Wajo: Dari Demokrasi ke Feodalisme



Daerah Wajo’ di kala itu merupakan tempat kebebasan berpikir dan bernalar bagi orang-orang yang datang berdiam di situ dari berbagai daerah seperti Bone, Luwu’, Soppeng, dan Gowa.... Dapatlah disimpulkan bahwa Wajo’ pada abad XV-XVI merupakan “Amerikanya” Sulawesi Selatan, di mana orang-orang yang tidak disukai di daerahnya masuk ke Wajo’ dan mempunyai kebebasan untuk mengeluarkan pendapat.” (A.Z. Abidin 1991, 130)

Jika dibaca dalam perspektif modern, sejarah lokal Sulsel mencatat, hampir semua pilar demokrasi telah ditemukan eksistensinya di kerajaan Wajo abad XV-XVI. Kedaulatan rakyat, pemerintahan berdasarkan persetujuan yang diperintah, kekuasaan mayoritas, hak-hak minoritas, jaminan terhadap HAM, pemilihan yang bebas dan jujur, proses hukum yang adil dan egaliter, pembatasan pemerintah secara konstitusional, pluralisme sosio-politik-ekonomi, dan penghargaan terhadap nilai‑nilai toleransi, rasionalitas, kerja sama dan mufakat, adalah pilar-pilar utama demokrasi.

Maka, menurut Abidin, kerajaan Wajo dalam periode itu layak disebut sebagai “kerajaan demokratis.” Mattulada (1991, 39) bahkan menyebut Wajo “republik aristokratis.” A.D. Patunru (1964, 20) menekankan lima unsur penting dalam sistem kerajaan Wajo: aristokratis demokratis, berketuhanan yang esa, berkeadilan sosial, berprikemanusiaan, dan berdasarkan hukum.

Sebagai kerajaan “demokratis,” Wajo dipandang sebagai suatu keunikan di antara kerajaan lain di Sulsel karena beberapa faktor.

Pertama, adanya hukum adat yang menjamin hak kebebasan rakyat (ade’ amaradekangenna to WajoE). Ini terangkum dalam filosofi orang-orang Wajo, “maradèka to WajoE ade’nami napopuang.” (Orang Wajo itu merdeka, hanya adat merekalah yang mereka pertuan). La Tadangpare’ Puang ri Maggalatung, Arung Matoa Wajo IV (m. 1491-1521), menyempurnakannya menjadi, “Maradèka to WajoE, najajiang alèna maradèka, tanaèmi ata, naia to makkètanaè maradèka maneng, ade’ assamaturusennami napopuang.” (Orang Wajo itu merdeka dan dilahirkan merdeka. Hanya negeri mereka yang menjadi abdi, sementara pemilik negeri [rakyat dan raja] merdeka semua. Hanya hukum adat dari kehendak bersamalah [konstitusi] yang mereka pertuan).

Karena itu, loyalitas rakyat kepada raja menjadi keniscayaan hanya sejauh yang disebut terakhir konsisten menjalankan konstitusi Wajo. J. Noorduyn (2000, 114) menulis, “The man chosen as arung matoa is, it is true, ‘the highest ruler’, but only on the grounds of what his country, his people and their representatives signify. His fundamental dependence on those who have chosen him is here laid down.”

Kedua, jabatan Arung Matowa tidak bersifat temurun (hereditary) tapi dipilih oleh lembaga beranggotakan 40 orang (Arung Patappuloè), termasuk Arung Matowa incumbent. Lembaga semacam parlemen dalam sistem demokrasi modern ini merupakan dewan penguasa tertinggi kerajaan Wajo yang menentukan eksistensi kerajaan, “paoppang palèngengngi Tana Wajo.

Ketiga, dalam perumusan dan penetapan “ade’ assituruseng” (konsensus), keputusan diambil lewat pemungutan suara terbanyak (voting). Perubahan (amandemen) dan pembatalan terhadap hukum adat ini pun harus dilakukan baik dengan cara musyawarah untuk mufakat maupun pemungutan suara.

