Kalau Aku Jadi Gubernur Sulsel

Menjadi seorang gubernur sebenarnya tidak pernah saya cita-citakan. Bukan karena jabatan itu mustahil saya gapai, entah di masa depan yang dekat atau jauh. Bukankah “there is nothing impossible under the sun,” kata sebuah pribahasa. Cita-cita sejati saya, secara spiritual, pada hakikatnya sama –jika takpongah disebut lebih-- mulia daripada sekadar menjadi seorang pejabat. Namun, mencermati perkembangan wacana tentang penjaringan bakal calon gubernur Sul-Sel dalam beberapa bulan terakhir ini, saya jadi tertarik untuk sekedar menawarkan kemungkinan visi dan gagasan saya jika menjadi gubernur Sul-Sel secara “imajiner”. Jauh sebelum saya menyatakan rencana saya mencalonkan diri jadi gubernur, insya Allah saya akan melakukan beberapa hal berikut, yang untuk mudahnya, saya singkat jadi empat “-si”.

Pertama, saya akan melakukan refleksi atas niat saya menjadi seorang gubernur. Saya harus haqqul yaqin, motivasi dan niat sejati saya menjadi gubernur adalah untuk mengabdikan diri demi kemaslahatan seluruh rakyat Sul-Sel sebagai manifestasi pengabdian saya kepada Tuhan. Saya harus selalu skeptis, jangan-jangan saya sebenarnya sekedar sedang tergoda dan terperangkap kecenderungan hawa nafsu untuk meraih “kemuliaan” karena kekuasaan, popularitas, dan kekayaan. Jika ternyata kecenderungan-kecenderungan kedua ini yang menonjol, saya takakan melanjutkan refleksi saya. Saya akan berhenti. Bahkan sekadar berpikir menjadi seorang gubernur pun rasanya sudah kurang siri’. Bukankah niat akan menentukan proses dan hasil akhir dari semua perbuatan. Bagi saya, menjadi gubernur bukan sekedar persoalan minat dan bakat, tapi terutama niat.

Kedua, saya akan melakukan introspeksi. Introspeksi memampukan saya mengetahui secara jernih dan objektif potensi dan kualifikasi saya sebagai seorang cagub yang baik --jika tidak bisa ideal. Secara introspektif, saya akan bertanya: adakah saya memiliki cukup kecerdasan emosional, intelektual dan spiritual, ketajaman ingatan dan hati, kecintaan kepada pengetahuan dan kebenaran, kesederhanaan berkenaan dengan makan, pakaian dan seks, kecintaan kepada keadilan, keteguhan, keberanian serta kemantapan fisik dan kefasihan? Ringkasnya, apakah saya memiliki kualifikasi fisik, mental, moral, intelektual, dan spiritual yang setakat untuk memimpin jutaan masyarakat Sul-Sel. Prinsip saya, tanpa adanya kesesuaian antara potensi dan kapasitas diri saya dengan wewenang dan tanggung jawab yang akan saya pikul, niscaya saya hanya akan menuai kegagalan dalam memikul amanah rakyat. Popularitas, deretan panjang gelar akademik, sukses dalam dunia bisnis, karir militer bertabur bintang, kemampuan retorika yang memukau, titisan darah aristokrat dan basis massa yang riil (parpol), bagi saya, tidak bisa sertamerta menjadi ukuran seseorang untuk terlalu “percaya diri” (overconfindent) bisa menjadi seorang gubernur. Semua prestasi itu adalah satu hal, dan menjadi gubernur adalah hal yang lain.

