Pemimpin Adalah Refleksi Keadaan Masyarakatnya

Kamâ takũnũna yuwallâ ‘alaikum (sebagaimana keadaan kalian, demikian pula ditetapkan penguasa atas kalian). Ungkapan di atas adalah di antara hadis Nabi Muhammad saw yang tergolong ringkas tapi sarat makna (jami’ al-kalîm).

Pertama, kalimat itu dapat bermakna, pedoman sekaligus perintah kepada masyarakat untuk menyalurkan kehendak mereka melalui upaya pemilihan dalam menetapkan pemimpin/penguasa. Kedua, seorang penguasa atau pemimpin adalah cerminan dari keadaan masyarakatnya. Pemimpin/penguasa yang baik adalah dia yang dapat menangkap aspirasi masyarakatnya, sedang masyarakat yang baik adalah yang berusaha mewujudkan pemimpin yang dapat menyalurkan aspirasi mereka. Ketiga, masyarakat tidak boleh terburu-buru menyalahkan pemimpin mereka yang menyeleweng, durhaka, atau membangkang. Sebab, pada dasarnya, yang bersalah adalah masyarakat itu sendiri. Bukankah pemimpin adalah refleksi dari keadaan masyarakatnya?

Sebagaimana keadaan kalian, kata Nabi, demikian pula ditetapkan pemimpin atas kalian. Adagium Inggris berbunyi, people get the government they deserve (rakyat mendapatkan pemerintahan yang pantas untuk mereka). Masyarakat yang menjunjung tinggi prinsip kesucian moral, keadilan, kejujuran dan kesederhanaan tentu akan memilih pemimpin yang bersih, adil, jujur, dan hidup sederhana. Tapi, jika mereka lebih gandrung gaya hidup pragmatis, permisif, individualis, hedonistik dan sekularistik, jangan heran jika yang menjadi pemimpin mereka akan merefleksikan gaya hidup seperti itu par excellence.

Kebiasaan tergesa-gesa mengkambinghitamkan pemimpin terlihat misalnya dalam kasus mantan presiden Soeharto. Perdebatan dan kontroversi tentang kadar jasa dan dosanya hingga kini masih bergulir. Juga tentang layak-tidaknya dia diberi gelar pahlawan nasional. Sebagian orang berupaya mengapresiasi secara objektif dan proporsional kontribusi dan jasa-jasa jenderal besar ini dalam pembangunan Indonesia. Namun, sebagian besarnya lagi memandang, penyebab krisis multidimensional yang mendera Indonesia selama empat dekade terakhir harus sepenuhnya ditimpakan kepadanya.

Seperti pesan hadis di atas, supaya adil, subjek perdebatan tentang jasa dan dosa Pak Harto seharusnya diperluas hingga mencakup kesalahan rakyat Indonesia sendiri yang selama lebih tiga dasawarsa “membiarkan diri” diperintah atau “ditindas” seorang penguasa atau sebuah rezim diktator, otoriter dan koruptif. Dalam ungkapan Ali bin Abi Thalib r.a., “Tidak ada penindasan kalau tidak ada (kerja sama antara) dua pihak: penindas dan yang mau ditindas.

Sudah pasti, pelbagai persoalan besar dan akut negara ini sebagian besarnya berhulu pada kebijakan pemerintahan rezim Orde Baru. Namun, menimpukkan seluruh kesalahan kepada rezim tersebut bisa memburamkan mata kita pada fakta, sejak merdeka bangsa Indonesia sendiri juga sudah mengalami degenerasi moral, spiritual, sosial dan kultural yang luar biasa. Dengan kata lain, Soeharto adalah seorang pemimpin yang cukup pas merefleksikan kronisnya “penyakit” bangsa yang dipimpinnya: bermental terjajah, koruptif, kolutif dan nepotis. Mungkin masih berlaku ciri-ciri negatif bangsa Indonesia versi Mochtar Lubis, antara lain: hipokrit (munafik), enggan bertanggung jawab, feodalistik, percaya pada takhayul, tidak teguh pendirian, boros, bermental jalan-pintas, berjiwa sok/pamer, bermalas-malas (karena situasi alam), berorientasi jangka pendek, dan individulistik.

Memang benar, Soeharto bisa berkuasa demikian lama karena sistem pemilu selama Orde Baru memang baru semidemokratis. Rakyat terpaksa atau pasrah memilih presiden yang sama selama tiga dekade. Tapi fakta bahwa selama berkuasa dia memiliki puluhan juta pendukung fanatik menunjukkan, bangsa ini memang sedang sakit, bermental lembek dan berwatak munafik (suka pura-pura atau ber-ABS). Bangsa yang mayoritas Muslim (nominal) ini tampaknya juga selalu lupa peringatan Nabi mereka: “Barangsiapa yang memilih seseorang sedang dia mengetahui bahwa ada orang lain yang lebih wajar dari yang dipilihnya itu, maka ia telah mengkhianati Allah, Rasul dan amanat kaum Muslimin.”

