Formalisasi Syariat Islam di SulSel: Wacana yang Jadi Mistik
Mungkin pada awalnya tidak ada yang menduga kalau ikhtiar sekelompok Muslim Sulsel memperjuangkan penerapan “syariat Islam” di daerah mereka akan jadi fenomenal. Kenyataannya, upaya mereka yang termasuk dalam kelompok pejuang formalisasi “syariat Islam” (selanjutnya disingkat PFSI, Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam [KPPSI] adalah salah satunya) ini kini mengundang perhatian semakin banyak kalangan. Puluhan seminar dan kongres tentang gagasan ini telah dilaksanakan, baik yang berskala regional, nasional maupun (yg diklaim berskala) internasional. Sama halnya, puluhan, jika tidak ratusan, artikel di
Sebagai respon terhadap upaya ini, Pemda Sulsel juga pernah mengirim beberapa tokoh cendekiawan muslim, wakil rakyat dan birokrat ke
Kenyatannya, sekalipun setiap saat menuai tanggapan dan kritik yang tidak jarang sinis, pesimistik, reaktif, bahkan kontraproduktif, dari berbagai kalangan yang tak setuju atas upaya mereka, PFSI justru makin menjurus pada the point of no return. Semangat dan kepercayaan diri mereka malah semakin bertambah kuat. Jika dicermati, paling tidak PFSI memiliki beberapa alasan untuk percaya diri. Pertama, PFSI memiliki ghirah atau semangat keberislaman yang meluap. Semangat tanpa reserve seperti ini memang diperlukan dalam setiap perjuangan di mana aksi lebih penting daripada diskusi. Kedua, mereka memiliki wadah perjuangan yang tampaknya cukup solid dan dinamis. Soliditas ini bisa tercipta karena penggagas formalisasi syariat Islam mampu menyederhanakan sebuah gagasan dan ideologi untuk aksi bersama. Ketika ada salah satu anggota mereka yang, misalnya, bermasalah, dengan mudah mereka bisa memberikan respons dalam berbagai bentuk sebagai wujud solidaritas mereka. Ketiga, mereka cukup tangkas dan efektif membuat dan merebut wacana di beberapa media massa lokal, sedemikian rupa, sehingga seolah-olah mayoritas umat Islam yang moderat dalam melihat masalah tapi diam (the silent majority) seolah-olah setuju saja dengan setiap upaya PFSI atau mereka setuju diatasnamakan oleh PFSI. Keempat, mereka aktif melakukan lobby, bargaining, atau bahkan political pressure yang cukup efektif membuat pejabat lokal bergeming dan memberi mereka lebih banyak ruang dan kesempatan berdialog daripada kalangan yang tidak setuju.
Namun demikian, selain modalitas di atas, dalam pengamatan saya, PFSI masih menyimpan sejumlah masalah. Pertama, tampaknya PFSI belum menunjukkan keseriusan untuk memulai kerja-kerja intelektual dalam merumuskan filosofi dan metodologi perjuangannya. Tampaknya, prioritas utamanya adalah merebut posisi pollitik atau the decision maker lebih dahulu baru bicara soal apa yang akan dilakukan berikutnya. Kedua, klaim keterwakilan yang tidak jelas. Melalui dua “kongres umat Islam Sulsel” saja barangkali kesahihan klaim keterwakilan (representativeness) belum cukup punya dasar yang kuat. Mungkin, agar benar-benar representatif, sebuah referendum dan semacamnya perlu dilakukan untuk menjaring pendapat keseluruhan umat Islam Sulsel tentang pemberlakuan “syariat Islam” di daerah mereka. Ketiga, simplikasi masalah-masalah sosial dan keagamaan yang sesungguhnya sangat kompleks.