Ketiga, saya akan melakukan investigasi mengenai peluang saya menjadi gubernur berdasarkan kalkulasi-kalkulasi sosial, politik, etika dan budaya –bukan kalkulasi ekonomi. Investigasi ini terutama menyangkut motivasi dan alasan-alasan para pendukung awal saya mendorong saya mencalonkan diri. Secara kritis dan jernih, saya harus tahu siapa dan mengapa orang mendukung saya. Saya harus yakin, pilihan mereka terhadap saya memang didasarkan pada pengetahuan dan keyakinan mereka yang cukup akan kapabilitas saya sebagai calon pemimpin yang baik, bukan saja bagi mereka, tapi bagi seluruh rakyat Sul-Sel. Jika saya menyeringai gelagat, para pendukung yang tampaknya setia kepada saya itu hanya kalangan oportunis, partisan, penuh interest jangka pendek, dan bertendensi eksploitatif dan manipulatif, maka saya merasa takpunya beban mental untuk mengecewakan mereka. Saya adalah to maradeka, dan selalu ingin merdeka, terutama dari penghambaan diri atas manusia lain karena banyaknya beban utang budi dan janji-janji yang takbisa tertunaikan. Saya hanya ingin menjadi gubernur berdasarkan pilihan-pilihan yang merdeka dari segala maksud tersamar untuk mendapatkan konsesi-konsesi sosial-politik dan ekonomi jangka pendek yang pada dasarnya tidak berpihak pada kepentingan rakyat semesta. Janji saya kepada para pendukung saya hanya satu: “Apa yang baik bagi rakyat akan baik pula bagi kalian!” Belum tentu bisa sebaliknya. Nah, agar para calon pemilih saya dapat lebih mengenal diri dan kemampuan saya, saya akan menempuh mekanisme yang wajar dan berbudaya untuk mengenal pendukung saya dan memperkenalkan diri dan program-program saya kepada mereka lewat media massa, kampus, pertemuan formal dan nonformal, kampanye, dll.

Terakhir, sebagai orang beragama, saya akan melakukan meditasi, perenungan. Perenungan ini penting karena, sebagai manusia biasa, saya takbisa memastikan sendiri “kebaikan” jabatan gubernur ini untuk diri saya, keluarga saya, dan terutama, rakyat Sul-Sel. Perenungan ini mungkin bisa saya lakukan lewat shalat istikharah. Dalam shalat itu, saya akan berkonsulasi dengan Allah. “Ya Allah, Engkau Mahatahu yang terbaik bagi hamba-Mu. Jika jabatan gubernur kelak akan membawa kebaikan bagi dunia dan akhiratku, diri dan rakyatku, mudahkanlah bagiku jabatan itu. Sebaliknya, jika ia hanya baik bagi duniaku saja, atau diri dan keluargaku saja, tapi mendatangkan kemudaratan bagi akhirat dan rakyatku, maka jauhkanlah aku dari jabatan itu.”

Walhasil, jika ternyata pada akhirnya, saya menjadi gubernur Sul-Sel melalui sebuah proses pemilihan yang langsung, umum, bebas, ikhlas, rahasia, jujur dan adil (entah oleh rakyat atau wakil-wakil mereka di DPRD), maka saya akan mengajukan rancangan kebijakan saya berikut ini untuk dibahas oleh rakyat lewat wakil-wakil mereka di DPRD. Urutan kebijakan dan program yang saya ajukan merefleksikan prioritas dan urgensi masing-masing.

Pertama, kalau saya jadi gubernur saya akan memberi prioritas pada peningkatan “kualitas” kesejahteraan sosial-ekonomi rakyat. Kedengarannya mungkin sudah usang dan klise. Tapi, dalam analysis saya, pemerataan kesejahteraan sosial-ekonomi merupakan satu prasyarat terpenting bagi keberhasilan pengembangan aspek-aspek lain kehidupan masyarakat. Tanpa kesejahteraan ekonomi yang relatif merata, keadilan sosial dan keteguhan moral sulit terwujudkan. Pertumbuhan ekonomi secara kuantitatif tanpa disertai “pemerataan” kesejahteraan secara kualitatif akan selalu berujung pada munculnya masalah-masalah sosial yang kompleks dan akut. Kebijakan ekonomi Orde Baru yang kapitalistik dan mendahulukan pertumbuhan daripada pemerataan ekonomi terbukti telah menyengsarakan rakyat. Dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi ini, seraya menyadari tantangan pelaksanaan otonomi daerah, saya akan menggali secara kreatif dan optimal potensi SDM dan SDA Sul-Sel yang bernilai ekonomis seraya tetap mempertahankan keseimbangan sosial-budaya dan kelestarian lingkungan hidup. Prinsip dasar kebijakan ekonomi saya adalah keadilan, kejujuran, kesukarelaan, kesederhanaan, kekeluargaan dan kegotongroyongan. Untuk menjabarkan kebijakan itu dalam bentuk teoritis dan praktis, saya akan melibatkan pemikir-pemikir sosial-ekonomi, dari dalam dan luar Sul-Sel, yang pemihakannya kepada “ekonomi kerakyatan” paling kentara dan konsisten.

