Kapankah Kita Akan Bahagia?



Tulisan berikut adalah salah satu posting saya di milis UIN-Makassar@yahoogroups.com

Seringkali kita merasa kebahagiaan itu baru bisa tercapai di masa depan yang masih sangat jauh, dan kita sering merasa begitu yakin bahwa masa depan yang kita bayangkan itu akan tercapai sesuai rencana kita. Karena itulah, seringkali detik demi menit demi jam demi hari demi minggu demi bulan demi tahun demi dekade demi perempatan abad, bahkan demi paruh abad dan demi millenium, setiap moment dalam hidup kita kita habiskan hanya untuk memburu dan terus memburu angan-angan dan cita-cita tersebut.

Akibatnya hak tubuh sering kita abaikan, hak rohani kita ketepikan, hak keluarga kita acuhkan, hak masyarakat kita langgar, hak Tuhan kita lupakan....lalu kita pun lupa pada diri kita sendiri: kita ini siapa? kita ini ada di sini dan saat ini untuk apa? dan kita ini mau ke mana? dan apakah itu KEBAHAGIAAN..??? Kata Allah, “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” Apakah perbedaan antara lupa terhadap diri sendiri dengan orang yang kita anggap gila selama ini, yang menjadi penghuni Rumah Sakit Jiwa, misalnya..???? Perbedaannya hanya sedikit bukan? Yang pertama disebut orang “gila” dengan tambahan kata benda: gila uang, perempuan, jabatan, gelar, pangkat, bola, dst, sementara yang kedua kita sebut “gila” saja, titik, tanpa diiringi kata benda.

Tragisnya, ketika masa itu (imagined moment) tercapai di mana sebagian besar dari angan-angan itu mungkin sudah terwujudkan, kemampuan kita untuk "menikmati" kebahagiaan itu justru semakin lemah. Seperti Bob yang sudah kehabisan tenaga dan kelelahan ketika mencapai ujung jalan lembah tapi belum sempat merasakan permen lolipop. Tubuh kita mungkin sudah digrogoti berbagai penyakit kronis. Derajat penikmatan indrawi kita pun semakin tumpul: penglihatan makin buram, telinga makin tuli, gigi satu demi satu mulai tanggal, kulit sudah bebal utk meraba, dokter pribadi sudah melarang kita makan minum ini itu. Yang lebih parah, secara seksual, kita pun sudah (maaf) impoten (atau manopause) justru di saat-saat kita benar-benar (kembali) memiliki kemampuan finansial untuk menikah lagi ;-). Belum lagi masalah-masalah keluarga yang saat itu justru akan semakin kompleks (istri atau suami selingkuh, anak-anak kita nyabu, saudara2 mencaplok bagian warisan kita, dll dst).

Okelah, anggaplah kita tidak akan punya masalah-masalah tersebut di atas, tapi dunia juga semakin renta dan makin tak nyaman ditempati hidup dan menghidupi kita. Semakin banyak krisis, musibah dan bencana alam: banjir, gempa bumi, gunung meletus, tsunami, badai la nina/el nino, la baco, I becce’, pemanasan global, perang nuklir antara Israel dan Iran, antara India dan Cina, antara Korut dan Jepang, serangan militer Australia, perang perbatasan dengan Malaysia atau Singapura, atau bahkan Perang Dunia Ketiga, dll dst. Ringkasnya, di saat kita baru merasa mapan secara ekonomi dan sosial dan bersiap-siap untuk mendeklarasikan diri “AKU SUDAH BAHAGIAAAA….”, kiamat justru semakin dekat dan semakin dekat.... Bukankah musibah-musibah itu tadi adalah sudah sebagian dari tanda-tanda kiamat kecil yang disebutkan dalam hadis-hadis Nabi?

Kalau dicoba sebutkan yang terpenting saja, biasanya angan-angan itu berupa (but not limited to) hal-hal berikut (tapi ini bukan teori ilmiah lho!):

1. pencapaian gelar (Dr.) dan pangkat akademik tertinggi (Prof.) yang (diharap akan) dibarengi dengan penghargaan akademik, sosial dan finansial yang setimpal. Jika angan-angan seperti ini tidak dibarengi dengan kesadaran akan kemampuan diri dan integritas akademik yang tinggi, seseorang bisa menempuh (maaf beribu maaf) semua cara untuk mencapainya: plagiat makalah, tesis, disertasi; beli nilai dan ijazah; beli gelar DR. (Humoris Cocak), sogok tim akreditasi, dll dsj.. Program Pascasarjana yang menerima tipe mahasiswa dan melahirkan sarjana seperti ini pun mungkin lebih tepat disebut “Program Penyetaraan Sarjana,” seperti banyak dijumpai di berbagai kota provinsi saat ini.