Berkaitan dengan sejumlah persoalan di atas, PFSI mungkin perlu mempertimbangkan beberapa hal berikut. Pertama, PFSI perlu memperjelas definisi, visi, misi dan metode perjuangannya. Dalam era keterbukaan dan kepesatan laju informasi, kita tidak bisa lagi menarik simpati orang lain mengikuti perjuangan kita hanya dengan mengeksploitasi jargon-jargon yang efektif memancing dukungan emosional sesaat sambil menggunakan logika-logika yang cenderung terlalu menyederhanakan masalah yang sesungguhnya sangat kompleks. Informasi dan pengetahuan yang utuh mengenai apa yang sebenarnya sedang diperjuangkan, baik plus maupun minusnya, perlu secara jujur didistribusikan. Kini, bukan lagi saatnya menjual kucing dalam karung. Adalah tidak argumentatif menyatakan, “Mereka yang menolak upaya kami menegakan syariat Islam sebenarnya didasari oleh ketidaktahuan mereka atas ‘syariat Islam’ yang kami maksudkan,” tanpa segera diiringi penjelasan yang lebih tegas dan definitif mengenai bagaimana sesungguhnya bentuk “syariat Islam” yang mereka sedang perjuangkan itu, atau apa yang membedakan perjuangan PFSI dengan perjuangan kelompok Muslim lainnya. Ini penting, karena syariat sebagai doktrin keagamaan dapat dipahami secara berbeda-beda. Buktinya, syariat Islam yang dijabarkan dan dipraktekkan dalam bentuk fikih sudah sendirinya mengundang perbedaan pendapat (ikhtilaf) yang alot dalam bentangan sejarah masyarakat Muslim. “Kita,” kata Jalaluddin Rakhmat (1997:226), “tidak pernah mengamalkan Islam. Kita hanya mengamalkan apa yang kita pahami sebagai ajaran Islam.”
Kedua, sikap terbuka atau inklusivisme tampaknya harus lebih dikemukakan. Ini mencakup keterbukaan untuk mempertimbangkan, minimal mendengarkan, pandangan-pandangan yang entah secara implisit maupun eksplisit berbeda atau tidak setuju dengan apa yang sedang diperjuangkan PFSI. Dalam beberapa forum, ketika tokoh-tokoh atau kelompok yang tidak mendukung atau tidak setuju dengan upaya formalisasi syariat Islam sedang berbicara, jangankan memberi tanggapan yang bersifat intelektual dan akademik, sebagian anggota PFSI konon lebih kerap sibuk bicara dengan sesama mereka sendiri atau, paling buruk, meninggalkan forum tanpa pamit (kerapkali setelah sebelumnya mengajukan pertanyaan kepada nara sumber). Baik ditinjau dari segi etika Islam maupun etika akademik, itu tentu saja sudah tidak etis.
Keempat, selain memperjuangkan formalisasi Islam dengan cara-cara politis yang bisa bermodalkan sekedar kerumunan, meminjam kalimat Goenawan Mohamad (1990:2), “orang-orang banyak yang digerakkan dalam barisan” dan semangat tanpa kritisisme (taqlid) atas sebuah ideologi bersama atau tokoh tertentu, cara-cara yang lebih mengandalkan intelektualitas tampaknya perlu ditempuh. Ini mencakup upaya untuk mengetahui dan melakukan kajian atas sejarah dan khazanah intelektualisme Islam secara komprehensif agar perjuangan menegakkan syariat Islam memiliki pijakan-pijakan normatif dan historis yang adekuat. Pemerintah Pakistan, misalnya, dalam rangka merumuskan format ideologis sebuah negara Islam yang diidealkan, perlu mendirikan semacam lembaga riset Islam di mana Fazlur Rahman, salah seorang pemikir Muslim terkemuka, pernah menjadi direkturnya. Lembaga ini menghimpun sarjana-sarjana Muslim Pakistan terbaik untuk melakukan riset tentang Islam dalam konteks masyarakat
Kelima, soal keterwakilan atau pengatasnamaan “seluruh” umat Islam Sulsel adalah masalah yang pelik. Keikutsertaan beberapa tokoh dari kelompok-kelompok Muslim Sulsel dalam beberapa forum yang dilaksanakan oleh PFSI tidak serta-merta menunjukkan bahwa PFSI telah mendapatkan kartu dukungan dari kelompok-kelompok tersebut. Jika, PFSI percaya pada mekanisme demokrasi dalam mencapai kesepakatan, salah satu cara untuk mengetahui kehendak umat Islam hingga ke level akar rumput adalah, seperti telah disebut di muka, dengan referendum. Dalam referendum semacam itu, selain menanyai persetujuan mereka atas penerapan syariat Islam di Sulsel, juga perlu dijelaskan secara komprehensif definisi, visi, dan misi “syariat Islam” yang sedang dimintakan persetujuan mereka. Harus disadari, informasi dan pengetahuan umat Islam tentang “syariat Islam” bukan saja bervariasi, tapi juga agaknya masih kurang memadai.
