Beda Anre Gurutta dan Pak Ustadz

Lisanul hal afsahu min lisanul qaul. Perbuatan lebih fasih daripada perkataan. Demikian sebuah pepatah Arab yang kerap dikutip untuk menunjukkan perlunya keteladanan dalam dakwah dan pengajaran. Bahasa lisan memang perlu, namun bahasa tubuh kerap jauh lebih mujarab mengajak seseorang mengikuti kebaikan yang diserukan.

Kemujaraban perbuatan atas perkataan dalam dakwah mungkin bisa diuji selama Ramadan, bulan saat umat Islam menggiatkan diri dalam ibadah ritual. Di Indonesia khususnya, Ramadan telah menjadi kalender tetap umat Islam untuk menambah pengetahuan keagamaan mereka melalui beragam media dakwah (Islam). Selain di masjid, musholah dan tempat-tempat yang “disulap” menjadi tempat tarawih selama Ramadan, dakwah juga semakin semarak di media cetak dan elektronik. Begitu fenomenalnya trend ini, hampir tidak ada alasan bagi kita untuk tidak memperoleh dakwah agama di bulan Ramadhan. Dakwah pun sudah menyusup ke ruang-ruang surfing atau chatting di internet. Singkatnya, dakwah telah menyelinap ke setiap celah eksistensial kita, merasuk ke segenap relung keheningan jiwa kita selama bulan ini.

Tulisan ini dimaksudkan untuk membincangkan keragaman sosok mereka yang memberi dakwah (dai atau mubalig). Di masa lalu, kita bisa menemukan mubalig dalam sosok seorang ulama (dalam masyarakat Bugis, sosok ini dikenal sebagai gurutta, topanrita atau kiai di Jawa). Ada ulama yang muncul dalam sosok ahli syariat (faqih), ahli kalam, mufassir dan ahli hadis. Tidak jarang juga ada yang menguasai semua pengetahuan tradisional Islam itu.

Di masa yang lain, mubalig tampil sebagai sufi atau ahli tasawuf. Masyarakat mengenalnya sebagai figur yang tekun dalam ibadah, sederhana dalam kehidupan, ikhlas dalam pengabdian sosialnya, dan tinggi tingkatan spiritualnya. Pada wajah mereka bisa terlihat “ada aura sakral,” meminjam deskripsi Jalaluddin Rakhmat. “Orang datang sekadar untuk melihat wajahnya, meneguk sisa air minumnya, atau mengambil berkah dari doanya.” Dengan kualitas pribadi seperti itu, wajarlah jika hubungan mubalig dengan jamaahnya seperti hubungan tokoh rohaniah dengan para pengikutnya yang setia. Atau guru di sekolah dengan murid-muridnya. Mungkin itulah sebabnya, ulama-ulama tradisional dalam masyarakat Sul-Sel disebut gurutta (guru kita).

Ulama menjadi rujukan untuk semua masalah keagamaan umatnya. Ulama diikuti mereka tanpa sikap kritis. Ulama tidak boleh dikritik atau dikecam. Bahkan seperti orang tua kepada anaknya, gurutta bisa menegur dan bahkan “memarahi” seorang pengikutnya yang dipandang telah melanggar suatu ajaran agama, walau secara bijaksana tentunya. Kenyataanya, umat memang patuh pada gurutta. Mereka tidak justru balas mengkritik atau mencerca gurutta. Kata-kata gurutta demikian dipatuhi, dan umatnya senang karena masih ada yang mau menegur dan memarahi mereka.

Lalu datanglah saat ketika pengetahuan agama tidak lagi ekslusif milik para ulama dalam pengertian tradisional. Terjadi deregulasi besar-besaran dalam pengetahuan agama. Lembaga pendidikan keagamaan tradisional tidak lagi menjadi produsen utama otoritas keagamaan. Salah satu pemicunya adalah lahirya pemikir-pemikir modernis di awal abad ke-20. Juga bangkitnya kesadaran keagamaan di kalangan pemikir dalam disiplin ilmu umum akan pentingnya agama dalam setiap dimensi kehidupan. Pemikir-pemikir modernis mengkritik ulama tradisional dengan sengit. Ulama dianggap penyebab kemunduran Islam. Alasanya, para ulama ini telah menutup peluang ijtihad dengan memelihara institusi taklid dan menumbuhkan budaya feodalisme dalam agama, yaitu dalam bentuk penghormatan umat dan permohonan berkat kepada mereka. Ada proses demistifikasi di sini, dan dalam hal tertentu juga desakralisasi agama.