Kedua, penegakan hukum dan moralitas politik. Ini bukan sekedar retorika. Keyakinan saya, penegakan keadilan hukum secara konsisten dan konsekuen adalah prakondisi berikut yang akan sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan. Penegakan hukum secara adil, saya yakin, akan menjelmakan orde politik, ekonomi dan sosial yang adil dan berkelanjutan. Sementara, pemerintah yang bersih, berwibawa dan bermoral akan menumbuhkan kepercayaan, kecintaan dan kepatuhan dari masyarakat. Kewibawaan pemerintah di mata rakyat diperlukan untuk memperbesar peluang dan wewenang pemerintah dalam menjalankan kebijakannya secara efektif demi kemajuan masyarakat seraya tetap memberikan keluwesan bagi inisiatif dan perubahan dari bawah. Perubahan dan inisiatif dari bawah hanya mungkin jika komponen-komponen civil society (mahasiswa, LSM, media massa, ormas keagamaan, dll) diberi peluang untuk berperan dan melakukan kontrol yang efektif dan konstruktif. Pemerintahan hanya bisa efektif kalau ada kepercayaan, kecintaan dan kepatuhan dari rakyat. Untuk bisa dipercaya, pemerintah harus bersih dan bermoral (bebas KKN, narkoba, dan perselingkuhan); untuk bisa dicintai, pemerintah harus mencintai rakyat; dan untuk bisa dipatuhi, pemerintah harus memiliki kredibilitas, kapabilitas dan wibawa --bukan sekedar kekuasaan.

Ketiga, peningkatan kualitas pendidikan dan ilmu pengetahuan. Ini memang sudah menjadi klasik. Tapi, sejauh ini, dalam pengamatan saya, selain krisis ekonomi, politik dan hukum, faktor lain yang sangat fundamental dalam memerosotkan kualitas hidup bangsa Indonesia adalah pendidikan. Agaknya, kita kini sesungguhnya sedang menuai dampak jangka panjang atas kegagalan pendidikan kita sejak 20 tahun terakhir. Pendidikan kita ternyata gagal menghasilkan generasi yang tangguh secara moral dan intelektual untuk menghadapi masa depan dan bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Saya melihat, setidaknya ada empat faktor penyebab dari kegagalan pendidikan kita: anggaran pendidikan yang takproporsional, misorientasi filsafat pendidikan, rendahnya kualitas manusiawi penyelenggara pendidikan, dan semrawutnya manajemen pendidikan. Jika saya menjadi gubernur, saya akan mengalokasikan anggaran besar-besaran --sesuai kemampuan ekonomi daerah-- pada investasi pembangunan infrastruktur dan suprastruktur pendidikan. Tidak seperti membangun jembatan, jalan raya, perkantoran, bendungan, pelabuhan, taman, monumen dan patung, hasil konkret dari penaburan benih investasi di bidang pendidikan mungkin baru bisa dituai puluhan tahun kemudian. Yang pasti, daripada membangun monumen dan tugu yang menjulang dan megah, saya memprioritaskan membangun sistem pendidikan unggulan, perpustakaan dan taman-taman bacaan sampai ke pelosok-pelosok desa. Saya akan berusaha mengangkat status dan prestise sosial-ekonomi orang-orang yang bekerja di bidang pendidikan dan iptek “setara” dengan mereka yang bekerja di bidang-bidang teknologi praktis, perbankan, perdagangan dan industri.