Keempat, terdapat suatu jabatan yang berfungsi sebagai lembaga pembela hak-hak asasi rakyat yang dilanggar raja atau pejabat kerajaan lainnya. Pejabat ini juga, atas nama rakyat, melantik dan memecat Arung Matowa berdasarkan pertimbangan dan persetujuan Arung Patappuloè. Dalam sejarah Wajo, tokoh yang pernah cukup lama memegang jabatan penting bergelar Arung Saotanre ini adalah La Tiringeng To Taba’.

Kelima, adanya konsistensi dalam penegakan prinsip keadilan dan persamaan di depan hukum (bicara). Prinsip “Ade’è temmakkèana’ temmakkè eppo” (hukum adat tak kenal anak dan cucu) diterapkan secara konsekuen. Batara Wajo III, La Pateddungi To Samallangi (m. 1466-1469) dipecat lalu dibunuh karena terbukti berbuat asusila. Arung Matowa XVII, La Samalèwa To Appakiu (m. 1616-1621) juga dipecat karena memerintah dengan otoriter.

Kutipan dari Prof. Abidin di awal tulisan ini dengan tepat merefleksikan persamaan Wajo abad XV-XVI dan Amerika Serikat sebagai oasis bagi orang-orang yang didera kemarau panjang kebebasan di negeri asal mereka. La Tadampare, merupakan sosok penting dalam penyemaian prinsip-prinsip ini. Sebagai Arung Matowa yang adil, tegas, cerdas, dan bijaksana, dia berhasil membawa kerajaan Wajo mencapai puncak kejayaannya di abad XV-XVI. C. Pelras (2006, 134) tanpa ragu menyebut dia “salah satu raja Bugis yang paling dihormati, dan salah seorang yang berhasil mengubah Wajo menjadi salah satu kerajaan besar Bugis.”

Karena mekanisme pemilihan rajanya dan penghargaan atas hak kemerdekaan rakyatnya, kata Pelras (201), Wajo pada abad XVI dikenal sebagai “kerajaan aristokratik-demokratis.” Mattulada menilai kerajaan Wajolah yang pertama meletakkan prinsip ‘achievement oriented leadership’, yaitu seleksi kepemimpinan berdasarkan prestasi. Faktanya, para Arung Matowa terpilih bukan karena ascribed status mereka, atau kesan kesakralan dan mitos sekitar asal-usul mereka. Tidak dikenal putra/putri mahkota, karena orang luar Wajo pun dapat dipilih menjadi Arung Matowa jika berprestasi.

Ketiadaan mitologi dan legenda muasal raja sebagai Tomanurung seperti dikenal di kerajaan lain di Sulsel, membuat status setiap raja Wajo bersifat relatif dan profan saja. Konsekuensinya, sistem pelapisan sosialnya lebih egaliter, dinamis dan demokratis. La Tadampare’ sering berpesan, “Aja’ muappabati’ nasaba’ ampè kedonamitu tauè nairisseng tau decèng” (Jangan suka mengungkit-ungkit nasab, karena dari watak-prilakunyalah seseorang diketahui sebagai orang baik). Kelas sosial mayoritas, to-maradèka (orang merdeka), misalnya, yang dalam pangadereng menempati strata sosial terendah setelah Ata (abdi), berpeluang melakukan mobilitas vertikal hingga menjadi “elit-strategis” dalam masyarakat.

Penekanan prinsip meritokrasi/prestasi dalam menetapkan status seseorang ketimbang kadar dan nasab kebangsawanannya memungkinkan kelas to-maradèka ini memiliki akses sosial-politik-ekonomi dan bargaining position yang kurang lebih sama dengan lapisan sosial di atasnya: Ana’ Mattola (calon Arung Matowa), Anakarung (anak bangsawan), dan Tau Dècèng (orang baik-baik). Untuk tujuan itu, to maradeka harus berupaya menjadi salah satu atau dua dari eppa sulapa’ (empat dimensi ideal manusia Bugis): to-panrita (cendekiawan dan ulama), to-acca atau to-sulèsana (orang cerdas), to-sugi (orang kaya) to-warani (orang pemberani, kesatria).

