Memperebutkan Makna Islam

Apa itu Islam? Siapakah yang sejatinya disebut Muslim? Siapa yang berhak menilai seseorang bukan lagi "Muslim", misalnya dengan menuduhnya telah menjadi munafik atau kafir? Pertanyaan-pertanyaan ini telah menjadi subjek banyak perdebatan di kalangan pemikir Muslim sepanjang sejarah Islam. Kenyataannya, makna Islam telah menjadi sesuatu yang contested (diperebutkan) dan melahirkan sejumlah varian Islam yang masih bisa diidentifikasi hingga hari ini. Setidaknya, dalam wacana sehari-hari kita biasa mendengar ada Islam Sunni, Islam Syiah, Islam Liberal, Islam “Radikal”, Islam Literal, Islam Fundamentalis, Islam Moderat, dll.
Memang, seharusnya Islam itu hanya satu, takperlu dibagi-bagi (indivisible) dan takperlu tambahan kata sifat (adjective). Namun, tetap saja Islam bisa dilihat dalam berbagai tataran perspektif. Al-Quran sendiri menunjukkan perbedaan tingkatan keberislaman, misalnya diilustrasikan dalam Surah 49:14: “Orang Arab pegunungan berkata ‘Kami sudah menerima keimanan.’ Katakanlah (kepada mereka), ‘Kalian belum beriman. Tapi katakanlah kami telah berserah diri (menjadi muslim). Karena iman belum masuk ke dalam hati kalian”. Dalam konteks ayat ini, Islam merujuk kepada salah satu identitas Islam yang dengan sendirinya memang penting tapi belum cukup. Bahwa standar minimal yang harus kita terima dari siapa pun untuk disebut Muslim adalah ketika dia mengatakan: “Saya adalah seorang Muslim”
Allah menyatakan “Wa la taqulu liman alqa ilaykum al-salama lasta mu’minan” (4:94) (Janganlah mengatakan kepada orang yang menyampaikan salam perdamaian, atau orang yang menunjukkan perdamaian kepadamu, ‘kamu bukan seorang mukmin!’). Kenapa? Karena Allah sudah mengantisipasi perkembangan berikut dalam kehidupan masyarakat Muslim yang hingga hari ini masih dirasakan akibatnya. Yaitu kecenderungan untuk saling mengaku hanya diri atau kelompok sendiri yang layak menyebut diri Muslim. Dalam abad pertama Islam, pernah dikenal golongan teologi Khawarij yang memberontak kepada pemimpinnya ‘Ali bin Abi Thalib. Mereka pada umumnya adalah orang-orang Arab Badui yang hidup di padang-padang pasir yang tandus. Cara hidup dan pola pikir mereka sederhana tapi memiliki keberanian, keteguhan, dan loyalitas yang tinggi terhadap apa yang mereka pandang benar. Mereka memandang orang-orang Muslim hanyalah mereka yang sesuai dengan paham mereka. Mereka, karenanya, mudah sekali mengafirkan orang lain.
Ini tentu saja mengabaikan satu kisah penting berkaitan dengan salah satu sahabat Nabi yang terkemuka, Usama bin Sa’id, r.a. Ketika menjadi pemimpin muda dalam salah satu ekspedisi penyebaran Islam, Usama membunuh seseorang (musuh) setelah orang itu mengucapkan syahadat, “Saya seorang Muslim, asyhadu an la ilaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah.” Orang-orang lantas berkata, “Anda telah membunuh saudaramu. Mengapa kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan kalimah syahadat?” Usama menjawab, “Ya Rasulallah, dia mengatakannya di bawah pedangku!” (Ya Rasulallah, qalaha tahta syayfi). Maka Nabi berkata kepadanya berulang kali: Hal syaqaqta qalbah? (Apakah kamu telah membuka hatinya --untuk melihat apakah dia bersungguh-sungguh atau tidak). Karena Nabi terus mengulang kata-kata itu, Usama sampai berkata, “Saya berharap saya tidak jadi Muslim sebelum hari itu.”
Peristiwa ini penting dicermati, dan semakin penting lagi di masa ini ketika dalam masyarakat Muslim semakin kerap dijumpai beberapa kelompok Muslim tertentu yang memandang diri mereka secara ekslusif sebagai satu-satunya kelompok Muslim “sejati”. Mereka menegaskan hanya kelompok merekalah yang Islamnya paling benar, sembari mengeluarkan dari definisi mereka kelompok-kelompok Muslim di luar kelompok mereka. Mencermati munculnya sekawanan Muslim seperti ini, baik dalam komunitas Muslim Indonesia maupun global, mengingatkan kita kembali terhadap kelompok Khawarij yang telah disebut di atas. Di tahun 1970-an di abad lalu, di Mesir bahkan ada sebuah kelompok yang menamakan diri Al-Jam'iyyat al-Takfir wa al-Hijrah (kelompok yang menyatakan pengkafiran dan hijrah). Padahal, kata Nabi, “Siapa yang menyatakan kepada saudaranya “Hai Kafir” maka kekafiran akan menimpa salah satu dari keduanya” (HR. Bukhari-Muslim).
