Manusia Beradab melahirkan Masyarakat Biadab?

Syeikh Muhammad Abduh, seorang pemikir Muslim modernis terkemuka dari Mesir, suatu ketika menemukan paradoks luar biasa. Kota Paris yang suatu ketika dia kunjungi begitu teratur dan bersih. Sementara kota asalnya sendiri, Kairo (Mesir), demikian semrawut dan kotor ketika itu. Dia sedih, kebersihan adalah salah satu ajaran penting Islam, tapi warga Kairo yang mayoritas Muslim justru tidak memiliki budaya bersih seperti warga kota Paris yang umumnya sekular.
Dalam salah satu ceramahnya, Jalaluddin Rakhmat, pemikir Islam Indonesia dari Bandung, mengurut tiga bandara internasional yang paling tidak aman menurut para wisatawan dunia karena tingginya tingkat manipulasi dan pungutan dari petugas imigrasi dan bea cukai atau kasus penipuan petugas porter dan supir taxi bandara. Tragisnya, bandara-bandara yang dimaksud justru terdapat di negara berpenduduk mayoritas Muslim, yaitu bandara Kairo (Mesir), Karachi (Pakistan) dan Cengkareng (Indonesia). Sebaliknya, bandara internasional yang memiliki reputasi paling aman, bersih dan teratur justru terdapat di negara-negara sekular, misalnya bandara Singapura, Hongkong, Eropa Barat dan Amerika Utara.
Selama mengunjungi beberapa negara Barat modern dalam rangkaian studi lanjutan saya, saya menemukan ironi yang malah lebih daripada sekedar perbedaan tingkat kebersihan yang mencolok antara kota-kota dalam masyarakat Muslim dan Barat modern seperti dijumpai Abduh sekitar satu abad silam. Di Indonesia, misalnya, meludah, membuang botol air kemasan, bungkus permen dan puntung rokok di sembarang tempat adalah hal biasa. Buang air kecil di balik pepohonan, di pojok bangunan atau di dinding tembok juga bukan lagi sesuatu yang memalukan. Juga, merokok di dalam ruangan dan kendaraan ber-AC bukan pemandangan aneh. Di banyak masjid, sekolah dan kantor, bau pesing dari kamar kecil yang kebanyakan mampet, menusuk hidung. Di jalan-jalan, para pengendara bermotor yang berebutan jalan setiap saat membunyikan klakson bersahut-sahutan. Dari kawasan yang padat perumahan, suara azan, salawat dan pengajian dari masjid dan langgar yang berdekatan digemakan dengan volume tinggi seolah-olah semua orang tuli, termasuk yang non-muslim. Kehilangan sandal dan sepatu yang diparkir di depan pintu masjid atau teras rumah, atau kendaraan bermotor, bukan lagi berita menarik. Sementara antrian panjang dan teratur di loket-loket pembayaran dan halte bus masih menjadi pemandangan yang ganjil.
Sebaliknya, kebiasaan-kebiasaan yang sesungguhnya sangat “tidak Islami” seperti itu jarang sekali dijumpai dalam masyarakat Barat modern. Selain lingkungan mereka bersih, mereka juga sangat mematuhi aturan-aturan sosial (rambu-rambu lalu lintas misalnya), atau sangat hati-hati terhadap setiap hal yang dapat mengganggu ketenangan orang lain. Misalnya, membunyikan klakson kendaraan dan TV atau radio dengan volume tinggi, memakai parfum dengan bau menyengat atau mengisap rokok di ruang-ruang publik, memandang atau menatap orang lain yang bisa membuat tersinggung, dll. Yang lebih "Islami" lagi, saya kira, mereka tidak mudah menilai (value judgement) pribadi seorang berdasarkan penampilan, cara berpakaian, dan profesi mereka. Jika pun mereka harus menilai, penilaian dan penghargaan mereka merujuk pada kualitas pengetahuan dan keterampilan seseorang dalam wujud konkrit dan terukur, seperti hasil karya atau prestasi.
