Obama dan Kita Menjelang Pesta Demokrasi 09



Oleh Wahyuddin Halim

Dua puluh Januari lalu, Barack Obama resmi dilantik jadi presiden ke-44 Amerika Serikat. Pesta akbar demokrasi negeri adidaya itu pun usai. Sejumlah rekor baru dalam sejarah politik AS dipecahkan Obama. Presiden pertama AS dari keturunan kulit hitam. Dana kampanye yang berhasil dia kumpulkan sekitar US$ 1 milyar (Chicago Tribune, 5/12/08). Membukukuan rekor jumlah khalayak victory speech, lebih 240,000 orang, di Grant Park, Chicago (5/11/08). Saat inaugurasinya, lebih 2 juta orang memenuhi alun-alun the National Mall di tengah cuaca musim dingin yang menusuk tulang. Rekor sebelumnya 1,2 juta orang saat pelantikan Presiden Lyndon B. Johnson (1964). Ratusan juta warga dunia lainnya juga turut menyaksikan dan merayakan peristiwa itu lewat jaringan TV dan internet. Maka inaugurasi Obama merupakan momen demokrasi terbesar dalam sejarah.

Namun, setelah euforia dan selebrasi global atas kemenangan Obama usai, apa yang dapat kita pelajari dalam konteks berdemokrasi di negeri kita, terutama menjelang pemilu April depan? Jika kita cermat membaca biografi politik Obama, sebenarnya takada yang benar-benar ajaib dan instan dari kesuksesannya jadi presiden. Namun, jika abai mengurai rahasia di balik sukses itu, para politisi yang spontan merasa terilhami dan terpantik semangatnya mengikuti jejak politik Obama akan kecele. Menurut saya, minimal ada lima ramuan rahasia sukses Obama.

Pertama, Obama memiliki kecerdasan akademik yang tinggi. Gelar B.A. bidang Ilmu Politik dia raih dari Universitas Columbia. Gelar Doktor Hukum (J.D.) dengan predikat magna cum laude dari Harvard, salah satu perguruan tinggi terbaik di dunia. Dia termasuk dalam 10 mahasiswa terbaik di fakultasnya, Law School. Saat di Harvard, Obama membukukan rekor baru, presiden berkulit hitam pertama jurnal ilmu hukum terkemuka, Harvard Law Review. Selama 12 tahun, dia pernah jadi dosen di Universitas Chicago yang sangat bergensi. Jadi, Obama jauh dari tipe politisi yang berpendidikan rendah dan malas membaca. Gelar-gelar akademiknya tidak diraih dari perguruan tinggi penjual ijazah/gelar tanpa kuliah, apalagi memalsukan ijazah untuk maccaleg. Begitulah, politisi yang baik idealnya punya pendidikan yang bermutu, bukan sekedar (membeli?) gelar yang banyak.

Kedua, jauh sebelum terjun ke kancah politik, Obama adalah seorang penggerak komunitas yang aktif membantu masyarakat di level akar rumput. Daftar organisasi sosial yang dia dirikan dan pimpin sangat panjang: Developing Communities Project, Gamaliel Foundation, Public Allies, Woods Fund of Chicago, Joyce Foundation, Chicago Annenberg Challenge, CLC for Civil Rights Under Law, Center for Neighborhood Technology, dan Lugenia Burns Hope Center. Organisasi-organisasi itu bergerak di bidang pendidikan, pelatihan, pendanaan, pemberdayaan, dan advokasi masyarakat di bidang sosial, ekonomi, lingkungan, HAM, politik dan hukum.

Dalam bukunya, the Audacity of Hope, Obama mengakui, pengalamannya berorganisasi telah membentuk pendekatannya terhadap politik. Bahkan, kata P. Dreier, kemenangan Obama sebagai presiden yang berlatar belakang aktivis masyarakat, “akan mengilhami sebuah generasi baru aktivis organisasi” di AS (Dissent Magazine, 25/6/05). Itulah yang mengantarkannya menjadi senator di Senat Negara Bagian Illinois selama 8 tahun, lalu senator Illinois di Senat AS, sebelum menjadi presiden. Sayangnya, tulis Newsweek (14/1/08), faktor ini justru jarang dilihat banyak orang. Padahal, kesuksesannya banyak terkait dengan jaringan “organisasi politik yang luas dan dalam yang Obama bangun diam-diam sebagai persiapan untuk pencalonannya.” Karena itu, Obama bukanlah seorang politisi dadakan apalagi karbitan, yang tiba-tiba muncul karena faktor kebetulan dan keturunan. Bukan capres yang sekedar bermodal iklan TV yang hebat, tapi minus pengalaman bekerja untuk masyarakat bawah. Begitulah, politisi sejati harusnya lahir dari, bertumbuh bersama dan peduli rakyat kecil, bukan mengeksploitasi mereka.

Ketiga, Obama mendemonstrasikan kemampuannya sebagai seorang orator ulung (master orator). Para pakar menyebut cara Obama berpidato dan menyampaikan pesan kepada pemilih menjadi rahasia utama kemenangannya. Obama bahkan disebut sebagai “orator Amerika yang ideal,” atau paling ulung pada masanya. Lewat pidato-pidatonya, Obama mampu menyihir pendukungnya. Obama, tulis D. Remnick dalam The New Yorker (17/11/08), berhasil meraih dukungan warga AS bukan terutama karena prestasi politiknya, atau pelayanan heroik pada negaranya di masa muda. Rekam jejaknya di kedua hal itu masih minim. Keunggulannya justru terletak pada kekuatan pesan dan daya gugah pidato-pidatonya. Obama membawa pesan atau narasi yang mengilhami tentang perubahan (change) dan harapan (hope) di saat kondisi kehidupan begitu banyak orang di AS sedang dalam bahaya. Selama kampanye, Obama berhasil mewujudkan koalisi Amerika yang baru dan lebih luas. “We are one people. Our time for change has come”, "Change has come to America", “Change we can believe in,” adalah di antara jargon kampanyenya yang populer.