Memang, di satu sisi, Islam adalah identitas legal. Tapi, di sisi lain, agar Islam bisa menjadi satu-satunya keyakinan ketuhanan yang benar dan sejati, seseorang harus sepenuhnya menyerahkan diri (aslama, salah satu makna literal Islam), keinginan, hidup dan takdirnya kepada Allah dengan sukarela tanpa paksaan atau dengan mendayagunakan kebebasan yang dimilikinya. Kata Allah, bala man aslama wajhahu lillah wa huwa muhsinun fa lahu ajruhu ‘inda rabbihi, wa la khaufun ‘alaihim wa la hum yahsanun (2:112) ([Tidak demikian] bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak [pula] mereka bersedih hati)
Ketika mengomentari hadis Nabi (riwayat Muslim) yang sangat terkenal berkaitan dengan pengertian islam, iman dan ihsan, Imam Nawawi berkata: “Setiap Mukmin adalah seorang Muslim, tapi tidak mesti setiap Muslim adalah seorang Mukmin.” Dia juga menegaskan, “Setiap Muhsin adalah seorang Mukmin dan Muslim, tapi tidak mesti setiap Muslim adalah Muhsin.” Di sini Nawawi membedakan antara Islam sekedar sebagai identitas legal (Islam KTP) atau nama saja (seperti dalam kasus orang-orang Arab pegunungan di atas), dan Islam yang sejati, Islam yang hidup dan menerangi hidup kita, hati kita dan seluruh wujud kita.
Dalam maknanya yang khusus, Islam merujuk kepada agama yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Al-Qur’an. Tapi, seperti dinyatakan Seyyed Hossein Nasr dalam Ideals and Realities of Islam (Revised. Ed. 2000), paling tidak, terdapat tiga tingkatan yang berbeda bagi definisi “Muslim” menurut para hukama (bijaksanawan) Islam.
Pertama, Muslim adalah orang yang menerima petunjuk Tuhan, baik ia pemeluk agama Islam, Kristen, Yahudi maupun Zoroaster. Pemeluk Zoroaster juga termasuk di sini karena kaum Muslim telah bersentuhan dengan mereka sejak periode awal kelahiran Islam. Sementara pemeluk agama-agama India (Hindu dan Buddha) belum dimasukkan ke dalam golongan ini sebelum adanya hubungan sejarah dengan mereka. Tapi definisi ini juga belakangan berlaku pada mereka. Buktinya, ada sejumlah hukama Islam yang menyebut Hinduisme, misalnya, sebagai “agama Adam”. Pada tingkat ini, kata Nasr (hal. 14), “Muslim merujuk kepada manusia yang melalui penggunaan akal dan kebebasannya, menerima petunjuk Tuhan.” Dalam kenyataannya, ada banyak orang yang mendaku sebagai Muslim hanya karena telah secara verbal mengucapkan dua kalimah syahadat tapi secara intelektual dan dengan kebebasannya belum menerima petunjuk Tuhan. Sebaliknya, banyak juga orang yang secara verbal tidak menyebut diri Muslim tetapi dengan akal dan kebebasannya menunjukkan penerimaan mereka atas petunjuk Tuhan.
Kedua, dalam pengertian yang lebih luas lagi, Muslim adalah semua makhluk di alam ini yang menerima adanya hukum Tuhan, dalam arti mereka tunduk (aslama) kepada hukum-hukum yang tidak terbantahkan, yang di dunia Barat disebut “hukum alam”. “Hukum alam” ini, atau dalam Islam disebut sunnatullah, adalah manifestasi kehendak Tuhan di dunia. Bagi keyakinan seorang Muslim, semua makhluk (baik yang hidup seperti manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, maupun yang mati seperti bebatuan dan mineral) adalah Muslim karena mereka, kenyataannya, menerima petunjuk Tuhan dan mematuhi hukum-hukum-Nya dalam bentuk hukum alam. Batu, misalnya, adalah “Muslim” karena tidak punya pilihan kecuali jatuh ke bumi yang berarti mematuhi manifestasi kehendak Tuhan dalam tataran fisik dalam bentuk daya gravitasi. Demikian juga benda-benda angkasa seperti planet-planet dan bintang-bintang adalah “muslim” karena mereka mematuhi hukum Tuhan berkaitan dengan jalur rotasi mereka masing-masing. Di antara makhluk Tuhan di alam, hanya manusia yang berpotensi berhenti menjadi Muslim atau menolak menyesuaikan diri dengan kehendak Tuhan. Hal ini karena manusia memiliki kehendak dan kebebasan yang juga merupakan pemberian Tuhan kepadanya, termasuk kebebasan untuk menyesuaikan diri dengan hukum Tuhan.
