Islam: Antara Ritualisme Simbolik dan Aktivisme Sosial

Jika Islam adalah agama yang mengajarkan nilai-nilai kebaikan, kebenaran dan keindahan mengapa masih banyak Muslim yang justru --dalam beragam bentuk dan intensitasnya-- mengamalkan nilai-nilai yang berkebalikan: kejahatan moral, kebohongan kata-kata, keburukan ekspresi jiwa? Dengan kata lain, mengapa selalu ada paradoks antara ajaran ideal-normatif Islam dengan kenyataan kehidupan sosio-historis kaum Muslim pengamal ajaran itu? Contoh paling sederhana, Indonesia diakui sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Tapi, ironisnya, Indonesia juga diakui sebagai salah satu negara paling korup di dunia, negara di mana kasus-kasus perusakan lingkungan sangat memperhatinkan, pelanggaran hukum dan HAM yang cukup mencengankan.

Pertanyaan senada yang mungkin menarik, apa artinya bila setiap kali orang-orang Muslim Indonesia beribadah, tapi mereka tidak mampu menghilangkan berbagai bentuk kemungkaran di bumi Indonesia ini? Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta, November 2001 lalu, meneliti pola keberagamaan umat Islam Indonesia melalui wawancara dengan sekitar 2.000 responden dari 16 provinsi utama di Indonesia. Hasilnya, sebagian besar orang Islam Indonesia mengaku semakin santri (Tempo, 24-30/12/2001). Artinya, mereka makin taat menjalankan ibadah-ibadah ritual wajib seperti shalat, puasa dan haji serta mulai meninggalkan tradisi kaum abangan menurut kategorisasi Clifford Geertz tentang tiga varian Islam di Indonesia: santri, abangan dan priyayi. Paradoksnya, masih menurut hasil penelitian ini, terlihat kecenderungan meningkatnya tingkat intoleransi terhadap penganut agama, mazhab/paham, dan ideologi di luar kalangan mereka yang “makin santri” itu. Dengan kata lain, masih ada kesenjangan antara antara “pemahaman” dan “pelaksanaan” ajaran Islam di kalangan umat Islam. Atau, dalam ungkapan Jalaluddin Rakhmat, terdapat kesenjangan antara “Islam konseptual” dan “Islam aktual.” Islam yang disebut pertama terdapat dalam Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan buku-buku, atau ceramah-ceramah tentang keislaman. Sementara yang kedua terdapat dalam prilaku para pemeluknya (J. Rakhmat, 1991).

Tanpa belajar dari penelitian ini pun, adanya fenomena kebangkitan semangat beragama di kalangan umat Islam Indonesia sebenarnya bisa dengan mudah ditemukan. Setiap kali Ramadhan tiba, misalnya, masjid-masjid penuh jamaah, buka puasa, tarwih bersama dan pengajian Ramadhan tampak semakin semarak, termasuk yang dilakukan di rumah-rumah pejabat. Setiap kali musim haji tiba, lembaga-lembaga pengelola haji, dengan sedikit bangga, selalu mengakui adanya peningkatan luar biasa calon jamaah haji Indonesia. Kuota haji Indonesia dirasa selalu tidak cukup dari tahun ke tahun. Dalam beberapa tahun terakhir ini, mengikuti teman-teman mereka di Aceh, kelompok-kelompok Muslim tertentu di beberapa daerah di Indonesia tampak semakin bersemangat mengupayakan penegakan “syariat Islam” dalam kehidupan sosial-politik di daerah-daerah bersangkutan.

Apakah semua fenomena keberagamaan yang disebutkan di atas bisa dijadikan sebagai penanda penting terhadap adanya kebangkitan kesadaran agama? Jawabannya tentu bisa afirmatif dan negatif. Namun, umat Islam Indonesia tampaknya sudah saatnya mewaspadai adanya gejala yang menipu terhadap maraknya aktivitas keislaman sebagai isu kebangkitan umat. Sudah selayaknya dipahami, pembicaraan tentang fenomena keberagamaan tidak boleh sekedar terfokus pada satu dimensi agama saja. Perbedaan indikator dalam memandang agama kerapkali menyebabkan ketegangan di kalangan peneliti agama ketika mereka mencoba mengukur fenomena agama dalam berbagai dimensinya.

