Masjid-masjid yang Mengusik Keheningan Ramadan

Jarum jam baru menunjuk pukul dua dini hari. Suara azan dari sebuah menara masjid di satu kompleks perumahan di Makassar tiba-tiba memecah kesenyapan. Dengan tergopoh-gopoh, seorang warga baru di kompleks itu membangunkan sang istri. Dia yakin, itu azan subuh dan waktu imsak tentu sudah lewat. Tapi setahunya, jika sempat bangun persis saat azan digemakan, masih boleh meneguk segelas air untuk sekedar meringankan puasa hari itu. Anehnya, tidak lama setelah azan berakhir, dia sempat menoleh jam dinding. Baru pukul dua rupanya. Awalnya dia ragu, jam dindingnya mungkin macet. Tapi ketika beberapa masjid sekitar kompleks mulai berkoar-koar “Sahur, sahur..”, dia mafhum, azan yang barusan dia dengar bukan panggilan salat Subuh. Di pagi harinya dia baru tahu dari tetangganya, azan jam dua itu untuk membangunkan warga sekitar masjid salat malam.
Ini baru sepenggalan pendek kumpulan panjang kisah nyata orang-orang yang merasakan “kegaduhan” dari loudspeaker sejumlah masjid tiap kali Ramadan datang. Jika dicermati, “kegaduhan” bahkan bisa “dinikmati” sejak pukul 2.00 pagi hingga pukul 22.00 malam.
Beberapa tahun lalu, sejak jam 2.00, misalnya, dari menara beberapa masjid, (dulu) rekaman ceramah Zainuddin MZ atau Aa Gym atau dai kondang lainnya digemakan dengan nyaring jauh sebelum imsak. Yang lebih sering adalah menggelegarkan (rekaman) tilawah (bacaan) Al-Qur’an sejak jam itu. Beberapa masjid juga “memancarkan” secara langsung lewat loudspeaker pelaksanaan salat tarawih di Masjidil Haram yang diimami oleh al-Sudaysi.
Tujuannya beragam, membangunkan ibu-ibu rumah tangga mempersiapkan sahur keluarga. Atau panggilan kepada jamaah sekitar masjid untuk salat malam berjamaah sesuai kesepakatan. Atau boleh jadi juga sekedar lebih menyemarakan bulan Ramadan sebagai semacam "show of force" (pamer kekuatan) umat Islam terhadap penganut agama lain?
Padahal, di saat-saat seperti itu, sebagian besar warga Muslim sekitar masjid sangat mungkin sedang melaksanakan salat malam sendirian di rumah mereka yang tentu perlu keheningan. Sebagiannya lagi mungkin masih tidur lelap sehabis lelah salat tarawih beberapa jam sebelumnya dan baru akan bangun sahur menjelang imsak.
Sekitar jam 3.00, selama beberapa menit sejumlah panitia masjid menggunakan loudspeaker luar masjid untuk membangunkan warga makan sahur. Ada yang sekedar berteriak “Sahur, sahur, sahur,” ada juga yang berpidato singkat. Ini disusul dengan pemutaran kaset-kaset tilawah Al-Qur’an hingga masuk waktu imsak. Membangunkan warga lewat loudspeaker atau beduk masjid tentu saja mulia, asal tidak cenderung "ngotot" saja. Tapi, zaman sudah maju dan kebanyakan keluarga sudah punya weker, jam dinding beralarm, handphone, atau TV yang bisa diset menyala sendiri pada waktu tertentu. Lagipula, bisa bangun salat malam dan sahur adalah soal niat, tekad dan kebiasaan.
Sekitar pukul 4.45, azan subuh akan berkumandang dari segala penjuru di mana ada masjid. Sekalipun tampaknya tiap masjid punya “Jadwal Abadi Salat 5 Waktu” yang sama, tapi azan subuh seringkali dikumandangkan pada saat yang berbeda antara masjid yang satu dengan lainnya. Entahlah, mungkin ketepatan jam mereka berbeda-beda atau karena panitianya tidak disiplin memulai azan sesuai jadwal. Maka, jika kita berdiam di kawasan perumahan yang padat lantas dikelilingi beberapa masjid, kita bisa bingung menentukan waktu tepat masuknya subuh jika berpedoman pada azan subuh di masjid.
