Merekayasa Perjumpaan Dengan Lailatulkadar
“Whether we like it
or not, we live surrounded by mysteries which logically and existentially lead
us towards transendence.” (F. Schuon dalam Echos of Perennial
Wisdom,1992, 3).(Suka atau tidak, hidup kita dilingkupi oleh
misteri-misteri yang secara logis dan eksistensial membawa kita kepada
transendensi).
Lailat al-qadar atau
lailatulkadar (dalam KBBI) adalah salah satu misteri dalam kehidupan Muslim yang juga dapat
membawa kepada transendensi. Karena merupakan misteri, peluang interpretasi
tentang waktu, makna, dan hakikat peristiwa itu selalu terbuka. Para ulama pun
telah menulis ribuan buku yang mengurai misteri ini.
Maka tiap Ramadhan
tiba, lailatulkadar menjadi sebuah momen yang paling ditunggu-tunggu kaum
muslim. Alquran menyebut malam ini lebih baik daripada seribu bulan. Dengan
seizin Allah, para malaikat dan ruh (jibril) turun ke bumi, mengatur segala
perkara. Kedamaian pun tercipta hingga fajar menyingsing (al-Qadr: 3-5).
Dalam penjelasan
klasiknya, orang yang kebetulan beribadah di saat lailatulkadar akan memperoleh
banyak anugerah dan megabonus pahala. Nilai ibadah mereka yang terjaga persis
di momen itu disebut setakat dengan ibadah selama seribu bulan. Doa-doa yang
dipanjatkan pun akan dikabulkan Allah, terutama permohonan ampunan atas
dosa-dosa di masa silam.
Namun karena saat
pasti bagi lailatulakadar selalu merupakan misteri, kaum Muslim kerapkali lebih
memilih sikap pasif sembari berharap bisa sontak atau kebetulan terjaga lalu
bangkit beribadah di malam mulia itu. Lailatulkadar lantas menjadi semacam
perjudian. Teks-teks agama menganjurkan peristiwa itu dicari pada malam-malam
ganjil di sepuluh likur terakhir Ramadhan. Akibatnya, kebanyakan Muslim –yang memang
punya semangat untuk itu--- baru berupaya menggiatkan ibadah ritual pada
malam-malam itu.
Menurut Prof Quraish
Shihab (1996: 539), dari segi bahasa, ‘qadr’ bisa berarti mulia, sempit, dan
ketetapan. Disebut ‘mulia’, karena di malam itu Alquran diturunkan. ‘Sempit’
karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi saat itu. Dan ‘malam ketetapan’,
karena pada malam itu Tuhan menetapkan sesuatu berkaitan dengan kehidupan umat
manusia.
Penulis kitab terjemah
dan tafsir ‘the Holy Qur’an’, Abdullah Yusuf Ali (1988), memaknai lailatulkadar
sebagai momen pencerahan (moment of
enlightenment) karena ia mengubah malam kegelapan jiwa menjadi
kecemerlangan spiritual dalam diri manusia yang mengalaminya. Ia menghalau
kegelapan hidup manusia akibat kebodohan dalam menghadapi segala urusannya.
Jadi, sesungguhnya, lailatulkadar
mentransendensikan waktu dalam pengertian normal. Menurut sejumlah ahli tafsir,
angka seribu di sini tak mesti merujuk kepada satu ukuran waktu tertentu,
tetapi pada suatu periode masa yang sangat panjang.
Malam tersebut juga
tidak merujuk pada gagasan kita tentang ukuran waktu berdasarkan rotasi bumi,
tapi pada "Waktu yang tak bermasa". Pemahaman seperti ini
menyelesaikan paradoks tentang ketidakmungkinan lailatulkadar terjadi pada
seluruh penduduk bumi pada saat bersamaan. Bukankah ketika malam menyelimuti
satu belahan bumi, belahan lainnya justru sedang bermandikan sinar mentari.