Keenam, kecenderungan militansi dan radikalisme kiranya perlu dihindari. Militansi membutuhkan sekedar dua unsur: kepekatan hati untuk fanatik dan kesiapan pikiran untuk menyederhanakan masalah (Goenawan, 1990:257). Tentu saja, dalam kelompok PFSI terdapat sejumlah tokoh yang telah memiliki informasi dan pengetahuan yang cukup dalam tentang Islam. Bahkan mungkin, di antara mereka ada yang sudah memiliki kualifikasi untuk menghasilkan konstruk-konstruk pemikiran keagamaan yang mandiri karena penguasaan mereka atas khazanah intelektual dan sejarah Islam. Namun, tidak bisa dipungkiri juga, dalam kelompok itu masih terdapat sejumlah orang yang baru saja mulai belajar Islam. Bagi kelompok kedua ini, yang mungkin bisa disebut born to Islam, potensi untuk menyederhanakan masalah-masalah keagamaan besar sekali. Kerapkali, dengan sekedar modal semangat beragama yang menyala-nyala, mereka lantas merasa sudah bisa menyelesaikan semua masalah kemanusiaan. Padahal, hidup tidak cukup dengan semangat saja karena semangat lebih bersifat reaktif. Sikap reaktif hanya butuh modal emosi, dan emosi hanya bisa timbul dan bertahan sesaat. Sementara sikap proaktif butuh modal intelektualitas yang pengembangannya memerlukan waktu yang lama dan metodologi yang jitu.
Ketujuh, kita harus mawas diri dan mau mengenali potensi fanatisme dan teror yang mencemari Islam dan bercokol dalam kehidupan umat Islam sendiri. Ziauddin Sardar di satu artikelnya dalam The Observer baru-baru ini mengatakan, sudah saatnya kaum muslim tidak tinggal diam menyaksikan wacana-wacana agama seperti jihad dan fatwa dibajak oleh kaum fanatik. Sudah saatnya mayoritas umat Islam yang sikapnya moderat tapi diam (the silent majority) berbicara vokal merebut wacana. Dalam perspektif agama dan demokrasi, perjuangan melembagakan syariat Islam, saya kira, adalah suatu ikhtiar yang sah dan wajar, sebagaimana halnya ikhtiar lain yang dilakukan oleh kelompok Muslim lain walau dengan misi dan visi yang berbeda. Karena itu, semuanya pun harus mendapatkan penghargaan yang wajar. Dan, dengan mendahulukan prasangka baik, perjuangan seperti itu pastilah memiliki maksud dan tujuan yang luhur dan suci. Fritjhof Schuon pernah berkata, “Kebijaksaan itu tidak terletak pada kepelikan kata-kata, tapi pada keluhuran maksud.” Namun, karena kita tidak menganut prinsip segala cara halal demi mencapai tujuan, pencapaian tujuan yang suci dan mulia itu hendaknya ditempuh dengan cara-cara yang luhur dan suci pula.
Comments