Akhirnya, menurut Nasr, makna tertinggi dari seorang Muslim tergambar pada kehidupan orang-orang suci (wali). Seperti halnya alam, orang-orang suci menghidupi tiap penggalan hidupnya dalam keselarasan dengan kehendak Tuhan. Hanya saja, keterlibatan orang-orang suci dalam kehendak Tuhan dilakukan secara sadar, intelektual dan aktif, sementara alam melakukannya secara pasif. Jadi ketinggian tataran kemusliman orang-orang suci disebabkan oleh kenyataan bahwa mereka bukan saja telah menerima petunjuk Tuhan, tapi juga sepenuh-penuhnya hidup dalam keselarasan dengan kehendak Tuhan. Dengan kata lain, bagi mereka Islam bukan lagi sekedar a way of living (jalan hidup) tapi juga a way of being (hidup itu sendiri).
Dalam perspektif seperti ini, menurut saya, tanggung jawab kita sebagai Muslim bukanlah untuk menilai kadar keislaman seseorang atau keimanannya. Jika seorang sudah mengatakan “Saya seorang Muslim”, maka dia hendaknya diperlakukan sebagai saudara (seagama) kita, hingga dia melakukan sesuatu yang terang-terangan menolak pengakuan keislamannya itu. Implikasinya, saudara-saudara Muslim kita boleh jadi seorang Muslim tapi dia juga seorang yang fasiq, buruk pekerti atau bahkan bajingan. Adalah tidak relevan jika sesorang Muslim mengajukan pertanyaan tentang saudaranya sesama Muslim apakah dia orang Muslim “yang benar.” Karena Islam yang benar, pada akhirnya, hanya diketahui Allah saja. Kita, kata alm Cak Nur suatu ketika, tidak pernah mengamalkan Islam, tapi mengamalkan 'pemahaman' kita tentang Islam. Kita juga hanya bisa menilai seseorang dari perbuatan lahiriahnya saja. Yang bisa kita katakan hanyalah bahwa apakah saudara kita ini seorang Muslim yang baik, yang dimanifestasikan dalam bentuk perbuatan baik dan sesuai dengan petunjuk dan kehendak Allah. Nabi saw dikatakan pernah bersabda, "Nahnu nahkumu bi al-dzawahir wa Allahu yaqdhi/yatawalla al-sara'ir" (Kita menilai berdasarkan apa yang tampak. Allah menghakimi/mengetahui yang tersembunyi).
Lantas, apa tanggung jawab kita ketika menghadapi situasi seperti digambarkan di atas? Tentu saja kita tidak pantas mempermalukan saudara Muslim kita itu, apalagi menghukum dan membunuhnya. Tanggung jawab kita adalah memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dan itu dilakukan dengan cara, bil hikmat wa al-mauizat al-hasanah (16:125) (dengan cara yang bijak dan pengajaran yang baik). Kita hanya dituntut mencoba membantu saudara kita memperbaiki arah dan jalan hidupnya atas dasar cinta, bukan atas dasar arogansi kesalehan. Kita hanya perlu membantu satu sama lain menjadi orang Muslim yang lebih baik. Hanya dengan cara seperti itulah, pernyataan Allah dalam Al-Qur’an berikut ini menemukan aktualitasnya: Kuntum khaira ummatin ukhrijat linnas ta’muruna bil ma’rufi wa tanhauna ‘anil munkar wa tu’minuna billah (3:110) (kalian –kaum Muslim— adalah komunitas terbaik yang dikeluarkan bagi manusia. Kalian memerintahkan kebaikan dan mencegah keburukan serta beriman kepada Allah).
      Oleh karena itu, seperti dinyatakan Prof. Mahmoud Ayoub (2004), guru besar studi Islam di Universitas Temple, AS (guru saya semasa kuliah di sana, he he), Islam bukanlah agama yang mengajarkan sebuah revolusi dadakan, yang membalikkan secara frontal segala sesuatu. Islam adalah agama disiplin, yang berfungsi menjadikan seseorang bertumbuh dan besar di dalamnya. Kita semua, lanjut beliau, adalah anak-anak dalam Islam dan kita butuh bertumbuh dalam agama ini, menerima satu sama lain dan bekerja sama. Kenapa? Karena Allah adalah satu maka umatnya mestinya juga satu, 'Inna hadzihi ummatukum ummatan wahidatan wa ana rabbukum. fa’budun' (21:92) (Sesunggunya umatmu ini adalah umat yang satu dan Akulah Tuhanmu maka sembahlah Aku). Karena itu, tantangan terbesar kita saat ini dan di masa depan adalah berupaya menjaga dan mempromosikan keutuhan (sosial dan spiritual) umat Islam (tauhidul ummah) dan membantu sesama Muslim menjadi Muslim yang baik dan lebih baik. Bukan malah menghakimi mereka, lebih-lebih mengeluarkan mereka dari komunitas Muslim karena kita merasa hanya diri dan kelompok kitalah yang Muslim sejati.

*pernah dimuat di ruang opini Harian Fajar, Juni 2006

Comments

Popular posts from this blog

Arung, Topanrita dan Relasi Kuasa di Sulsel

Obama dan Kita Menjelang Pesta Demokrasi 09