Nasib Umat dalam Pilkada

“Saya mewaqafkan diri saya kepada umat,” kata seorang birokrat ketika namanya sempat disebut-sebut bakal diajukan koalisi parpol ikut pilkada gubernur tahun lalu. “Saya sih terserah aspirasi umat saja,” sergah seorang mantan balon lainnya mantap. “Dia tokoh yang mewakili umat,” seru sejumlah orang dengan bersemangat ketika seorang aktivis komite akhirnya dihela koalisi parpol terjun dalam kompetisi pilkada. Lalu ada bunyi poster pilkada, “Bangkit untuk umat dan bangsa.”
Selain daftar panjang klaim, komentar, pernyataan politik, poster, banner dan baliho kampanye pilkada yang memuat kata “umat,”ada tiga parpol yang membentuk koalisi ”keumatan.” Namanya mengasumsikan diri sebagai representasi aspirasi politik umat. Seperti diketahui, belakangan koalisi ini lalu menjadi koalisi keumatan dan kebangsaan.
Menjelang pilkada gubernur kemarin, ungkapan “umat” (ummat) kerap menyeruak dalam wacana parpol yang sedang menandu cagub/wagub. Klaim-klaim para dalang, pialang dan petualang politik sebagai wakil umat, penyalur aspirasi dan kepentingan umat, tokoh umat, koalisi keumatan dan sejenisnya seringkali terlontar tanpa ragu. Walau juga kerap tanpa rasa malu. Jika ditanya apa sebenarnya yang mereka maksud dengan ”umat,” jangan-jangan kita takkan mendapat jawaban pasti.
Dalam konteks politik di Indonesia, konsep “umat” secara sosiologis dan ideologis kerap dibedakan dengan konsep ”bangsa.” Sebuah parpol dianggap layak mendaku partai atau wakil umat jika asas ideologisnya secara eksplisit menyebut Islam atau Al-Qur’an. Tak pernah jadi soal, sejauh mana parpol tersebut terbukti secara konsisten pernah atau sedang memperjuangkan kepentingan umat. Di sisi lain, konsep “bangsa” dipandang menjadi klaim ideologis dan sosiologis yang sah dari parpol-parpol yang berhaluan nasionalis. Karena Pancasila dijadikan asasnya, misalnya. Yang kedua ini dipandang takcukup legitimate sebagai wakil umat tapi wakil bangsa. Pragmatisme politik kemudian membuat kata ”bangsa” dan ”umat” bergumul dalam kontestasi makna yang alot. ”Bangsa” dipandang merepresentasikan seluruh elemen rakyat (lintas SARA), sementara ”umat” merujuk secara ekslusif ke komunitas Muslim saja.
Upaya para kontestan pilkada merengkuh dukungan segmen masyarakat yang dikategorikan sebagai ”umat” ini memang cukup beralasan. Survey Nasional PPIM UIN Jakarta tahun 2007 tentang ”Islam dan Kebangsaan” menghasilkan sejumlah temuan menarik. Menurut survey tersebut, faktor-faktor yang bersifat keagamaan masih sangat kental mencoraki kondisi kebangsaan di Indonesia, minimal sepanjang 2001-2007. Agama masih merupakan kategori terpenting dalam perumusan identitas seseorang. Unsur dan simbol agama (29,3 %) masih jauh lebih kuat memengaruhi sikap dan prilaku masyarakat daripada kebangsaan (17,6 %). Fakta tersebut, lanjut temuan survey ini, tampaknya dipengaruhi dua faktor penting. Pertama, intoleransi keagamaan; ketidaksediaan seseorang (Muslim) berkoeksistensi dan mengakui eksistensi serta hak-hak penganut agama yang berbeda. Artinya, identitas keber-Islam-an seseorang paling mudah ditegaskan dengan membedakan (juga memisahkan) diri secara ekslusif dengan ”yang lain” (the other). Kedua, faktor kepercayaan (trust) terhadap lembaga agama (ulama). Trust masyarakat terhadap lembaga (khususnya pemimpin) agama jauh lebih tinggi (41 %) ketimbang lembaga-lembaga negara (misalnya presiden, 22 %).
