. Misalnya, bagaimana memilih restoran mewah, merek pakaian, gaya check-in di hotel, jenis musik, filem, dan hiburan lain yang dinikmati, bahkan macam olah raga yang dimainkan. Kepercayaan diri --confidence, alias "pede"-nya-- OKB masih ba

Makassar Gemar Membaca atau Berbelanja?

Tulisan M. Aan Mansyur bertajuk “Apa Kabar Makassar Membaca” di koran ini ( Tribun 16/1 ) bisa memantik perbincangan lebih serius tentang Gerakan Makassar Gemar Membaca (GMGM). Saya setuju dengan sebagian besar tanggapan, kritikan dan saran Aan atas program yang dicanangkan Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar awal Juni 2005 lalu itu. Lepas dari reliability hasil survei yang dikemukakannya, temuannya itu tetap berguna dalam menganalisis masalah ini lebih jauh. Tulisan ini sekedar ikut menyemarakkan diskusi tentang GMGM, sebuah program penting yang sayangnya tak pernah jadi “berita besar” di kota ini. Karena pentingnya kegemaran membaca bagi kemajuan sebuah bangsa, program semacam GMGM memang sudah sangat “telat” dimulai, seperti ditulis Aan. Bukan hanya di Makassar , di hampir seluruh pelosok negeri ini, minat baca masyarakat sudah lama tertindih oleh kegemaran lain yang kontraproduktif bagi kemajuan sebuah bangsa. Sebelum gemar membaca, masyarakat sudah terlanjur gemar nonton TV, n