Literalisme dan Liberalisme dalam Memahami Agama

Di mailing list yang menjadi forum pemikir muda (Muslim) Indonesia yang berhimpun dalam Jaringan Islam Liberal (JIL) berdiskusi di internet (islamliberal@yahoogroups.com), pernah terjadi diskusi hangat tentang berbagai tafsiran atas konsep “shiratal mustaqim” (jalan yang lurus) yang waktu itu dipantik oleh Ulil Abshar Abdallah, kordinator JIL. Dalam pengajaran Islam tradisional, shirat di akhirat digambarkan dengan titian yang membentang di atas neraka menuju surga. Karena tajamnya, titian tersebut dikiaskan dengan rambut dibelah tujuh. Beberapa kawan JIL memandang gambaran titian seperti itu terlalu konkret untuk sebuah metafora metafisik, juga gambaran surga dan neraka. Tulisan berikut adalah salah satu posting saya dalam diskusi tersebut setelah diedit seperlunya.

Sewaktu SD, ada satu komik di perpustakaan sekolah saya yang menggambarkan kehidupan di surga dan neraka, lengkap dengan naturalisasi atas tahap-tahap sebelum memasuki salah satunya. Salah satu gambaran naturalistik di komik itu adalah titian itu tadi. Membentang di atas jurang yang menganga lebar dan dalam, dipenuhi duri dan berbagai makhluk aneh menakutkan, titian ini disebut satu-satunya jalan yang harus dilewati setiap orang menuju surga. Gambaran fisik surga dan neraka dalam komik itu begitu berbekas di benak saya sejak itu hingga terus mempengaruhi tafsiran saya atas alergori-alegori Qur’ani tentang kehidupan akhirat untuk beberapa waktu lamanya. Namun, belakangan, mungkin seiring dengan ekstensifikasi dan pluralitas teks-teks keagamaan yang saya baca, persepsi saya perlahan berubah atas alegori titian dalam komik itu. Juga dalam cerita guru-guru agama tradisional saya. Pandangan saya juga berubah atas masalah-masalah metafisis lainnya dalam teks-teks keagamaan seperti surga, neraka, hari kebangkitan, keabadian ruh, pengadilan akhirat dst.

Dalam tahap ini, saya lalu cenderung memahami peristiwa-peristiwa metafisik dalam Al-Qur’an secara sangat simbolik dan metaforik. Bahkan ada tarikan mental yang kuat untuk menafikan eksistensi surga dan neraka dalam gambaran wujud ruang dan waktu seperti disebut Al-Qur’an. Saat itu, surga saya pahami sekedar sebagai keadaan mental dan spiritual yang menyenangkan di dunia berikutnya sebagai buah dari kebaikan duniawi yang telah kita lakukan. Atau karena perasaan dekat dengan Allah. Sementara neraka adalah keadaan sebaliknya. Artinya, ketika berhasil melepaskan diri dari pemahaman "tekstualis" (lafzi) yang ketat, saya malah kemudian menjadi sangat terpesona pada "simbolisme" (ma’nawi) yang cenderung sangat liberal dan arbitrer. Maka, wajarlah, saya bisa maklum ketika alm Prof. Harun Nasution (dan Cak Nur) menyatakan bahwa secara kontekstual, frase shiratal mustakim dalam Al-Qur’an bisa diumpamakan highways (dengan "s" =banyak) atau jalan-jalan raya menuju kebenaran.

Namun, dalam pembacaan lebih lanjut, muncul kesadaran baru dalam diri saya bahwa simbolisme dan metaforisme dalam memahami pesan-pesan agama yang bersifat metafisis adalah satu ekstrim yang lain lagi. Pemahaman simbolik saja akan mereduksi pesan-pesan agama dari aspek-aspeknya yang bersifat literal dan praktikal. Maka berkaitan dengan tensi antara pemahaman literalistik dan simbolistik atas teks-teks keagamaan, saya kira perspektif "menengah" (wasathiyyah) mungkin lebih anggun dan bijak. Betapa pun "kemenengahan" posisi itu sendiri masih sangat relatif, tapi di tengah kancah ketegangan abadi antara kanan dan kiri, literalisme/simbolisme, dogmatisme/liberalisme, modernisme/tradisionalisme, pluralisme/ketunggalan kebenaran dst, sikap itu membuka mata kita melihat perlbagai perspektif yang berbeda. Bolehlah "menengah" di sini dimaknai sekedar sebagai kemampuan mental dan intelektual untuk tidak terjerembab ke dalam jeratan pemahaman dan pengamalan kegamaan yang terlalu ekstrim. Misalnya, terlalu tekstualis di satu sisi, dan di sisi lain kelewat jauh mengontekstualkan seluruh pesan teks-teks agama yang mungkin harus dipandang pasti dan sakral dalam dirinya sendiri. Lebih parah lagi jika sampai menolak otoritas, relevansi dan partikularitas teks itu sama sekali.

