Hidup Bukan Sekadar dari Pilkada ke Pilkada

Dalam beberapa minggu terakhir, saya tiba-tiba malas dan kesal membaca headlines koran-koran lokal di Makassar. Berita-berita utama dan liputan mereka melulu tentang kasak-kusuk politik menjelang pilkada gubernur Sulsel kurang lebih setahun mendatang. Saya gemas, akhir masa jabatan gubernur dan wagub sekarang masih cukup lama, tapi diskursus tentang cagub/cawagub berikutnya seolah-olah sudah demikian mendesaknya bagi kalangan politisi sehingga setumpuk persoalan rakyat yang justru lebih krusial dan genting dituntaskan cenderung diabaikan. Seakan-akan hidup hanya sekadar untuk memilih pejabat. 
Kekesalan saya bukan terutama pada pers yang memang memandang pergunjingan politik sebagai berita yang laris dan seksi. Tapi pada atraksi politik murahan yang tiap hari dipentaskan sejumlah elit parpol berkaitan dengan pilgub. Rapat konsolidasi, penjaringan aspirasi, temu kader, konsultasi, pelamaran/kesediaan calon, pengusungan nama, kebulatan tekad, penjajakan koalisi, survey, dan sejumlah hajatan politik lainnya kini menjadi agenda utama di kalangan elit parpol yang punya libido besar merebut atau mempertahankan kekuasaan politik di Sulsel, termasuk politik dinasti.
Saya memang malas sekali memantau kerjaan para wakil rakyat di DPRD Sulsel. Selain bukan selingan menarik, saya juga bukan anggota LSM pemantau legislatif dan semacamnya. Juga tak punya waktu luang mencermati kinerja para pengurus parpol di tingkat daerah, khususnya selama masa antar-pilkada. Tapi, secara umum, kesan saya, di luar kesibukan rutin menetapkan dan mengusung cabup/cawabup menjelang pilkada, parpol-parpol tampaknya masih disibukkan dengan sekadar urusan dan kepentingan diri sendiri, seperti musda/muswil, rakerda, komperda/kompercab dan semacamnya. Hampir tak pernah terdengar parpol memanfaatkan waktu antarpilpres/pilkada guna melakukan pendidikan dan pemberdayaan politik masyarakat lewat jalur-jalur pendidikan, sosial, budaya, ekonomi dan hukum.
Liputan-liputan media tentang parpol selama ini pun umumnya seputar penggantian DPD, pengajuan cabup/cawabup, recall, PAW dan sebagainya. Jika ada berita selingan, itu pun tentang sejumlah wakil rakyat yang gemar berstudi banding, terjerat kasus korupsi, minta kenaikan tunjangan dan tambahan fasilitas seperti laptop, mobil dan rumah. Entah kapan, liputan tentang parpol akan didominasi berita-berita tentang sejumlah kegiatan pelatihan, workshop, seminar, baksos, advokasi hukum, pagelaran seni-budaya, penanganan pascabencana, pelayanan kesehatan, pendampingan masyarakat dan semacamnya yang dilakukan parpol-parpol di tengah-tengah masyarakat. Tak usah jauh-jauh, kegiatan semacam temu wakil rakyat dan konstituen saja rasanya jarang sekali terdengar. Jika ada, itu pun menjelang pilkada, untuk menjaring cabup/cawabup yang diasumsikan paling dikehendaki masyarakat setempatan. Di luar itu, temu wakil-rakyat dengan konstituen masih suatu kemewahan.
Harapan saya, para elit parpol, khususnya yang menjadi wakil rakyat di DPRD bisa lebih mengoptimalkan fungsi dan wewenang merancang dan mengesahkan kebijakan dan perundang-undangan yang benar-benar memenuhi keinginan dan kepentingan rakyat. Fungsi kontrol terhadap lembaga eksekutif seharusnya juga benar-benar dijalankan secara independen sehingga kuantitas dan kualitas pemenuhan kepentingan rakyat oleh pemerintah daerah senantiasa bisa diukur dan dinilai secara objektif dan transparan.
Terkait dengan pilgub Sulsel periode berikutnya, saya belum pernah mendengar komentar, apalagi laporan yang dilengkapi data-data konkret, objektif dan kuantitatif, dari anggota DPRD Sulsel tentang tingkat keberhasilan pemenuhan janji-janji, visi, misi dan program kerja yang dulu dinyatakan H.M. Amin Syam dan H. Syahrul Yasin Limpo sebelum keduanya dipilih menjadi gubernur/wagub. Jika misalnya parpol tertentu ingin mencalonkan (kembali) keduanya sebagai cagub, idealnya pertimbangannya bukan sekedar karena keduanya praktis, berkat jabatannya, merupakan dua tokoh yang diasumsikan paling dikenal rakyat Sulsel saat ini. Tapi, karena berdasarkan hasil evaluasi atau analisis terhadap kinerja mereka sejak hari pertama bertugas. Apakah mereka memang telah menunjukkan prestasi besar dan, karena itu, amat sayang jika tidak diberi mandat kedua untuk lima tahun ke depan. Ataukah selama masa jabatan mereka rakyat justru semakin frustrasi.