Menurut E. Haskins dari Universitas Iowa, pidato Obama yang lembut senantiasa menciptakan nuansa sejarah, tujuan, dan kontinuitas. Namun, pidato Obama bukan sekedar retorika, karena ia dilambari bobot dan kedalaman dengan ilustrasi yang nyata (Kompas, 20/11/09). Pidato-pidatonya merefleksikan wacana yang kompleks, filosofis, dan layak kutip (quotable words). Cara penyampaiannya pun memenuhi aturan klasik retorika yang baik: menggugah rasa, menyentuh jiwa dan menyehatkan akal pendengarnya.

Sungguh kontras dengan pidato dan jargon kampanye politik di Indonesia menjelang pilkada dan pemilu: kata-kata klise, pinjaman, hampa makna, tanpa jiwa, bahkan menyakiti akal. Tatabahasanya sederhana dan rancu. Data dan ilustrasinya takakurat dan relevan. Cara penyampaiannya jauh dari retoris. Begitulah, politik yang lebih berbasis popularitas, uang, dan keturunan hanya bisa memunculkan politisi instan yang gagap bicara, inkompeten, dan miskin integritas.
Keempat, Obama diakui memiliki kepribadian yang menarik: ramah, rendah hati, tenang, tulus, dan murah senyum. Dalam memoarnya, Dreams from My Father, Obama menyebut senyumnya yang ramah sebagai salah satu kunci pergaulannya dengan beragam orang. “Orang merasa puas sepanjang Anda sopan dan tersenyum.” Pada 25 Mei 2006, ketika menjadi pendamping dan penterjemah bagi 15 tokoh dari Indonesia peserta Community Leaders Program di AS, saya sempat berjumpa dan bersalaman dengan Obama, senator Illinois saat itu. Setiap Kamis pagi, kedua senator Illinois mengadakan Constituent Coffee untuk umum di Washington DC, khususnya bagi warga dari Illinois. Mengunjungi senator Illinois adalah salah satu agenda program. Ketika itu, sudah merebak kabar tentang rencana Obama dan Hillary Clinton maju dalam pilpres 2008.

Setelah mendengar pidato Obama dan Dick Durbin, tiap orang dapat giliran berfoto. Saat menyambut rombongan kami, Obama menyapa dalam bahasa Indonesia yang lancar dan pelafalan yang bagus, “O, ini dari Indonesia, ya?” Saya, yang berjalan di depan, menjawab “Ya.” “Dari mana? Jakarta? Medan? Surabaya?” tanya dia lagi tanpa menunggu jawaban. Saya lalu memujinya, “Anda rupanya masih dapat berbahasa Indonesia?” Dia menjawab, “Tapi saya sudah lupa banyak.” Namun, bukan itu yang paling mengesankan kami, tapi jabat tangannya yang erat dan ramah, seakan kami teman terdekatnya. Saya bisa merasakan denyut ketulusan persahabatan dan pandangannya yang setara pada kami. Kesan yang jarang muncul saat menjumpai politisi AS lainnya yang kadang angkuh dan basa-basi. Karena itu, satu kunci sukses: jadilah politisi yang tulus memperhatian setiap orang, tidak jaga image, dan hipokrit.

Kelima, gaya hidupnya yang bersahaja dan merakyat juga jelas menyumbang bagi kesuksesan politik Obama. Seperti kata Michelle, istrinya, gaya Barack yang santai membuatnya tidak peduli pada anggapan orang lain dan bagaimana mode dan penampilannya. Dia jauh lebih peduli pada persoalan dan pekerjaannya dalam masyarakat. Selama bertahun-tahun, katanya, Barack takbanyak berubah. Dia malah masih punya celana dan kemeja yang sama yang dia miliki ketika menikah dulu. Maka, lanjutnya, “saya geli sekali ketika orang bilang dia salah seorang pria berpakaian terbaik.” (Kompas, 3/1/09). Pengalaman politisi yang tidak termasuk kaya ini dalam membantu masyarakat bawah, membuatnya peka pada kondisi rakyatnya. Bandingkan dengan para caleg, legislator, dan pejabat kita yang tiap hari tampil gaya dengan kendaraan, pakaian, dan aksesoris mewah dan bermerek, sementara rakyat masih jauh dari hidup sejahtera. Maka jika Obama menolak saran para stafnya agar dia melepas perangkat komunikasinya, Blackberry, demi alasan keamanan, itu bukan soal gaya. Obama takmau kehilangan kontak langsung dengan rakyatnya.

Tentu saja, masih banyak yang bisa dipelajari dari Obama. Namun tulisan ini hanya mau mengingatkan, sukses Obama bukanlah sebuah kebetulan, tapi akumulasi dari kecerdasan, kepedulian sosial, kefasihan berbicara, kehangatan pribadi, dan kebersahajaan gaya hidup.

*artikel opini dimuat di Harian Fajar pada Januari 2009.

Comments

Popular posts from this blog

Arung, Topanrita dan Relasi Kuasa di Sulsel

Memperebutkan Makna Islam