Menurut Glock and Stark, kedua-duanya sosiolog agama, paling tidak agama terdiri atas lima dimensi: ritual, mistikal, ideologikal, intelektual, dan sosial (Glock dan Stark,1965:20-21). Upacara-upacara keagamaan (religious rites) seperti shalat, dzikir, misa atau kebaktian termasuk ke dalam dimensi ritual agama. Sementara dimensi mistikal (mystical dimension) termanifestasikan dalam pengalaman keagamaan yang meliputi paling sedikit empat aspek: dorongan pencarian makna hidup, kesadaran akan kehadiran Yang Mahakuasa, tawakal, dan takwa. Dimensi ideologikal merunut pada seperangkat kepercayaan tentang eksistensi manusia vis a vis Tuhan dan makhluk-Nya yang lain. Konsep kekhalifahan manusia di bumi (khalifatan fil ‘ard) dengan memikul tugas untuk memakmurkan bumi berdasarkan perintah Allah, dalam Islam, harus dipahami dalam dimensi ini. Sementara dimensi intelektual merujuk pada pada tingkat kedalaman dan keluasan pemahaman orang terhadap doktrin-doktrin agamanya. Terakhir, dimensi sosial (consequential dimension) mencakup pewujudnyataan doktrin-doktrin agama dalam kehidupan bermasyarakat yang meliputi seluruh prilaku yang didefinisikan oleh agama.

Jadi, berdasarkan perspektif ini, tidak mengherankan jika kita kerapkali menemukan berbagai analisis tentang agama yang tampak tidak bisa ketemu. Ada pihak yang melihat kesadaran agama sedang bangkit karena, misalnya, menyaksikan semaraknya ritual-ritual agama di rumah-rumah ibadah, meriahnya peringatan-peringatan keagamaan, atau makin banyaknya remaja Muslimah yang mengenakan jilbab. Sebaliknya, ada juga pihak yang berbicara tentang gejala kepudaran perasaan beragama dengan menunjuk pada meningkatnya kasus kriminalitas, jumlah pecandu narkoba, konflik antarpemeluk agama, immoralitas pemimpin agama, terorisme dan pelanggaran HAM. Padahal, yang sebetulnya terjadi, pihak pertama membahas agama dalam dimensi ritual, sementara yang kedua dalam dimensi sosial. Mereka, pada dasarnya, sedang berbicara tentang bentuk-bentuk ungkapan keagamaan yang berbeda.

Islam diyakini oleh pemeluknya sebagai agama yang sempurna. Artinya, Islam mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia. H.A.R. Gibb, seorang orientalis paling kawakan, bahkan punya ungkapan yang kerap dikutip oleh sarjana Islam sendiri bahwa Islam is much more than a system of theology, tapi ia adalah a complete civilization. Lebih jauh, Edward Mortimer melihat, pada dasarnya Islam lebih banyak memberi penekanan pada dimensi sosial daripada dimensi ritual. Karena itu, ia memandang Islam sebagai semacam budaya politik (a political culture). Namun, cukup ironis, bahwa sekalipun kita memang bisa berbicara tentang Islam dalam kelima dimensi yang disebutkan oleh Glock and Stark di atas, ajaran Islam yang dipahami dan diamalkan oleh kebanyakan Muslim di Indonesia tampaknya lebih kental dimensi ritualnya daripada dimensinya yang lain.

Nurcholish Madjid melihat, umat Islam Indonesia masih terperangkap dalam kesalehan simbolik. Dengan kata lain, persepsi keagamaan yang dianut kebanyakan umat Islam adalah persepsi formal. Akibatnya, yang lebih banyak terlihat adalah kesalehan formal yang sarat dengan simbol-simbol. Padahal, ditilik dari perspektif yang lebih luas, kata dia, ritualitas formal-simbolik itu hanyalah merupakan bagian terluar dari arti penting kehadiran Islam di muka bumi ini. Lebih jauh, esensi terdalam dari berbagai ibadah atau aktivitas keagamaan dalam Islam sebenarnya adalah kemampuan mewujudnyatakan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.