Sayang sekali, capaian demokrasi kerajaan Wajo enam abad silam itu kini tinggal teori dan kenangan. J. Lineton, peneliti sejarah migrasi orang-orang Wajo pada 1971, menyimpulkan, selain memiliki tradisi perantauan terlama, Wajo di abad XX juga dikenal sebagai “the most conservative and feudal of the daerah of South Sulawesi.” (daerah yang paling kolot dan feodal di Sulsel).

Kesimpulan Lineton di atas tampaknya masih berlaku hari ini. Menapaki 609 tahun usianya pada 29 Maret tahun ini, unsur feodalisme malah semakin deras menjalari urat nadi kehidupan sosial-politik di Wajo. Praktik demokrasi substansial (bukan sekadar prosedural) yang mentradisi di masa lalu kini semakin menguap. Kalangan elit politik Wajo kini tak lagi malu-malu mappabbati demi meraup dukungan tradisional dalam pilkada. Di baliho pilkada, tulisan “Andi” di depan nama hampir semua balon terpajang terang. Budaya ipakkèade’ (diperadatkan) ala zaman feodal yang salah kaprah, dihidupkan kembali dalam acara-acara seremonial.

Selama lima tahun terakhir, praktek nepotisme di lingkungan pemerintahan makin terang-terangan. Pengangkatan putra-putri bangsawan menjadi pejabat publik (kadis, camat, dll) dengan kualifikasi keilmuan dan kepemimpinan meragukan, sudah jadi tradisi. Putra-putri daerah yang berprestasi tapi tanpa akses ke kalangan aristokrat-birokrat lantas terabaikan. Pemda membanggakan piagam-piagam penghargaan yang diterima dari Presiden atau Menteri sebagai prestasi besar. Sementara indeks nyata kesejahteraan rakyat justru semakin rendah. Elemen-elemen civil society yang seharusnya kritis dan prorakyat justru bersikap apatis, pragmatis dan memilih berpatronase dengan elit politik menjelang pilkada.

Walhasil, sempurnalah amnesia dan kedurhakaan terhadap sejarah dan tradisi cemerlang Wajo enam abad silam itu. Maka, semboyang yang kini mungkin lebih tepat digaungkan adalah, “maddarèkè to WajoE, masiri’mi nadè’ nappau-pau” atau “madorakai to WajoE, Andi’E na napopouang.” Lepas dari itu, dirgahayu Wajo ke 609, ajeppui sejarata!

Comments

Yusran Darmawan said…
Saya suka tulisan ini. Mantap sekali bang.. Tabik....
Wahyuddin Halim said…
Bung Yus,

Thanks for your short but sincere comment. Tak terduga Yus begitu peduli dg everything about "Wajo" (atau nama saya, sebagai kata kunci peng-google-an) sehingga pencarian Anda tertambat di blog saya yg "tak terurus" ini ;-)

Anyway, kalau Yus aktif mengakses Tribun Timur Online, versi singkat artikel ini telah dimuat di ruang opini 16/4 kemarin. Ada banyak point penting dlm tulisan tsb yg harus dipangkas.
Saya sedih, ruang opini TT sekarang makin sempit sehingga jika mau dimuat, tulisan kita harus benar2 "diringkaskan," sementara seringkali peringkasan menimbulkan simplifikasi dan ketakutuhan.
Unknown said…
tulianx bagus bang ngga pa2 kan aq kutip dikit nih,..........sekedar mempublikasikan di forum diskusi wajo facebook community buat teman2 wajo paling tidak mungkin ada mamfaatnya buat kita2 thankz before bang....n good luck

Popular posts from this blog

Arung, Topanrita dan Relasi Kuasa di Sulsel

Memperebutkan Makna Islam

Obama dan Kita Menjelang Pesta Demokrasi 09