Atau bahkan tak pernah mendapatkan malam sama sekali seperti sejumlah negara
dekat kutub utara selama musim panas.
Karena itu,
lailatulkadar sesungguhnya adalah peristiwa yang terjadi pada tataran transfisik
dan metafisik. Ia melintasi konteks ruang dan waktu. Ia tidak mesti terjadi di
ranah makrokosmik (semesta) tapi mikrokosmik (diri manusia).
Pada tataran ini,
peralihan malam dan siang tidak lagi relevan. Secara fisikal mungkin ada jutaan
orang yang sengaja terjaga persis saat agung itu terjadi, misalnya karena
iktikaf di masjid atau begadang di warung kopi.
Namun, yang mampu
secara sadar merasakan kedatangannya hanyalah mereka yang telah melakukan
pendakian spiritual dengan menapaki tangga-tangga eksistensi hingga ke tataran
metafisik, melintasi ruang-ruang terestrial dan melampaui kediriannya. Dan itu
mereka capai lewat upaya laku kontemplatif yang intens dan konsisten.
Ketika malam kegelapan
spiritual seseorang disibakkan oleh cahaya keagungan Allah, muncullah perasan
damai luar biasa dalam jiwanya. Dan sekali seseorang telah merengkuh anugerah
ini maka sejak itu seluruh dimensi hidupnya akan mengalami transformasi hingga tiba
masanya dia harus beralih ke alam berikutnya setelah kematian jasmaniah di
dunia-material.
Dengan begitu,
kegelapan jiwa berubah menjadi kecemerlangan spiritual, yang akan menerangi dan
mewarnai segenap etape perjalanan hidup berikutnya, yang mungkin akan berakhir
setelah seseorang berusia seribu bulan atau 83 tahun.
Sebagai momen
pencerahan, lailatulkadar membekali seseorang dengan visi yang lebih terang
tentang masa depan. Laksana menemukan seberkas cahaya di ujung lorong gua waktu
yang panjang dan gelap.
Dalam perspektif ini,
lailatulkadar jelas bukan sesuatu yang gratis dan aksidental (kebetulan). Semacam
anugerah yang sontak mendatangi seseorang yang tak pernah sama sekali
mempersiapkan diri secara spiritual untuk itu. Alih-alih menjadi awal upaya pencerahan
atau transformasi diri, ia justru adalah akhir perjuangan seseorang sepanjang
hayatnya dalam mengasah kecemerlangan jiwanya tahap demi tahap, lewat upaya
pematangan intelektual, penyucian moral, dan penajaman spiritual.
Dengan kata lain,
lailatulkadar adalah semacam wisuda atau malam inaugurasi dari Allah, diwakili
para malaikat yang dipimpin Jibril, yang turun ke bumi, sebagai pengakuan dan
penghargaan Allah atas upaya keras dan ajeg seorang hamba dalam mentransformasi
diri dan mencari pencerahan. Tanpa perubahan dalam dimensi ini lebih dulu,
seseorang mustahil melakukan transformasi dan transendensi hidup secara total.
"To be human," kata Seyyed Hossein Nasr (1986), "is to
know and also to transcend oneself" (Menjadi manusia berarti mengetahui
dan mentransendensikan diri).
Oleh karena itu, untuk
merengkuh lailatulkadar, pengondisian diri secara sadar dan sabar lewat upaya
penyucian jiwa dalam wujud latihan spiritual yang berat jauh sebelum Ramadhan
tiba adalah kemustian. Dengan begitu, lailatulkadar bukan lagi sebuah momen
yang harus ditunggu-tunggu, tapi dijemput atau direkayasa. Ia taklagi harus
ditunggu di likur terakhir Ramadan, tapi mungkin bisa kapan saja. Sebab ia
bukan lagi sekedar soal ruang dan waktu, tapi kehendak dan tindakan.
*(Pernah dimuat di Harian Fajar, pada September 2009).
*(Pernah dimuat di Harian Fajar, pada September 2009).
-->
Comments