2. tingkat kesejahteraan ekonomi yang sangat tinggi, ditandai dengan pemilikan sejumlah asset mewah (rumah, mobil, villa atau deposito milyaran rupiah, perjalanan keliling dunia), yang (diharapkan) dibarengi dengan kebebasan finansial yang membuat kita dapat menikmati hari tua yang membahagiakan tanpa harus ngongso kerja cari duit lagi. Pada saat itu, kita membayangkan diri kita hanya akan berpusar pada empat dimensi: rumah (baca-tulis buku, asuh anak-cucu), hadiri acara kumpul-kumpul keluarga, rutinitas salat jamaah di masjid, dan kerja-kerja sosial non-profit (mubalig non-amplop, jadi aktivis ormas Islam, MUI, dll).

3. menduduki sebuah jabatan atau posisi (akademik, politik, sosial, organisasi, keagamaan) yang penting (jika bisa tertinggi pada jalur itu: rektor, presiden, ketua NU atau Muhammadiyah, tokoh agama setingkat kiyai-kiyai paling masyhur), yang (dibayangkan akan) diiringi dengan popularitas dan penghormatan tinggi dalam masyarakat sehingga saat kita meninggal dunia, jenazah kita akan ditangisi oleh seluruh warga (bangsa), lalu salah satu anggota keluarga dekat yang kita tinggalkan akan mewakili kita menerima penghargaan dan tanda jasa sebagai pahlawan dari pemerintah sehari sebelum Hari Pahlawan 10 November, lalu buku2 sejarah (entah sejarah dunia, nasional atau lokal) mencatat nama kita dengan tinta emas dalam deretan tokoh-tokoh putra terbaik bangsa (atau provinsi atau kabupaten).

Ya, kira-kira begitu angan-angan banyak orang yang telah memiliki kesadaran tentang apa yang dia bisa lakukan dan menjadi, berdasarkan apa yang ia lihat telah orang lakukan dan miliki. Kawan2 bisa memperpanjang daftar angan-angan itu sesuai pengalaman berjumpa dengan pengangan-angan hebat atau sesuai dengan angan-angan kawan-kawan sendiri yang belum disebutkan dalam daftar di atas...

Tentu saja, wajar sekali jika setiap orang, termasuk kita, punya cita-cita dan angan-angan seperti itu. Bukankah tanpa angan-angan, tanpa cita-cita, tanpa nawa-nawa, hidup seseorang sebenarnya sudah berhenti. Kata Bung Karno dalam bahasa Londo (koreksi jika salah ejaan), “hang eeu idealen under sterren ze te daar“ (gantungkan cita-citamu setinggi bintang2 di langit). Sama dengan pesan ibu Andi Rizal Mallarangen yang dikutip dalam iklan capresnya di TV, “dream the impossible, reach the highest.”

Hanya saja, persoalannya adalah, kita baru merasa diri kita bahagia jika semua angan-angan dan cita-cita itu telah tercapai. Jika demikian, kita benar-benar orang yang menyedihkan, atau membuat orang lain merasa sedih (feel sorry) melihat kita. Sebuah pribahasa yang cukup menggugah saya mengatakan, life is not what we want but what we have. Faktanya, seringkal kita membayangkan betapa bahagianya melihat orang yang memiliki fasilitas hidup yang lengkap. Tinggal di rumah besar dan mewah, ke mana-mana naik Mercedez seri terakhir, shopping pakaiannya di Hongkong dan Singapura, tiap Ramadan umrah, tiap musim libur panjang berwisata keliling dunia, di beberapa bank ada deposito milyaran rupiah, dll. Kita kemudian tak henti-hentinya menangisi nasib kita yang “tidak bahagia dan membahagiakan” karena fasilitas kehidupan kita yang serba terbatas.