Dengan kata lain, saya cenderung membiarkan pendulum pemahaman saya berayun secara dinamis, berketerusan dan proporsional antara sisi "basah" dan "kering' agama ini; antara dimensi intelektual dan praktikalnya; antara pesan-pesan universal dan lokalnya; antara nilai-nilai perennial dan temporalnya; antara manifestasi historikal dan angan-angan normatifnya; antara idealisme teks dan realisme konteks/sejarah; atau antara tafsiran "liberal"-nya di satu sisi, dan pemahaman "literal"-nya di sisi yang lain. Dalam konteks respons atas situasi sosiopolitik global dewasa ini, polaritas di atas mungkin bisa berbentuk keasyikan berwacana tentang "kekuatan logika" di satu sisi (misalnya direpresentasikan dalam derajat tertentu dengan JIL), dan gelegak semangat mendayagunakan "logika kekuatan" vis-a-vis kejahatan global yang konkret di sisi lain (misalnya oleh JI dll).

Kenyataannya, dalam sejarah terlihat, varian dan dialektika "dualitas" ini selalu mawjud dalam kancah pemikiran filsafat dan keagamaan umat manusia. Dualitas tersebut bergumul secara dinamis, kreatif dan langgeng agar menjadi narasi dominan dalam bingkai historis tertentu. Walau takjarang berakhir dengan konflik dan pentahkiman di satu pihak, perdebatan sekitar varian dualitas ini juga melecut lahirnya karya-karya filosofis dan keagamaan yang kaya dan gemilang hingga hari ini. Idealisme Plato dan realisme Artistoteles, misalnya, diurai lewat karya-karya mengesankan filsuf Muslim Al-Farabi (870-950). Soal keabadian dunia, kebangkitan jasmani di hari akhirat dan pengetahuan Tuhan tentang partikularitas, melahirkan karya polemis Al-Ghazali (1058-1111) dan Ibnu Rushd (1126-1198). Lalu soal kesatuan wujud (wahdatul wujud) versus kesatuan penyaksian (wahdatul syuhud) dalam tasawuf aliran Ibnu ‘Arabi (1162-1240), melahirkan karya-karya intelektual Hamzah Fansuri dan Abdul Rauf Sinkel di abad ke-16 & 17 di Nusantara.

Karena itu, menurut saya, sejarah itu sendiri lebih tampak sebagai rentetan pergumulan abadi berbagai dualitas ini. Tentang mana di antara sisi-sisi dualitas itu yang benar di mata Allah, itu adalah masalah teologis dan filosofis. Bukankah kepada Allah juga semua akan kembali dan Dia sendiri yang akan memberitahu kita di akhirat tentang segala hal yang kita perselisihkan di dunia ini (lihat Qs. 5:48; 6:164; 16:92). Sejauh ingatan saya, soal-soal metafisik hingga hari ini takpernah bisa didaku oleh siapa pun telah tertuntaskan. Misalnya, hanya karena seorang jenius dalam setik sejarah tertentu telah lahir dan mampu memberi jawaban atas soal-soal metafisik sedemikian telak dan komprehensifnya, lantas semua metafisikawan yang datang berikutnya hanya bisa tergagap dalam keterpukauan dan kemanjaan intelektual. Mereka tak lagi bisa berpikir lain kecuali sekadar membenarkan, memuja-muji dan mengikuti sang jenius. Serangan penuh tenaga Al-Ghazali terhadap filsafat rasional Islam (peripatetisme) lewat bukunya Tahafut al-Falasifah, misalnya, tokh juga tidak bisa memberangus sama sekali semua aktivitas dan pemikiran filsafat di dunia Islam (Corbin, 1993).