Faktanya, selama Orde Baru panggung politik negeri ini dilakoni para politisi dan joa yang culas, oportunis, berjiwa feodal, hipokrit, dan tukang fitnah. Mereka tanpa rasa malu bergelajutan, bersimpuh bahkan bersujud di depan singgasana sang presiden dan dengan segala cara berusaha melanggengkan kekuasaannya. Ironisnya, menjelang dan ketika the smiling general ditumbangkan gerakan reformasi, orang-orang yang sama tiba-tiba dengan lantang (juga lancang) berteriak, “Hidup reformasi!” bahkan mendaku pembela/tokoh reformasi.

Benarlah antisipasi Ali r.a., “Akan datang suatu masa, ketika orang yang didekatkan oleh para penguasa hanya mereka yang pandai memfitnah orang lain; yang diterima ucapannya hanyalah mereka yang menyimpang dari agama; dan yang dianggap bodoh, mereka yang menyatakan kebenaran. Pada masa itu, sadaqah dianggap sebagai kerugian, bantuan untuk sanak-kerabat hanyalah alat pamer, dan beribadah kepada Allah hanyalah sebagai perbuatan ‘sok alim’. Pada saat itu, kekuasaan negeri dijalankan atas saran-saran kaum perempuan, kepemimpinan anak-anak, dan perencanaan kaum banci”.

Mengomentari hadis di awal tulisan ini, M. Quraish Shihab menegaskan, “masyarakat yang enggan menegur atau mengoreksi pemimpin mereka atau menyanjungnya secara berlebihan, sesungguhnya telah menanamkan benih-benih keangkuhan, kediktatoran dan kebejatan diri pemimpin mereka, walaupun pada mulanya sang pemimpin adalah seorang yang baik.” Kata Ali r.a., “Memuji seseorang lebih daripada yang berhak dia terima sama saja dengan ‘menjilatnya’. Tetapi melalaikan pujian bagi yang berhak menerimanya menunjukkan kebodohan atau kedengkian.”

Di sini terlihat, demikian sentralnya peranan masyarakat dalam menentukan pemimpinnya dan juga pentingnya koreksi sosial (amar ma’ruf nahi munkar) dalam mengawal istiqamah pemimpin di jalur yang benar. Tragisnya, masyarakat kita lebih terbiasa memberi pujian ketimbang menyampaikan kritik dan koreksi kepada penguasa. Ada asumsi, kritik melanggar sopan-santun. Akibatnya, suara kebenaran dibungkam demi menjaga “kesantunan”. Padahal, kata Mochtar Lubis, “kritik dan tanggung jawab itu seperti anak kembar yang berjalan bersama-sama secara bersatu.”

Karena itu, setiap penguasa harus selalu sensitif, apresiatif, dan responsif terhadap kritikan konstruktif dari semua elemen masyarakat sembari tetap kritis dan waspada terhadap kaum oportunis dan hipokrit di sekelilingnya. Setiap pemimpin hendaknya selalu ingat dua pesan Ali r.a., “Sarana kepemimpinan adalah dada yang lapang,” terkait dengan menerima kritikan dari rakyat; dan “Ketamakan adalah perbudakan abadi” terkait para pendukung setia atau tim sukses. Ingat, utang budi tidak pernah bisa terlunasi!

Setiap penguasa di Sulsel juga perlu ingat pesan Tociung Maccae (penasehat Kerajaan Luwu abad ke-15/16) kepada Lamannussak Toakkarangeng sebelum yang disebut terakhir dilantik jadi Datu Soppeng ke-9: “Jagaiwi balimmu wèkka siseng, mujagaiwi rangeng-rangengmu wèkka sisebbu, nasaba’ rangeng-rangeng mutu matu’ solangiko” (Waspadailah lawan-lawanmu satu kali, waspadailah kawan-kawanmu seribu kali. Sebab yang terakhir inilah yang bisa membuatmu rusak). Kata Ali lagi, “Sungguh buruk sikap merendahkan diri ketika didesak oleh kebutuhan, atau angkuh dan kasar ketika dalam kekayaan/kecukupan.” Orang Inggris berkata, “a friend indeed is a friend in need” (kawan sejati adalah kawan yang datang ketika dibutuhkan).

Tociung juga menganjurkan Lammannussak sesekali berkonsultasi dengan kalangan cerdik-cendekia (yang tidak biasa berkunjung ke istana seperti para oportunis/penjilat) tentang masalah-masalah penting, karena banyak kebenaran yang mereka katakan (Obbi’i to accaè tassiseng-siseng mutanaiwi, nasaba’ maègatu patuju napau).

Comments

Popular posts from this blog

Arung, Topanrita dan Relasi Kuasa di Sulsel

Memperebutkan Makna Islam

Obama dan Kita Menjelang Pesta Demokrasi 09