Keempat, masyarakat Sul-Sel adalah masyarakat yang terkenal religius. Kalau saya jadi gubernur, saya akan memberi perhatian serius pada upaya-upaya kreatif untuk pengembangan kehidupan keberagamaan yang fungsional, pluralistik, toleran, terbuka dan berkeadaban. Saya yakin, agama bisa berperan lebih besar dalam pengembangan kualitas hidup masyarakat dalam semua aspeknya. Prioritas utama saya bukan membangun fasilitas-fasilitas keagamaan yang bersifat fisik seperti rumah-rumah ibadah atau fasilitas pelayanan ibadah ritual. Orientasi kebijaksanaan saya, menfasilitasi pengembangan wacana dan aksi keagamaan yang berdimensi sosial, ekonomi, politik dan budaya. Ukuran keberhasilan saya dalam pembangunan bidang agama nantinya bukan pada semakin banyaknya jumlah rumah ibadah dan kegiatan ritual –misalnya jumlah jamaah haji dari Sul-Sel-- atau kuantitas penganut masing-masing agama. Tetapi, pada peningkatan kualitas kerukunan antarumat beragama, kualitas moral dan peran sosial-politik-budaya umat beragama yang terefleksikan pada berkurangnya kasus pelanggaran hukum, kriminalitas, korupsi, konflik sosial, kerusakan lingkungan, kemiskinan dan kebodohan.

Kelima, kalau saya jadi gubernur, saya akan memberi perhatian khusus pada pengembangan sejarah, seni-budaya dan tradisi lokal masyarakat Sul-Sel. Selama ini, saya lihat masyarakat Sul-Sel cenderung taklagi mengetahui dan mengapresiasi warisan sejarah, budaya dan tradisi lokal yang pernah --dan sebagian masih-- berkembang secara kreatif di beberapa daerah di Sul-Sel. Di satu sisi, di kalangan masyarakat kita terlihat fenomena kegagapan, kecanggungan dan kekalutan menerima terpaan budaya modern dalam bentuk gaya hidup bebas, konsumptif, sekularistik, materialistik dan individualistik; tapi, di sisi lain, mereka cenderung memandang nilai-nilai budaya tradisional mereka lebih pantas menghilang dalam limbo sejarah. Padahal, saya yakin, jika digali secara inovatif dan kreatif, warisan budaya dan tradisi kita bisa memberi inspirasi, motivasi dan kebanggaan positif dalam upaya pembangunan masyarakat. Kalau saya jadi gubernur, saya akan tersenyum bangga jika pemikir dan budayawan muda Sul-Sel, ketika berwacana, selain lancar mengutip Aristoteles, Plato, Hobbes, Lock, Montesque, Smith, Rostow, Chomsky, Huntington, Zen, Shiva, Frank, Foucault dsb., juga fasih menyitir ungkapan-ungkapan para ahli pikir klasik Sul-Sel, seperti, La Tadampare Puang ri Maggalatung, La Tiringeng To Taba, To Ciung Tongeng Maccae ri Luwu, La Waniaga Arung Bila, La Pagala Nene Mallomo, La Mellong Kajao Laliddong, La Patello Amanna Gappa, I Mangadacina Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang dan Karaeng Karunrung. Apalagi kalau mereka masih bisa membaca Lontara’, Lagaligo, Pasang, Latoa, dsb.