Tampaknya, selama ini etos kesalehan yang berkembang di lingkungan umat Islam masih lebih bersifat individual ketimbang sosial. Yang dibentuk dan dibina barulah individu-individu yang saleh secara pribadi, belum komunitas yang saleh. Ini adalah dua hal yang berbeda. Di satu pihak, dalam perspektif sejarah masyarakat Islam selalu ada kerinduan akan sebuah tatanan masyarakat yang beradab di balik kenyataan banyaknya pribadi-pribadi Muslim yang saleh. Sementara di pihak lain, dari sudut sejarah masyarakat modern, justru tengah muncul kegelisahan lain karena semakin langkanya pribadi-pribadi yang saleh di balik tatanan masyarakat yang telah tercipta demikian beradab.
Dengan kata lain, dalam masyarakat Barat modern, dapat terlihat adanya tatanan sosial yang beradab, sekalipun mungkin secara individual orang-orang Barat tidak terlihat beradab, terutama karena pandangan hidup individualtik dan hedonistik mereka yang diekspresikan dengan, misalnya, kebebasan seksual, minuman keras, judi, dll. Sebaliknya, dalam masyarakat Muslim, terlihat banyak orang saleh, misalnya karena tekun shalat, rajin puasa, sering naik haji, dll. Namun, dalam masyarakat Muslim, kondisi kehidupan yang beradab tampaknya masih sulit ditemukan. Korupsi, penipuan, penganiayaan, kejorokan, pelanggaran lalu lintas, menerobos antrian, mencela orang lain, melanggar janji, tak berdisiplin waktu dll. merupakan peristiwa yang lumrah.
Menurut Ali Syari’ati, dengan sains dan teknologi, zaman modern memang telah melahirkan masyarakat yang beradab, tapi bukan manusia yang beradab. Sebaliknya, di masa lampau, kita mempunyai manusia-manusia beradab dalam suatu masyarakat yang boleh dikatakan benar-benar biadab. Lantas, bagaimana logikanya, individu-individu yang saleh sampai gagal melahirkan masyarakat yang Islami? Sebaliknya, bagaimana masyarakat yang beradab bisa lahir dari manusia-manusia yang biadab?
Selama ini, dalam masyarakat Muslim, indikator kesalehan seseorang adalah intensitas kepatuhannya menegakkan ritus-ritus atau simbol-simbol agama seperti shalat, puasa, zakat, haji, dll. Simbol atau perlambang memang merupakan salah satu dari kebutuhan wajar manusia untuk menyederhanakan proses pengenalan dan penghayatan terhadap “hakikat” keberagamaan yang tentu saja berada pada lapisan yang paling dalam dari doktrin setiap agama.
Agaknya, kegagalan dalam penghayatan simbol inilah yang disebut oleh Al-Quran sebagai “kelalaian”. “Wail lilmushallin, al-ladzina hum ‘an shalatihim saahuun” (Celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dalam shalat mereka) (al-Ma’un: 4-5). Sebaliknya, terhadap yang berhasil dalam penghayatan simbol ini, Al-Quran menyatakan: “Qad aflahal mu’minun, alladzina hum fi sholatihim khasyiun” (Berbahagialah orang-orang beriman, yang penuh penghayatan dalam menjalankan shalat mereka) (al-Mukminun: 1-2). Yang menarik, bukan janji kebahagiaan bagi orang yang berhasil dalam penghayatan simbol tadi, tapi mengapa orang yang gagal harus diancam dengan siksaan pula? Mengapa mereka tidak dicukupkan saja dengan kegagalan mereka itu?
Menurut Masdar F. Mas’udi, orang yang telah menegakkan simbol-simbol kesalehan kerap cenderung merasa telah menangkap hakikat dan substansi kesalehan itu sendiri. Orang yang telah mejalankan ibadah-ibadah ritual secara tekun mudah sekali tertipu, seolah-olah seluruh substansi keagamaan yang dicanangkan Tuhan telah ditunaikannya. Akibatnya, dia pun menyombongkan diri (yura-un) dengan ibadah-ibadahnya itu dan enggan berbuat sesuatu untuk menolong orang lain yang butuh pertolongan (wa yamna’unal ma’un). Padahal, substansi keagamaan justru terletak pada kesediaan untuk menolong orang yang butuh pertolongan (berbuat amal ibadah yang bersifat sosial-kemasyarakatan, muamalah). Kenyataanya, di mata Tuhan orang yang mendustakan agama (yukadzdzibu biddin) bukanlah orang yang, misalnya, meremehkan shalat, puasa atau haji. Tapi, secara eksplisit “pendusta agama,” kata Tuhan adalah orang yang menghardik anak yatim (yadu’ul yatim) dan takpeduli persoalan ‘makan’ yang diderita orang miskin (wa la yahuddu ‘ala tha’amil miskin). Harus diingat, para pendusta agama jauh lebih berbahaya daripada mereka yang sekedar tidak beragama. Sebab, kelompok yang disebut pertama, selain tidak mau beragama mereka juga tidak percaya bahwa agama itu perlu dalam kehidupan.