Dalam dinamika pemikiran keagamaan, setiap pendakuan (termasuk yang hanya terbetik dalam hati) atas "kelebihbenaran," atau "kelebihdekatan pada kebenaran" dan "kemerasaterpanggilan" oleh satu kelompok tertentu atas kelompok lainnya dalam satu fase sejarah tertentu terbukti tak berdaya menerima fakta bahwa generasi belakangan sangat mungkin akan menertawakan pendakuan para leluhur mereka itu dan menawarkan pemahaman terhadap realitas/kebenaran keagamaan di bawah sinaran cahaya yang lebih kreatif dan cemerlang. Dalam pergumulan pemikiran (al-ghazw al-fikr), tampaknya tidak pernah ada satu pihak yang bisa benar-benar terlumpuhkan atau terlucuti sedemikian rupa, sehingga benih-benih pemikiran mereka tidak bisa lagi bersemai dan mekar di kemudian hari. Kita memang takpernah bisa memusnahkan sebuah gagasan secara mutlak.

Walhasil, tentang mana di antara dualitas itu yang terbukti lebih efektif dan konkrit membawa manusia pada pencerahan, kesejahteraan, kebahagiaan dan keselamatan, itu adalah persoalan sejarah. Kita yang hidup hari ini hanya bisa berharap, formulasi pemahaman keagamaan kita akan memberi manfaat bagi dan mendapatkan penghargaan setimpal dari generasi mendatang berkat visi historis dan kebenaran profetik yang dikandungnya. Namun, terhadap hal ini pun kita takbisa memberi jaminan. Paling kurang, kita bisa berkata: pemikiran kita hari ini memang hanya ditujukan bagi kemasalahatan hidup kita kini-dan-di-sini.

Sayangnya, mungkin karena semangat (iman?) yang meluap-luap dibarengai gelembung kepercayaan diri, satu generasi pemikir tertentu kerapkali merasa jauh lebih jenial, kreatif, inovatif dan reformatif ketimbang generasi-generasi seangkatan mereka atau yang terdahulu. Mereka lantas merasa telah mendapat mandat atau "panggilan tugas" keagamaan untuk merumuskan konstruk pemikiran yang diasumsikan melampuai daya tangkap zaman dan tempat mereka. Akibatnya, lahirlah kecenderungan meremehkan tradisi yang dibangun pendahulu-pendahulu mereka secara gradual selama puluhan abad, yang termaktub dalam jutaan jilid kitab. Dalam ungkapan lain, sembari gigih meneriakkan pentingnya ijtihad, mereka cenderung meremehkan ijtihad pendahulu mereka. Maka jejaring tradisi pun terputus di sini, dan generasi belakangan mungkin akan hidup tanpa silsilah intelektual dan spiritual yang jelas.

Ini mungkin salah satu akibat dari memudarnya satu prinsip utama kebijaksanaan Islam (hikmah) dalam dialog dan diskursus pemikiran generasi Muslim saat ini. Tragisnya, yang hilang itu justru mungkin adalah rahmat dan hikmah terbesar dari adanya "ketegangan" abadi berbagai dualitas ini. Yang hilang itu adalah "adab". Juga "kerendahhatian" (tawadu) yang --menurut Muhammad Isa Nuruddin, filsuf dan sufi Muslim terkemuka abad ke-20— bersama-sama dengan kecintaan kepada kebenaran dan kedermawanan spiritual, merupakan tiga kualitas spiritual yang membentuk konsep 'hikmah' dalam tradisi Islam.

Dalam pengertian sehari-hari, "adab" kerap bermakna "menyembunyikan kebenaran demi kesopanan." Atau, "mengkompromikan kebenaran demi menjaga harmoni dan persatuan." Makna sejati konsep 'adab' dalam tradisi Islam justru sebaliknya. 'Adab' diibaratkan "pedang yang tajam," sedemikian tajamnya, sehingga kalau dipakai memotong sesuatu, sesuatu itu bisa terpotong namun ia tidak merasa sakit sama sekali (Nasr, 1976). Dengan kata lain, 'adab' adalah kemampuan menyatakan kebenaran kepada seseorang atau kelompok orang tertentu dengan lidah yang tajam dan lentur sedemikian rupa sehingga orang tersebut bisa menerima kebenaran yang diserukan tanpa tersinggung atau sakit hati. Katakanlah, semacam kemampuan memadukan ketangkasan berlogika, kefasihan beretorika dan kesempurnaan etika.