Faktor kedua ini tampaknya merupakan implikasi luberan dari lemahnya kapasitas negara dalam melaksanakan kebijakannya terhadap masyarakat. Kondisi ini kemudian menyibak celah bagi menguatnya penetrasi ideologi tradisional (baik agama maupun etnisitas) dan buhul primordialisme ke dalam kehidupan publik. Karena itulah, simpul survey ini, tidak mengherankan jika dalam lingkup daerah, unsur agama (baca: Islam) dan etnis lokal semakin menguat dalam wacana politik setempat. Akurasi survei ini tentu saja tetap bisa dikritisi secara metodologis. Tapi, mencermati kondisi mutakhir gemuruh perpolitikan di tanah air, terdapat sejumlah bukti konkret yang mendukung kesimpulan survei tersebut.
Dalam perspektif sosiologi agama, pertanyaan sekuensialnya: siapakah yang paling layak dan sah dipandang sebagai pemimpin umat, atau tokoh penyalur aspirasi umat, atau (koalisi) parpol umat? Ketika nama seseorang kemudian bisa disebut sebagai tokoh dan wakil umat, pertanyaannya pun masih bisa diperpanjang. Umat ”Islam yang mana” yang diwakili? Jika dua varian besar Islam di Indonesia dipandang (tetap) penting, harus diperjelas: Apakah Muhammadiyah atau NU? Atau dalam kategori yang lebih luas: Muslim modernis atau tradisionalis? Kalangan Muslim liberalis atau literalis? Muslim moderat atau ekstrim-radikal? Apa yang pro- atau kontraformalisasi syariat Islam?
Dalam konteks pilkada di Sulsel, sejumlah pertanyaan harus segera ditambahkan. Cukupkan sekadar menjadi ketua sebuah komite formalisasi syariat Islam, seseorang lantas layak disebut pemimpin umat? Sementara para pimpinan wilayah/daerah ormas-ormas Islam terbesar dan tertua di Indonesia taklayak mengklaim demikian? Cukupkah seseorang diakui sebagai pemimpin umat hanya karena kerap tampil di depan publik (bukan di masjid!) dengan memanfaatkan simbol-simbol budaya yang bermakna agama di mata umat: baju gamis panjang, peci haji, sorban, tasbih? Ataukah karena gelar Haji (biasanya HAM) terpajang di depan nama-nama mereka setelah berulang kali naik haji? Ataukah karena tokoh tersebut berhasil menerapkan Perda-perda bernuasa syariat Islam di daerahnya? Yang punya program pembebasan buta huruf al-Qur’an?
Di sini bukan tempatnya menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Seperti yang dilakukan Sokrates, filosof Yunani abad ke-6 SM, penulis sekedar ingin menggelitik kesadaran sesama rakyat untuk mencuatkan pertanyaan filosofis di tengah gempita kampanye prematur pilkada yang bising dan menjemukan. Umat perlu kritis dan terbiasa memilah dan meninting siapa yang berjuang demi kepentingan umat dan kepentingan parpol. Tahu mana koalisi keumatan dan mana koalisi kepentingan. Antara kelompok pejuang Syariat dan kelompok pemenangan cagub tertentu. Antara ulama sejati yang mencintai-dicintai umat yang hidup susah dan dai-dai yang berpatronase dan jadi juru kampanye calon pejabat ("da'i rental"?). Umat juga harus dibantu membaca rekam jejak kinerja seorang pejabat dan mantan pejabat; yang sedang bertarung merebut atau melanggengkan jabatan: siapa yang sekedar mengandalkan citra/prestise dan yang memang telah membukukan karya/prestasi.

Comments

Popular posts from this blog

Arung, Topanrita dan Relasi Kuasa di Sulsel

Memperebutkan Makna Islam

Obama dan Kita Menjelang Pesta Demokrasi 09