Keenam, saya akan melakukan segala upaya etis dan strategis untuk menyelamatkan lingkungan hidup yang kini semakin kritis. Kerusakan hutan, pencemaran udara, sungai, danau dan laut, pembuangan limbah industri, serta sederet krisis lingkungan lain yang akut merupakan masalah yang, jika tidak ditangani secara serius dan akseleratif sekarang juga, akan mengancam kelangsungan hidup kita dan generasi mendatang. Banjir besar dan kemarau panjang tahunan di sebagian besar wilayah Nusantara hanyalah salah satu dari sekian banyak konsekuensi alamiah dari eksploitasi takkenal batas atas lingkungan hidup kita demi keuntungan ekonomi segelintir orang sejak tiga puluhan tahun lalu. Kebijakan pembangunan nasional kita selama lebih dari 30 tahun terakhir cenderung tidak peduli dan ramah lingkungan. Saya melihat dua hal yang harus ditangani di sini: pola pendekatan teknologis dan ekonomis di satu sisi, dan pendekatan etika dan budaya di sisi yang lain. Secara etik, perilaku tidak bermoral, kolusi, korupsi, serakah, materialistik dan egoistik merupakan musuh bebuyutan lingkungan hidup. Hutan dan sumber daya alam kita dieksploitasi secara taksabar dan proporsional untuk memperoleh keuntungan ekonomi berjangka pendek, tapi akibatnya adalah problem-problem sosial-ekonomi, politik dan budaya berjangka panjang. Kalau saya jadi gubernur, saya akan menggeser pola pendekatan teknologis dan ekonomis murni dalam menangani lingkungan hidup kepada pola pendekatan yang juga melibatkan agama, nilai-nilai moral, dan kearifan lokal (indigenous knowledge). Saya sedih, setiap kali melakukan perjalanan dari Sungguminasa ke Sinjai via Malino, dari Maros ke Bone via Camba, dari Barru ke Soppeng via Buludua, dari Enrekang ke Tanatoraja, dari Rantepao ke Palopo, dan dari Luwu ke Wajo, saya menemukan hutan-hutan alamiah kita semakin hari semakin menyusut dan sungai-sungai yang semakin mendangkal dan mengering. Saya kadang mulai ragu, masih bisakah anak-anak dan cucu-cucu kita menikmati karunia Tuhan berupa kekayaan dan keindahan alam yang melimpah dan menakjubkan ini?

Demikianlah, gagasan-gagasan di atas harus dipahami masih sebagai kebijakan umum saja. Masih banyak gagasan lain yang sama pentingnya namun sudah tentu takmungkin bisa disebutkan semuanya di sini. Apalagi jika dituntut tawaran program kerja yang lebih konkret dan detail. Dan kalau isyarat Tuhan lewat meditasi saya ternyata negatif, tokh gagasan-gagasan saya ini mungkin bisa dibaca calon gubernur yang berhasil terpilih. Barangkali ada manfaatnya. Bagi saya, berbuat baik tidak harus selalu dengan menampakkan diri sebagai pelaku aktif, tapi juga bisa dengan menyumbangkan gagasan dan doa. Yang terpenting bukan “siapa” yang akan mewujudkan sebuah ide, tapi adalah bahwa ide itu kemudian bisa menjadi “kenyataan.” Dalam konsep filsafat Cina, “wu wei”, dikenal prinsip “berbuat tanpa berbuat.” Maksudnya, kebesaran seseorang terkadang bukan karena dia telah melakukan sesuatu, tapi justru karena berhasil tidak melakukan apa-apa. Analoginya, seseorang bisa terukir indah namanya dalam sejarah, justru karena dia memilih tidak menjadi gubernur. Bukankah selain menjadi gubernur, pengabdian kepada kemanusiaan selalu bisa dilakukan dengan beragam bentuk dan cara lain. Yang pasti, “Sebaik-baik manusia,” kata Nabi Muhammad saw., “adalah yang paling banyak memberi manfaat kepada manusia lainnya” (khairukum anfa’ukum linnas). Sebaliknya mungkin, sejelek-jelek manusia adalah “tau mangoa mappalaoang na de’gaga mammukka”. Yang terakhir ini tentu saja bukan dari Nabi, tapi dari saya. (rakus mengerjakan semua hal tapi takada yang tuntas)

Comments

Popular posts from this blog

Arung, Topanrita dan Relasi Kuasa di Sulsel

Memperebutkan Makna Islam

Obama dan Kita Menjelang Pesta Demokrasi 09