Agaknya, kesakithatian kelompok tertentu atas kelompok lain dalam banyak diskursus keagamaan belakangan ini kerap muncul bukan sekadar karena kelompok yang satu memang "tuli" atau kelewat "lugu" memahami unsur kebenaran yang lain. Tapi lebih banyak karena mereka penaka ditawari madu asli dalam gelas yang berdebu dan panas. Atau ibarat kita mengeluarkan tumor dari dalam tubuh mereka lewat operasi tapi menggunakan pisau tumpul dan berkarat. Dengan kata lain, "dakwah" takmungkin berhasil jika ia diserukan secara emosional, dibarengi maksud "ria" (pamor atau puji diri) dan dibahasakan oleh lidah yang kering dan kaku karena jarang dilumasi dan digerak-gerakkan oleh dzikir kepada Allah. Memang, kata Jalaluddin Rakhmat (1996), untuk menjadi intelektual Muslim yang baik seorang dituntut memiliki minimal empat kualitas (4-al): kecerdasan intelektual, kesucian moral, ketajaman spiritual, dan kefasihan berolah vokal (bukan vocal group).

Kembali ke persoalan awal, lantas kira-kira mana tafsiran yang benar atas "siratal mustakim". Yang literalis ataukah yang simbolis? Tidak ada jawaban yang pasti. Jika kita mesti memberi penilaian normatif, bisa saja kedua pendapat ekstrim itu benar, atau keduanya salah. Sebab, bukankah kita sama-sama belum pernah mengalami kehidupan hari akhirat. Tidak ada demonstrasi empirik yang bisa diterima tanpa keraguan rasional. Jadi, masih merupakan masalah metafisik dan sulit dibuktikan secara fisik. Namun perlu dicatat, salah-satu prinsip dalam metafisika Islam adalah 'adamul wijdan la yadullu 'ala 'adamul wujdan (ketiadaan 'pengetahuan' kita tentang sesuatu bukanlah bukti akan 'ketiadaan' sesuatu itu).

Bicara tentang manfaat membicarakan soal-soal metafisika, mungkin juga ada gunanya mengingat parabel dalam satu teks tradisional Buddhisme, Majjhima Nikaya.

Dikisahkan, Siddharta Gautama terus-menerus didesak sejumlah Bikkhu pengikut utamanya agar menjawab sejumlah masalah metafisik. Misalnya tentang apakah dunia ini abadi atau diciptakan, apakah dunia terbatas atau tidak; apakah jiwa itu sama dengan badan, apakah jiwa abadi atau hancur, adakah kebangkitan jasmani, dst. Siddharta yang dikenal lebih suka mengajarkan masalah-masalah kehidupan yang praktis demi mencapai pencerahan, malah menjawab:

"Misalkan seorang terluka oleh anak panah yang dilumuri racun. Kawan-kawan dan para pengikutnya, keluarga dan handai tolannya telah mendatangkan seorang dokter untuknya. Namun korban masih berkata: 'Saya takkan mau anak panah ini dicabut dari tubuh saya kecuali saya tahu apakah orang yang melukai saya berasal dari kasta kesatria, atau kasta pendeta, atau kasta pengusaha atau kasta rakyat jelata.' Atau dia berkata: 'Saya tak ingin anak panah ini dicabut sebelum saya tahu nama orang itu, dari klan mana, apakah dia tinggi atau pendek, dari kota mana dia datang, jenis panah apa yang dipakainya memanahku, busurnya, talinya, mata panahnya.’ Maka org ini, kata Gautama, akan mati sebelum dia pernah bisa mengetahui semua hal-hal ini." (Majjhima Nikaya,
I:428)

Dengan kata lain, tampaknya tidak setiap orang mesti dianjurkan ikut merisaukan soal-soal metafisik dan filosofis seperti disebut di atas. Termasuk mengenai apakah shiratal mustakim itu terbuat dari rambut atau ijuk, apakah ia sebuah jembatan atau titian, apakah ia setajam rambut dibelah tujuh, empat puluh, seratus, seribu atau seratus ribu. Sebab jika demikian, seseorang bisa saja menghabiskan seluruh hidupnya mengajukan masalah-masalah ini dan mencari jawaban atasnya hingga tak pernah punya waktu "mengamalkan" agama, yakni, menempuh jalan (shirat) yang membawa kepada, tak usahlah surga, katakanlah "pencerahan."

Comments

Popular posts from this blog

Arung, Topanrita dan Relasi Kuasa di Sulsel

Memperebutkan Makna Islam

Obama dan Kita Menjelang Pesta Demokrasi 09