Karena itu, dilihat dari sudut formalnya, shalat, haji dan ritual lainnya hanyalah simbol dari kesalehan/keberagamaan (religiousity), sementara memelihara anak yatim dan membebaskan si miskin dari deritanya adalah substansi dari kesalehan itu. Tentu saja pengingkaran ‘substansi’ merupakan hal yang jauh lebih serius daripada sekedar pengabaian ‘simbol’, apalagi jika pengingkaran substansi itu tadi ditutup-tutupi dengan penegakan simbol yang hampa makna.
Ini tidak berarti simbol-simbol kesalehan dalam sistem ritus tidak berharga sama sekali. Selama simbol-simbol itu bisa berfungsi sebagai wahana penghayatan atas ‘spirit kesalehan’ itu sendiri, maka ia menjadi bagian tak terpisahkan dari proses penghayatan agama. Namun, bahayanya, simbol-simbol itu secara inheren selalu mengandung potensi penipuan, yakni membuat orang yang mengenakannya lalai terhadap semangat dan substansi dari kesalehan untuk mana simbol itu diciptakan. Bukankah seringkali kita memandang seseorang itu alim atau saleh hanya karena sudah berulang kali berhaji, jidatnya terlihat menghitam (karena banyak sujud?), tiap saat memakai baju gamis, sorban dan kopiah putih, atau ke mana-mana memegang tasbih. Karena itu, sikap dasar keberagamaan --yang komitmen utamanya mengarah pada penghayatan hakikat dan substansi-- adalah sikap yang penuh waspada terhadap segala bentuk (atau berhenti sekedar pada) simbolisme. Nabi Muhammad pernah memperingatkan: Innallah la yanzuru ila ajsamikum wa la ila aswarikum, walakin yanzuru ila qulubikum wa a’malikum (Maknanya: bagi Allah, tidak penting apakah jasmani dan rupa kalian itu bagus atau tidak, tetapi yang Dia nilai adalah hati dan perbuatan kalian).
Itulah sebabnya, terjemahan lain yang ditawarkan Masdar atas ayat fawailun lil mushallin adalah, “Celakalah bagi orang-orang yang tertipu atau menipu diri sendiri dengan simbol-simbol kesalehan, atau dengan kesalehan-kesalehan yang bersifat simbolik.” Dalam Pasang ri Kajang dikatakan, “Pakabaji ateka’nu, Iyamintu agama; Nayantu sambayangnga, Jaman-jamanji (gau’ji).” Maknanya, perbaikilah hatimu, itulah hakikat agama. Adapun shalat, itu sekedar ritus jasmaniah. Pesan ini mirip dengan ungkapan tarekat yang dikenal di daerah Bugis, kalau tidak salah berbunyi, “Jenne temmalukka; sompajang temmappettu” (wudhu dan shalat yang berkelanjutan). Kedua pesan yang ini memiliki maksud yang sama, seseorang hendaknya berbuat baik bukan hanya selama shalat, tapi terutama di saat-saat berada di antara tiap waktu shalat lima waktu.
Dikaitkan dengan paradoks yang disebut di atas, selama (pemahaman) keberagamaan seseorang masih lebih banyak berorientasi kepada tujuan-tujuan egoistik, individual, atau malah hedonistik, tapi mengabaikan kebaikan-kebaikan yang bersifat komunal atau sosial-kemasyarakatan, maka masyarakat yang akan tercipta adalah masyarakat yang semrawut, brutal dan biadab. Keberislaman, atau keberagamaan pada umumnya, adalah sarana mendapatkan kebahagiaan individual dan ukhrawi sekaligus, pada saat yang sama, menciptakan tatanan sosial beradab dan kesejahteraan duniawi. Sayangnya, kesalehan kita selama ini masih lebih banyak berorientasi individual dan ukhrawi, ketimbang sosial dan duniawi. Seringkali, kita saleh individual, tapi aniaya sosial. Wallahu a’lam bish-shawab

*Pernah dimuat di ruang opini Harian Fajar, Februari 2005

Comments

Popular posts from this blog

Arung, Topanrita dan Relasi Kuasa di Sulsel

Memperebutkan Makna Islam

Obama dan Kita Menjelang Pesta Demokrasi 09