Bersandar pada hadis “sampaikan dari aku walaupun satu ayat,” setiap orang secara teoritis bisa menjadi mubalig. Bermodalkan sedikit kepercayaan diri dan kemampuan berbicara ditambah hapalan beberapa penggal ayat Al-Quran dan hadis, seseorang lalu bisa bicara tentang agama menurut keahliannya dalam disiplin ilmu pengetahuan umum tertentu. Fatwa-fatwa premature menggema dari mimbar-mimbar masjid. “Seandainya saya menghapal sejumlah ayat (Al-Quran),” sesal seorang teman saya yang pengurus sebuah masjid, “saya juga akan berceramah selama Ramadhan ini.” Mengapa? pancing saya. “Menjadi ustad kelihatannya mudah saja, sementara ‘honornya’ cenderung semakin bagus saja dari Ramadan tahun kemarin.”

Mubalig modern mungkin tidak lagi mau dipanggil ulama atau gurutta. Mereka lebih senang namanya disapa dengan ustad diiringi deretan gelar akademik yang telah diraih: Prof. DR. Ir. Drs. H. Fulan, S.Ag., M.A. Ada satu kisah menarik. Seorang Professor menggerundel hanya karena si protokol masjid lupa menyebut gelar professor di depan namanya ketika dia dipersilakan berceramah. Masjid seakan telah menjadi lembaga akademik formal, di mana setiap orang kadang harus diidentifikasi dengan gelar akademiknya. Gelar akademik memang bisa menjadi satu-satunya sumber kredibilitas seseorang akademisi yang kurang publikasi. Maka di sini simbolisme dan identitas tampaknya menjadi lebih penting daripada realitas dan kualitas. Ada sarkasme, GBHN, guru besar hanya nama.

Tragisnya, deretan gelar dan status akademik mubalig ini juga telah menjadi salah satu faktor umat tertarik untuk mengikuti ceramah, selain faktor popularitas mubalig yang bersangkutan. Popularitas mungkin bisa digenjot secara instant oleh media populer yang setiap saat menyorot kehidupan sang mubalig. Maka tidak jarang, dengan media yang sama seorang mubalig bisa terhempaskan begitu saja di mata ‘fans’ (penggermarnya) karena satu isu tertentu. Perselingkuhan misalnya. Bagaikan artis, mubalig populer selalu berusaha menjadi tetap populer. Tidak aneh, mubalig populer harus selalu tampil mengikuti kecenderungan umatnya yang gandrung pada segala sesuatu yang populer. Sambil tetap menyerukan hidup sederhana, banyak mubalig yang kemudian menjadi selebriti, lengkap dengan segala aksesorisnya: rumah megah, mobil mewah, pakaian mentereng, kartu kredit, sekretaris pribadi, handphone, hobby, hidangan dan hiburan berkelas, dll.

Sementara itu, ulama dalam sosok seorang sufi atau faqih lalu terdepak dari panggung masyarakat. Setiap saat mubalig populer bermunculan dengan satu dan lain cara, sementara satu demi satu ulama sufi dan faqih meninggal dunia tanpa pengganti. Di mana pun, setiap orang bisa mendengar dakwah atau mengakses sumber informasi keagamaan dengan mudah. Namun, tragisnya, setiap saat headlines berita di media massa justru memuat daftar peristiwa tragedi kemanusiaan yang semakin memilukan akibat menipisnya penghayatan nilai-nilai moral dan keagamaan dalam masyarakat. Sungguh sebuah paradoks memang. Pertanyaan yang menarik kemudian adalah, masihkah dakwah agama efektif dan fungsional sebagai striking force (kekuatan pendorong) masyarakat untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan? Jawabannya mungkin bisa beragam. Namun pepatah Arab yang dikutip di atas bisa menjadi titik tolak yang menarik untuk membahas soal ini. Asumsi dasarnya, semakin banyak orang pintar, tapi semakin sedikit orang jujur dan bijaksana.

Secara metafisik, pada diri seorang ulama sufi tradisional atau gurutta, bersatu pengetahuan dan pengamalan. Pengetahuan mereka adalah diri mereka sendiri. Apa yang mereka dakwahkan adalah apa yang telah mereka wujudkan dalam diri mereka sendiri sepanjang usia mereka. Seorang Ustad, sebelum berceramah misalnya, mungkin harus mempersiapkan diri dengan membaca buku dan menulis naskah ceramahnya (di sini kita mungkin berpikir, tidakkah lebih baik membaca sendiri buku-buku yang dibaca sang Ustad —lebih dalam, lebih komprehensif, lebih menghemat waktu). Bagai seorang komunikator, mubalig menyampaikan pesan tanpa keterlibatan dengan pesan itu sendiri.