Tapi, pada saat kita asyik menghabiskan lebih banyak waktu luang bermain dengan anak-anak kita di pekarangan rumah, tatkala kita masih bisa enak2an bobo-bobo siang bersama suami-istri kita di kamar tidur kita, ketika kita bersuka ria bersama keluarga besar kita di rumah kerabat yang sedang menikahkan anaknya, kita dikejutkan oleh berita utama sebuah siaran TV. Orang kaya yang selama ini kita cemburui atau pejabat yang selama ini kita kagumi, ternyata adalah koruptor kelas kakap. Wajahnya segera menghiasi semua halaman depan surat kabar nasional disertai tulisan tersangka korupsi trilyunan rupiah. Tubuhnya tiba2 kelihatan begitu renta dalam balutan baju khusus untuk tahanan koruptor yang disediakan KPK. Dan berita pada minggu berikutnya tidak lagi mengejutkan: istrinya yang telah dinikahi 30 tahun meninggalkannya dan memilih hidup bersama selingkuhannya, anaknya terjerat kasus narkoba kelas berat dan diancam hukuman mati, anggota keluarganya pun diseret ke pengadilan karena mendapatkan uang korupsi/nepotisme..dst..dst.. dan si mantan pejabat itu sendiri menjadi gila… Naudzu billah min dzalik… (Tentang nepotisme, Imam Ali pernah berkata, «sedikitnya tanggungan anggota keluarga adalah sebagian dari kekayaan.»)

Kita kemudian mengelus dada. Benur-benur kebahagiaan tiba-tiba mulai berenang ria di cawan hati kita. Kita lalu tersadar, bahwa kebahagiaan tidak harus dicapai lewat pemilikan fasilitas hidup yang mewah. Mereka memang penting bagi pencapaian derajat kebahagiaan (tepatnya: kesenangan) tertentu, tapi bukan merupakan prasyaratnya. Kita baru terhenyak, setiap tambahan dan akumulasi pemilikan selalu dibarengi dengan masalah yang lebih besar. Dan kita seringkali tidak sanggup menanggung beban masalah susulannya. Analoginya, setiap tambahan koper dalam perjalanan jauh kita di dunia ini akan menambah pula daftar reziko yang harus kita tanggung: over baggage, dicungkil petugas bandara, nyasar ke bandara lain, gak muat taxi, loading and unloading, dsb.

Dengan kata lain, di setiap tingkatan dan derajat pencapaian angan-angan itu, menghadang masalah-masalah yang seringkali jarang dibayangkan oleh pengangannya. Dan masalah besarnya adalah:.perasaan tidakpuas (atau tidak syukur) yang segera disusul oleh syahwat yang lebih besar untuk memburu dan terus memburu lebih banyak lagi hal-hal yang dibayangkan bisa membuat kita bahagia atau lebih bahagia itu… hingga kita lupa pesan Allah: Alhakum al-takatsur hatta zurtum al-qubur (Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai masuk ke dalam kubur).

Ketika saya masih berusia remaja (duh indahnya....! kangen rasanya pengen kembali ke masa itu dan meralat semua kemalasan dan kesalahan yang kini kusesali karena menghambat proses pendewasaanku), saya ingat pernah punya buku "SALPER" (salam perkenalan), diary kata anak jaman sekarang. Bedanya, salper berisi data pribadi teman-teman dekat, diary hanya berisi catatan-catatan pribadi pemiliknya. Di antara item pertanyaan dalam buku salper itu (yang lainnya, nama, alamat, tanggal lahir, hobby, sekolah, dst) adalah: Motto atau semboyang. Nah, saya selalu mengisi item ini dengan kata-kata: "Hidup adalah perjuangan." (Bugisnya: life is a struggle). Kalau Sutrisno Bachir punya iklan, "hidup adalah perbuatan," Amin Rais "hidup adalah ibadah," motto saya di masa remaja adalah itu tadi, “hidup adalah perjuangan.” Tentu saja itu bukan asli dari saya, saat masih kanak-anak saya pernah membaca atau mendengarnya entah kapan dan di mana.

Tapi, ketika saya dewasa dan mulai meniti setik demi setik masalah-masalah kehidupan yang dihadapi oleh setiap manusia dewasa, saya kembali mengingat motto itu dan berkata: motto itu tepat sekali mengungkapkan fase hidup saya di masa remaja tapi ia bahkan lebih tepat lagi menggambarkan perspektif saya tentang hidup saat ini... Jika dulu moto itu sekedar dicomot untuk gagah-gagahan buku salper, sekarang saya makin bisa menyelami kebenarannya. Kenapa kawan2? Saya merasa, hidup kita memang sangat tepat disebut sebagai sebuah rangkaian perjuangan yang panjang dan melelahkan. Hidup kita benar-benar merupakan sebuah episode panjang dari drama bertema perjuangan yang skenarionya dibuat Tuhan. Sudah jelas, misalnya, kalau kita hidup menjomblo alias single, kita tidak bakal menanggung masalah baru berupa anak sakit, istri rewel, mertua sakit-sakitan, dst tokh kenapa kita memilih menikah? Tapi, hidup jomblo pun tidak kurang masalahnya bukan? Jadi, pilihan hidup mana pun yang kita ambil, selalu ada problem yang menyertainya, dan tugas kita adalah berjuang menghadapinya. Sekali lagi benarlah sebuah ungkapan, saya lupa entah dari mana, “hidup adalah kesediaan menerima akibat pilihan.”