Selama Ramadan, kita juga bisa mendengarkan semua acara masjid dari luar masjid. Bahkan dari jarak yang jauh. Sebab, baik pelaksanaan salat berjamaah maupun ceramah (tarwih dan subuh) semuanya dilantunkan dengan loudspeaker luar masjid. Sementara shalat jumat di satu masjid, kita bisa dengan jelas mendengar khotbah jumat dari masjid di tempat lain. Di sejumlah masjid, kegiatan para santri yang belajar ngaji antara magrib dan isya pun digaungkan lewat menara masjid.
Di luar Ramadan, kita sudah terbiasa mendengar undangan kerja bakti di satu kompleks lewat loudspeaker masjid. Baik untuk membersihkan lingkungan kompleks perumahan maupun lingkungan masjid secara khusus. Ini biasanya dilakukan di hari Ahad. Menyampaikan undangan, pengumuman dan berita penting lewat menara masjid tentu bukan masalah. Malah seringkali perlu. Tapi, penyetelan salawatan atau lagu-lagu „Islam“ seperti nasid dan qasidahan dengan nyaring lewat menara masjid selama kegiatan kerja bakti mungkin bisa mengganggu warga lain.
Di pagi hari itu, sebagian warga mungkin justru sedang butuh ketenangan bersama keluarga setelah lelah kerja seminggu sebelumnya. Apalagi jika kompleks perumahan tersebut dihuni oleh warga dengan latar belakang agama yang plural. Jangankan non-Muslim, warga Muslim pun mungkin banyak yang belum setuju. Baik karena digemakan lewat loudspeaker luar masjid maupun jenis lagu-lagu yang diputar.
Pertanyaannya, apakah dan yang manakah seni Islam itu, sehingga dipandang layak saja diputar di masjid? Apakah hanya nasid dan qasidahan saja yang bisa disebut seni Islami? Atau asal vocalisnya menyebut-nyebut asma Allah dan ungkapan-ungkapan bahasa Arab lainnya walau musik pengiringnya bisa jazz, dangdut, rock atau reggae? Apakah musik-musik zaman barok gubahan musisi-musisi klasik seperti Beethoven, Mozart, Bach, Schubert, Vivaldi dll tidak bisa disebut musik Islami? Padahal, sebagian besar musik mereka hanyalah instrumentalia, alias tanpa lagu. Apakah musik instrumental lain karya-karya musisi-musisi seperti Kenny G, Kitaro, dll tidak bisa disebut Islami dan karena itu tidak layak diputar di masjid?
Ada banyak pertanyaan yang bisa segera menyusul. Jika ini untuk tujuan dakwah dan kesemarakan agama, apakah ini cara yang paling bijaksana? Di manakah batas toleransi kita terhadap perbedaan pemahaman dan selera di kalangan umat Islam sendiri? Juga toleransi terhadap warga non-Muslim yang tidak bisa memahami apalagi menikmati simbol2 agama kita itu? Dst..dst..
Pertanyaan penelitian bahkan bisa diajukan di sini. Misalnya, adakah hubungan yang signifikan antara keterbangunan warga untuk salat malam dengan pembacaan Qur'an lewat loudspeaker masjid di jam 2:00 itu? Juga, apakah semakin keras suara loudspeaker masjid yang melantunkan pengajian Al-Qur'an, Shalawat Tahrim, dan Azan akan semakin banyak pula orang-orang yang datang menjadi jamaah di masjid itu?
Di awal 2000-an, MUI Makassar, konon, pernah mengeluarkan edaran yang mengatur penggunaan loudspeaker masjid di kota ini. Tapi tampaknya tidak banyak yang peduli. Saat masih Wapres, Budiono pernah punya ide menganjurkan deregulasi loudspeaker masjid, tapi banyak pihak yang belum paham pesannya sudah marah. Jusuf Kalla juga, sejak lama mencari cara agar ada aturan yang jelas dan tegas soal loudspeaker ini. Tapi tetap saja, keyakinan dan "ghirah agama" para pengurus masjid, khususnya petugas penyetel sound system, yang lebih menentukan jenis, durasi dan voltase suara yang digelegarkan lewat corong menara-menara masjid mereka.

(Pernah dimuat di Harian Fajar pada Juli 2010)

Comments

Popular posts from this blog

Arung, Topanrita dan Relasi Kuasa di Sulsel

Memperebutkan Makna Islam

Obama dan Kita Menjelang Pesta Demokrasi 09