Walhasil, ada orang yang merasa sudah puas menjadi Muslim hanya karena dia sudah berulang kali berhaji ke Mekah. Padahal, setiap kali kembali dari tanah suci, dia justru tampak semakin cinta aksesoris duniawi: makin materialistik, aristokratik dan egoistik. Atau, ada orang Muslim yang shalat fardu dan puasanya telaten, tapi orang-orang di sekitarnya tidak merasakan sifat-sifat kasih-sayang, kejujuran dan kerendahhatian terefleksi pada diri orang itu. Ibadah haji, shalat, puasa, dan ibadah-ibadah ritual formal lainnya dalam Islam memang sarat simbolisme ritual. Karena itu, tampak sangat kental orientasi vertikal-ilahiahnya. Namun, di balik simbol-simbol itu, sebenarnya terdapat pesan-pesan moral dan sosial Islam yang seharusnya bisa direguk oleh setiap Muslim yang menunaikan ibadah-ibadah itu secara konsisten.

Cukup menyedihkan, bagi kebanyakan pemeluknya, Islam tampaknya masih lebih banyak berfungsi sebagai sanctuary, semacam agama pelarian ketika seseorang menghadapi masalah-masalah kehidupan yang berat. Dalam ungkapan Karl Marx, agama semacam ini menjadi sekedar opium bagi orang-orang yang mulai patah hati dalam perjuangan hidup duniawi. Maka wajarlah, Islam lalu bisa juga memuaskan dahaga dan egoisme orang-orang yang ingin memperoleh dua kekayaan secara mudah: kekayaan duniawi melalui akumulasi individualistik atas harta benda di satu pihak; dan kekayaan ukhrawi, melalui kalkulasi pahala-pahala ibadah ritualistik di pihak lain. Alangkah ideal, misalnya, bahwa seorang pejabat, yang sudah puluhan kali berhaji dan umrah, tetap bisa merasa sangat dekat dengan Tuhan dalam shalat malamnya yang syahdu dan hikmat, di mushollah kecil tapi mewah dalam kompleks rumahnya yang megah di atas lahan berhektar-hektar luasnya, tapi dibangun dari hasil megakorupsi sang pejabat atas dana pembagian sembako untuk masyarakatnya yang kelaparan, atau dana jaring pengaman sosial, pembangunan sekolah, dan reboisasi hutan kritis di daerahnya.

Berdasarkan analisisnya pada sumber-sumber dan makna-makna terdalam doktrin Islam, J. Rakhmat (1986:43) berani menyimpulkan bahwa dimensi sosial Islam memperoleh proporsi yang jauh lebih besar daripada dimensi ritual atau mistikal. Dengan kata lain, Islam ternyata adalah agama yang lebih menghargai aksi-aksi sosial-kemasyarakatan daripada kesalehan ritual-ketuhanan. Sebuah kesimpulan yang juga didapatkan oleh Edward Mortimer yang telah dikutip di atas. “Islam,” kata Kang Jalal (1986:48-9), “adalah agama yang menekankan urusan muamalah (ibadah berorientasi sosial –wh) lebih besar daripada urusan ibadah. Islam ternyata lebih banyak memperhatikan aspek kehidupan sosial daripada aspek kehidupan ritual.”

Akhirnya, agar lebih proporsional, bisalah dikatakan bahwa Islam adalah agama multidimensi --sebuah klaim yang sebenarnya bisa ditemukan dalam agama-agama non-Islam juga. Penekanan secara berlebihan pada satu dimensi Islam saja, misalnya ritual-mistikal, niscaya mencitrakan Islam sebagai agama mistik-ritualistik belaka. Akibatnya, fungsi sosial, ideologikal dan intelektual ajaran Islam akan tertutupi, jika tidak malah tereduksi. Sebaliknya, menekankan dimensi sosial Islam sambil menegasikan dimensi mistik-ritualnya sama sekali, akan berujung pada pencitraan Islam sebagai agama yang kering spiritualitas, sebuah dimensi yang justru kini banyak dicari-cari manusia modern. Namun, dalam konteks keberagamaan kaum Muslim Indonesia dewasa ini, penjelasan yang proporsional, menggugah dan meyakinkan akan demikian vitalnya pesan-pesan sosial ajaran Islam, tampaknya masih perlu terus digegapgempitakan jika kita memang berharap paradoks atau kesenjangan antara “Islam normatif” dan “Islam historis”, atau “Islam konseptual” dan “Islam aktual”, atau “Islam tekstual” dan “Islam kontekstual” bisa diretas dan diatasi. Wa Allah a’lam bi ash-shawab.

Comments

Popular posts from this blog

Arung, Topanrita dan Relasi Kuasa di Sulsel

Obama dan Kita Menjelang Pesta Demokrasi 09

Memperebutkan Makna Islam