Saya punya koleksi kata-kata bijak yang khusus menunjang motto ini sebenarnya, di antaranya: hidup adalah pergiliran antara kesenangan dan kedukaan (S.H. Nasr), hidup adalah kesediaan menunda kesenangan sesaat demi kebahagiaan jangka panjang (kalau gak salah redaksi inggrisi’na, life is the willingness to postpone the enjoyment of an instant pleasure to struggle for a long term success and happiness), hidup adalah keterpisahan demi kemanunggalan, dll..dst..

Bukankah kita pernah, sedang, dan selalu akan berjuang untuk hal-hal berikut. Misalnya (1) mempertahankan kelangsungan hidup kita, keluarga kita, warga kita, bangsa kita, agama kita, dst (semacam perjuangan merawat ipoleksosbudhankam); (2) merebut hak-hak kita: hak hidup, beragama, berkeluarga, berharta benda, mendapatkan penghargaan, mendapatkan keamanan, dst; (3) menghindari fitnah, iri hati, cemburu, dengki dari orang-orang yang tidak senang dengan kesuksesan yang kita raih; (4) menyelesaikan masalah-masalah hidup yang semakin kompleks seiring dengan kompleksitas kehidupan yang telah kita jalani, dst..dsb...

Sejak beberapa tahun yang lalu, perspektif saya tentang hidup sebagai perjuangan mulai mengalami sedikit pergeseran, tepatnya mungkin pengayaan. Hal ini terjadi sejak saya membaca sebuah buku di tahun 1991, saya lupa entah siapa penulisnya. Di situ saya temukan kata-kata bijak ini: „Hidup adalah perjuangan yang melelahkan, karena itu kita harus memetik hikmah yang banyak dari kelelahan itu sebelum menikmati hasil perjuangan itu sendiri.“

Ketika menemukan kalimat ini, saya sangat terhibur. Okelah, hidup itu memang perjuangan, tapi perjuangan itu jangan dipandang atau dirasakan sebagai (seluruhnya) „penderitaan“ tetapi sebagai „kenikmatan“, paling baik lagi sebagai „kebahagiaan“, jika tidak minimal ia sebagai sesuatu yang mengandung banyak „hikmah.“ Jika „perjuangan“ dipandang sebagai „penderitaan“ maka alur logika silogismenya akan seperti ini: Hidup (H) = Perjuangan (J), Perjuangan = Penderitaan (D), maka Hidup (H) = Penderitaan (D).

Dengan kata lain, supaya kita segera menjadi orang bahagia, kita harus memandang perjuangan sebagai sesuatu yang sangat membahagiakan. Aku berjuang, karena itu aku bahagia. I struggle, therefore, I am happy. Atau, I expect problems because I am not happy if I am not challenging or struggling. Kang Jalal (dalam Meraih Kebahagiaan) bilang, kebahagiaan itu tidak muncul dengan sendirinya alias bukan sebuah anugrah, tapi diciptakan oleh kita sendiri. Dengan kata lain, kitalah yang memilih antara bahagia dan tidak bahagia.

Suatu ketika, Anda kembali ke meja kantor Anda dan menjumpai segelas kopi, yang saat Anda tinggalkan sejam yang lalu masih berisi segelas penuh, kini tinggal separuhnya. Anda orang yang berperspektif bahagia, kata kang Jalal, ketika Anda berkata kepada teman-teman di sekitar meja kerja Anda, “Alhamdulillah, masih ada separuh gelas yang bisa saya nikmati.” Tapi Anda memilih tidak bahagia jika Anda berteriak marah-marah, “Sialan, siapa pula yang telah meminum kopi saya separuh saat kutinggalkan?”

Entahlah, kadang-kadang saya tanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti ini kepada mahasiswa saya: Apakah kalian pernah merasa bahagia? Apakah kalian merasa bahagia saat ini? Jika tidak atau belum, kapankah kalian baru akan merasa bahagia? Apa yang menurut kalian bisa membuat kalian merasa bahagia? Dst.. Teman-teman mau tahu jawabannya? Nantilah, yang pasti, cobalah kawan jawab juga pertanyaan-pertanyaan di atas sebagai bahan diskusi kita selanjutnya di sini.. Gimana? Setuju?

Comments

Popular posts from this blog

Arung, Topanrita dan Relasi Kuasa di Sulsel

Memperebutkan Makna Islam

Obama dan Kita Menjelang Pesta Demokrasi 09