Posts

Showing posts from 2006

Literalisme dan Liberalisme dalam Memahami Agama

Di mailing list yang menjadi forum pemikir muda (Muslim) Indonesia yang berhimpun dalam Jaringan Islam Liberal (JIL) berdiskusi di internet ( islamliberal@yahoogroups.com ), pernah terjadi diskusi hangat tentang berbagai tafsiran atas konsep “ shiratal mustaqim” (jalan yang lurus) yang waktu itu dipantik oleh Ulil Abshar Abdallah, kordinator JIL. Dalam pengajaran Islam tradisional, shirat di akhirat digambarkan dengan titian yang membentang di atas neraka menuju surga. Karena tajamnya, titian tersebut dikiaskan dengan rambut dibelah tujuh. Beberapa kawan JIL memandang gambaran titian seperti itu terlalu konkret untuk sebuah metafora metafisik, juga gambaran surga dan neraka. Tulisan berikut adalah salah satu posting saya dalam diskusi tersebut setelah diedit seperlunya. Sewaktu SD, ada satu komik di perpustakaan sekolah saya yang menggambarkan kehidupan di surga dan neraka, lengkap dengan naturalisasi atas tahap-tahap sebelum memasuki salah satunya. Salah satu gambaran natural

Memperebutkan Makna Islam

Apa itu Islam? Siapakah yang sejatinya disebut Muslim? Siapa yang berhak menilai seseorang bukan lagi "Muslim", misalnya dengan menuduhnya telah menjadi munafik atau kafir? Pertanyaan-pertanyaan ini telah menjadi subjek banyak perdebatan di kalangan pemikir Muslim sepanjang sejarah Islam. Kenyataannya, makna Islam telah menjadi sesuatu yang contested (diperebutkan) dan melahirkan sejumlah varian Islam yang masih bisa diidentifikasi hingga hari ini. Setidaknya, dalam wacana sehari-hari kita biasa mendengar ada Islam Sunni, Islam Syiah, Islam Liberal, Islam “Radikal”, Islam Literal, Islam Fundamentalis, Islam Moderat, dll. Memang, seharusnya Islam itu hanya satu, takperlu dibagi-bagi ( indivisible ) dan takperlu tambahan kata sifat ( adjective ). Namun, tetap saja Islam bisa dilihat dalam berbagai tataran perspektif. Al-Quran sendiri menunjukkan perbedaan tingkatan keberislaman, misalnya diilustrasikan dalam Surah 49:14: “Orang Arab pegunungan berkata ‘Kami sudah menerima

UIN, Apanya Yang Islami?

Apa yang membuat Universitas Islam Negeri (UIN) Islami? Apa konsekuensi akademik dari transformasi IAIN Alauddin ke UIN? Apa kontribusi sosio-kultural perubahan status itu bagi umat Islam di kawasan timur Indonesia khususnya? Pertanyaan seperti ini mungkin makin relevan diajukan menjelang terpilihnya rektor UIN Makassar akhir Maret ini. Transformasi IAIN ke UIN membawa sejumlah konsekuensi penting. Secara akademik, kajian UIN akan mencakup studi-studi Islam dan ilmu-ilmu umum (sekular). Input UIN tak lagi hanya dari madrasah, pesantren atau masyarakat pedesaan, tapi kalangan lebih luas dan beragam yang meminati fakultas-fakultas ilmu umum UIN. Ini menjadi tantangan berat UIN. Secara akademik, mengkaji dua bidang keilmuan yang berbeda dalam satu atap mencuatkan sejumlah masalah. Kehadiran mahasiswa dalam jumlah besar dari pelbagai latar belakang akan mendesak UIN merumuskan kebijakan akademik dan nonakademik yang kompatibel dengan kebutuhan mahasiswa. Untuk mewujudkan visinya s

IAIN, UIN dan Tradisi Intelektual Islam di Indonesia

Apakah peran penting dan unik IAIN yang harus dilanjutkan setelah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN)? Ini adalah salah satu pertanyaan yang masih kerap diajukan kalangan civitas akademika UIN Alauddin. Saya sendiri menunjuk kepada peran dan kontribusi IAIN sebagai lokomotif dan locus pengembangan tradisi intelektual Islam di Indonesia. Peran itu bahkan bisa dimainkan secara lebih optimal lagi karena ranah kajian keilmuan UIN akan lebih luas, mencakup ilmu-ilmu agama dan umum sekaligus. IAIN dipandang telah memberi kontribusi penting bagi pengembangan tradisi intelektual Islam di Indonesia. Sulit membayangkan wajah Islam Indonesia hari ini tanpa kehadiran IAIN di awal 1960-an. Pemikiran dan praktek Islam di Indonesia mungkin akan tetap dicoraki aliran-aliran fiqih, teologi dan tasawuf klasik yang dikenal sejak awal datangnya Islam ke nusantara. Pada dekade awal berdirinya, studi Islam di IAIN memang masih sangat kental orientasi dakwahnya. Akibatnya, pendekatannya pun cende

Kalau Aku Jadi Gubernur Sulsel

Menjadi seorang gubernur sebenarnya tidak pernah saya cita-citakan. Bukan karena jabatan itu mustahil saya gapai, entah di masa depan yang dekat atau jauh. Bukankah “ there is nothing impossible under the sun ,” kata sebuah pribahasa. Cita-cita sejati saya, secara spiritual, pada hakikatnya sama –jika takpongah disebut lebih-- mulia daripada sekadar menjadi seorang pejabat. Namun, mencermati perkembangan wacana tentang penjaringan bakal calon gubernur Sul-Sel dalam beberapa bulan terakhir ini, saya jadi tertarik untuk sekedar menawarkan kemungkinan visi dan gagasan saya jika menjadi gubernur Sul-Sel secara “imajiner”. Jauh sebelum saya menyatakan rencana saya mencalonkan diri jadi gubernur, insya Allah saya akan melakukan beberapa hal berikut, yang untuk mudahnya, saya singkat jadi empat “-si”. Pertama , saya akan melakukan refleksi atas niat saya menjadi seorang gubernur. Saya harus haqqul yaqin , motivasi dan niat sejati saya menjadi gubernur adalah untuk mengabdikan diri demi kem

Nasib Umat dalam Pilkada

“Saya mewaqafkan diri saya kepada umat,” kata seorang birokrat ketika namanya sempat disebut-sebut bakal diajukan koalisi parpol ikut pilkada gubernur tahun lalu. “Saya sih terserah aspirasi umat saja,” sergah seorang mantan balon lainnya mantap. “Dia tokoh yang mewakili umat,” seru sejumlah orang dengan bersemangat ketika seorang aktivis komite akhirnya dihela koalisi parpol terjun dalam kompetisi pilkada. Lalu ada bunyi poster pilkada, “Bangkit untuk umat dan bangsa.” Selain daftar panjang klaim, komentar, pernyataan politik, poster, banner dan baliho kampanye pilkada yang memuat kata “umat,”ada tiga parpol yang membentuk koalisi ”keumatan.” Namanya mengasumsikan diri sebagai representasi aspirasi politik umat. Seperti diketahui, belakangan koalisi ini lalu menjadi koalisi keumatan dan kebangsaan . Menjelang pilkada gubernur kemarin, ungkapan “umat” ( ummat ) kerap menyeruak dalam wacana parpol yang sedang menandu cagub/wagub. Klaim-klaim para dalang, pialang dan petualang polit