Sementara, bagi seorang gurutta atau ulama sufi sejati, “kehadirannya” sendiri di tengah-tengah umatnya sudah merupakan isi ceramahnya sendiri. Bagai mercusuar, ia menjadi ruh di tengah lingkungannya. Apalagi jika dia sudah berbicara tentang “dirinya” yang dengan sendirinya adalah “pengetahuannya.” Biografi gurutta kerap menjelma menjadi sebuah kitab akhlak yang tak habis-habisnya diulas. Man ‘amila bima ‘alima, ta’allamallahul ‘ilma ma lam ya’lam. “Siapa yang mengamalkan apa yang ia telah ketahui, Allah akan mengajarinya pengetahuan baru,” kata sebuah hadis, jika bukan sekedar pepatah. “Ilmu yang tak diamalkan, bagaikan pohon tak berbuah”, kata pepatah yang lain. Gurutta memperoleh pengetahuannya tidak saja melalui bangku sekolah. Atau dengan sekedar membaca buku-buku. Pengetahuannya justru lebih banyak direguk dari pengamalan praktisnya atas ilmu-ilmu teoritisnya. Atau, melalui pengalaman hidupnya yang panjang dalam menempa diri menjadi a spiritual man. Bukan sekedar a religious man (manusia yang ber-agama).

Bagi gurutta, pengetahuan ilahiah dan batiniah justru bisa lebih banyak diperoleh melalui mujahadah sosial dan refleksi spiritual. Bukan sekedar dengan spekulasi teologis dan filosofis di bangku pascasarjana, apalagi sekedar seminar ilmiah di hotel-hotel mewah. Mungkin semacam pengetahuan langsung dari Tuhan (ilmu ladunny, seperti yang diberikan kepada Nabi Khidr a.s.). Yang hanya bisa diperoleh dengan latihan spiritual yang berat, namun nikmat. Keulamaannya bukanlah sebuah pencapaian singkat melalui penataran ulama dan kursus-kursus singkat mubalig. Keulamaanya bukan anugrah dari siapa-siapa, tapi merupakan konsekuensi sosial dari sebuah konsistensi menegakkan kebenaran. Tidak juga berupa “peng-kiai-an” oleh televisi dan radio swasta tertentu. Dia tidak pernah berangan-angan menjadi gurutta agar bisa memperoleh “amplop” sosial, apalagi menjadi seorang presiden. Baginya, berceramah bukanlah sebuah profesi yang meniscayakan imbalan material, apalagi sebagai kerja part-time sekali sebulan. Tapi, ceramah adalah kewajiban moral-religius yang harus ditunaikan. Tidak jarang, gurutta berdakwah tanpa melakukan apa-apa. Diamnya adalah dakwah yang nyata. Seperti falsafah tradisional China, wu wei, berbuat tanpa berbuat. Prinsipnya, kerap kali kita menjadi besar justru karena tidak berkata atau berbuat apa-apa.

Walhasil, dari sebuah kota kecil yang dingin di pesisir Samudera Atlantik, saya putuskan untuk sementara meninggalkan kesibukan akademik yang padat dengan berlibur hingga akhir Ramadan tahun ini di tanah air. Paling tidak, saya punya tiga tujuan: melakukan penelitian untuk thesis saya, menikmati “santapan jasmani” khas Bugis-Makassar yang I’ve missed so much (coto Makassar, lawa bale, dll), dan mengenyangkan hati dengan santapan rohani di masjid-masjid selama Ramadhan. Saya berharap, dengan begitu, pikiran saya yang telah dijejali argumen-argumen akademik yang rasional di bangku kuliah bisa kembali dikekang oleh kesucian hati karena dibasuh oleh amaliah dan ceramah Ramadan di lantai masjid.

Anehnya, hingga artikel ini ditulis, tak sekalipun saya pernah mengikuti salah satu ceramah tarwih dan kuliah subuh di salah satu masjid kota ini. Saya bingung mencari masjid yang masih mencantumkan nama seorang gurutta seperti yang saya definisikan sendiri secara arbitrer di atas. Saya butuh seseorang yang akan “memarahi” saya karena “kenakalan intelektual” saya selama ini. Saya butuh keteladanan hidup dalam berkata-kata dan berbuat. Massiddi ada na gau, Taro ada taro gau. Saya rindu bertemu orang yang jujur dan istiqamah. Namun, yang banyak kujumpai hanya orang-orang cerdas. Saya hampir lupa bahwa saya tidak sedang di kampus ketika membaca deretan nama-nama penceramah di beberapa masjid dengan gelar-gelar akademik yang panjang dan sulit saya tebak kepanjangannya. Saya kira, saya mengenal mereka. Artinya, saya mengenal mereka, walau mereka tidak mengenal saya. Namun, seperti kata Aristoteles, “Plato adalah temanku, tapi Kebenaran jauh lebih berharga bagiku.” Aku mencari sebuah masjid, tempat di mana dunia pun ikut bersujud. Wa Allah a’lam bi ash-shawab.

Comments

Popular posts from this blog

Arung, Topanrita dan Relasi Kuasa di Sulsel

Memperebutkan Makna Islam

Obama dan Kita Menjelang Pesta Demokrasi 09