Kenyataannya, salah satu kelemahan tradisi dan proses penggantian pejabat publik di Indonesia umumnya adalah kurangnya perhatian dan penekanan pada kontrol dan evaluasi terhadap track record dan kinerja calon pejabat yang bersangkutan. Seharusnya assessment seperti itu menjadi salah satu tugas pokok para anggota DPRD, baik dalam rangka menilai laporan tahunan maupun LPJ di akhir masa jabatan gubernur. Pembuatan memori jabatan atau analisis cermat atas tingkat keberhasilan dan kegagalan seorang pejabat di akhir masa jabatannya tampaknya juga belum menjadi keharusan di sini.
Memang, di sejumlah instansi tertentu, seleksi calon pejabat sudah mencakup fit and proper test. Namun, test semacam itu agaknya masih lebih menekankan penilaian terhadap muatan visi, misi dan program kerja yang ditawarkan sang calon jika terpilih kelak. Jadi, orientasinya ke masa depan dan belum didesain untuk mengevaluasi secara kritis kadar keberhasilan dan kegagalan sang calon dalam jabatan-jabatan yang pernah dipegang sebelumnya. Juga tentang kelemahan dan keunggulan komparatif dan kompetetif sang calon yang memungkinkannya akan lebih berhasil dalam jabatan berikutnya dibanding calon-calon lainnya.
Berbeda dengan para manager dan CEO perusahaan-perusahaan swasta, para pejabat publik kita belum terbiasa (atau belum diwajibkan) membuat semacam memori jabatan dan professional resume, yang merekam apa pun yang telah dikerjakan dalam kapasitasnya sebagai pejabat. Sementara itu, ketiadaan partai oposisi di Indonesia membuat sulitnya memeroleh informasi dari pihak luar yang secara voluntir memantau dan mengevaluasi secara kritis dan cermat kinerja pemerintah yang sedang berkuasa, sekalipun dengan tujuan mencari cela dan kesalahan pejabat terkait demi kepentingan politik partai pencela.
Karena itulah, rasanya masih merupakan mimpi bahwa menjelang pilkada gubernur nanti kita bakal menyaksikan tontonan politik menarik semacam debat calon di mana track record, integritas, kapabilitas dan kompatibilitas para cagub dan cawagub akan diuji secara luas, transparan dan bermartabat. Yang paling mungkin terjadi, hujan leaflet dan poster serta mendung banner dan spanduk yang memajang foto-foto dan nomor urut para calon dalam pilkada disertai slogan-slogan bombastis yang tidak mendeskripsikan visi, misi dan program kerja mereka secara utuh. Tragis memang, pertimbangan utama para elit parpol, juga kebanyakan masyarakat, dalam menetapkan cagub/cawagub tampaknya masih berkisar pada kuat dan luasnya pengaruh sosial-religius-politik sang calon saat ini dan kemelimpahan bahan bakar finansial mereka untuk menggerakkan mesin kampanye pilkada.
Pertimbangan dan asumsi para elit parpol di Sulsel dalam menetapkan cagub/cawagub memang tampak jungkir balik. Ketimbang mencermati secara objektif calon mana yang (terbukti) memiliki integritas dan kapabilitas yang paling potensial dipilih rakyat atau diyakini akan konsisten berpihak pada kepentingan mereka, elit parpol dan para petualang politik justru sibuk meramu asumsi dan membuat survey tentang figur-figur yang saat ini paling “dikenal” rakyat. Sekalipun “dikenal” di sini bisa sekedar bermakna aksesorik, layaknya selebriti dadakan dalam liputan infotainment.
Dalam konteks ini, bisalah dipahami jika menjelang pilkada, menampak kembali figur-figur yang memiliki hubungan genealogis dengan golongan aristokrat era kerajaan historis Sulsel atau tokoh yang dalam memori kolektif masyarakat Sulsel belakangan dipersepsi sebagai hero akibat amnesia sejarah. Maka buhul-buhul feodalisme, primordialisme dan sektarianisme menguat kembali. Sejarah (juga media massa) lagi-lagi akan berkisah melulu tentang kehidupan para penguasa, kaum feodal dan pemilik modal. Sementara rakyat kecil akan terus pasrah hidup dalam siklus penderitaan, terus menerus dilupakan sejarah lalu dididik untuk melupakan sejarah, termasuk sejarah penindasan para penguasa mereka di masa lalu yang kini mereka harus kenang justru sebagai pahlawan.

Comments

Popular posts from this blog

Arung, Topanrita dan Relasi Kuasa di Sulsel

Memperebutkan Makna Islam

Obama dan Kita Menjelang Pesta Demokrasi 09