Anregurutta dan Bulan Ceramah Ramadan

Sudah lumrah jika Ramadan disebut bulan pentas ritual, ajang akumulasi pahala, dan momen menghiba ampunan, rahmat dan berkah dari Allah. Tapi, jangan lupa, ia juga “Bulan Ceramah.” Sejak lama, ceramah jadi menu pelengkap beragam tradisi Ramadan di Indonesia. Mulai di musola, masjid, tempat buka puasa bersama, tarwih keliling, pengajian, majelis taklim, hingga televisi dan radio.
Tak heran, setiap Ramadan tiba permintaan mubalig (penceramah) meningkat tajam. Mungkin lebih banyak daripada stok yang tersedia. Tak jarang, beberapa mubalig berceramah di dua tiga tempat berbeda dalam semalam. Fenomena mubalig dadakan atau musiman selama Ramadan tentu sudah lama terlihat di berbagai kota di Indonesia.
Lantas, sejauh mana pengaruh intensitas ceramah Ramadan terhadap peningkatan pengetahuan, kesadaran dan pengamalan agama umat Islam di negeri ini dari tahun ke tahun? Untuk menjawab itu, tentu perlu penelitian khusus. Tapi mari lebih dulu meneroka keragaman sosok mubalig Ramadan.
Di masa lalu, mubalig umumnya ditemukan dalam sosok ulama tradisional, kiyai, atau anregurutta dalam masyarakat Bugis-Makassar. Mereka muncul sebagai ahli pada satu atau lebih bidang-bidang klasik pengetahuan agama seperti fiqih, kalam, tafsir, hadis atau tasawuf. Untuk mencapai tahap itu, selama bertahun-tahun mereka harus menanggung derita berguru pada ulama di berbagai tempat.
Memang, jumlah mubalig dalam sosok Anregurutta ini selalu sedikit. Mereka dikenal tekun beribadah, hidup sederhana serta ikhlas membina dan mengajar umat. Pribadi mereka menampakkan karisma, wajah mereka memancarkan aura spiritual, dan umat percaya mereka memiliki banyak karamah. Orang-orang mendatangi mereka dengan berbagai tujuan: mendengar nasehat, sekedar memandang wajah, mencium tangan, meneguk sisa air minum mereka, dan mengambil berkah dari doa mereka.
Hubungan Anregurutta dengan pengikut mereka lebih menyerupai hubungan seorang guru dengan murid-muridnya. Mereka jadi rujukan atau tempat bertanya umat mulai soal agama, kesehatan, ekonomi, politik hingga ilmu bela diri. Mungkin itu sebabnya mereka disebut gurutta (guru kita), atau yang lebih tinggi lagi, anregurutta (mahaguru kita).
Seperti guru kepada muridnya, Anregurutta dapat leluasa menegur, bahkan memarahi pengikutnya yang dipandang telah melanggar ajaran agama. Teguran secara bijaksana tentunya, dilambari perhatian dan cinta tulus. Jadi, tidak melanggar HAM. Tema ceramahnya bukan sesuai pesanan atau kegemaran jamaah tapi sesuai situasi dan kondisi aktual mereka. Anregurutta tidak punya silabus bahan ceramah yang digunakan secara berulang-ulang dalam bentuk buku catatan atau tersimpan dalam gawai canggih seperti smartphone, tablet atau iPad. Sebelum berceramah dia tak perlu mempersiapkan materi ceramahnya karena itu sudah jadi bagian tak terpisahkan dari karakter dan prilakunya. Bahkan “kehadirannya” di tengah-tengah umatnya sudah merupakan isi ceramah itu sendiri. Umat rukun dan damai karena ada Anregurutta di tengah-tengah mereka.
Secara filosofis, pada diri seorang Anregurutta telah bersatu pengetahuan (‘ilmu) dan pengamalan (‘amal). Yang dia dakwahkan telah diwujudkan lebih dahulu dalam dirinya sendiri. Maka tak heran, biografi mereka seringkali jadi kitab akhlak yang tak tak pernah kering diulas. Di waktu lain, Anregurutta berdakwah tanpa melakukan apa-apa karena diamnya pun sebuah sikap atau bentuk integritas moral. Mirip laku ‘wu wei’ dalam filsafat Cina; artinya ‘berbuat tanpa berbuat’. Dakwah fasif seperti itu seringkali justru lebih efektif mentransformasi orang lain.
Dalam misi dakwahnya, Anregurutta tidak menuntut imbalan, lebih-lebih pasang tarif. Jika diundang berceramah, pertanyaannya bukan di mana, tapi kapan. Baginya, tugas dakwah bukan profesi atau sampingan tapi kewajiban moral-religius. Asal ada waktu, undangan ceramah akan mereka penuhi tanpa pandang kelas sosial-ekonomi khalayak, walau harus berjalan kaki puluhan kilometer ke satu pelosok desa. Daripada jadi pegawai pemerintah, untuk menunjang hidup keluarga, Anregurutta biasa berprofesi sebagai petani, peladang, peternak, atau pedagang. Tapi umat biasanya loyal dan ikhlas membantu mereka setiap saat.
Lalu tibalah masa ketika pengetahuan agama tidak lagi ekslusif milik para ulama tradisional. Karena modernisasi, lembaga pendidikan modern berdiri di mana-mana, termasuk pendidikan agama. Lembaga pendidikan agama traditional seperti pesantren bukan lagi satu-satunya produsen utama otoritas agama (ulama). Para pemikir modernis di awal abad ke-20 sengit mengkritik peran ulama sebagai penyebab kemunduran Islam. Mereka dianggap turut menutup pintu peluang ijtihad dengan memelihara institusi taklid; membiarkan umat mengikut tanpa kritis, meminta barakah dan menjadi perantara (wasilah) mencapai keselamatan akhirat. Alhasil, institusi ulama mengalami proses demistifikasi, dan dalam hal tertentu juga desakralisasi. Otoritas pengetahuan agama terfragmentasi secara luas.
Berdasar hadis Nabi “Sampaikan dariku walaupun satu ayat,” setiap orang secara teoritis dapat menjadi mubalig. Dengan modal kepercayaan diri, kemampuan berbicara dan hapalan beberapa ayat dan hadis, setiap orang merasa bisa berceramah. Fatwa-fatwa instan pun menggema dari mimbar-mimbar masjid. “Seandainya saya juga hapal ayat-ayat, saya juga akan naik ceramah selama Ramadan” keluh seorang dosen mata kuliah umum yang jadi pengurus masjid dekat rumahnya. Saya tanya kenapa. “Jadi ustadz kayaknya mudah ji, padahal ‘honornya’ makin naik dari ke tahun ke tahun”.
Mubalig kini lebih populer dipanggil Ustadz, diiringi deretan gelar-gelar akademik formal. Maka, daftar nama mubalig Ramadan di masjid-masjid kota terlihat dipenuhi gelar-gelar seperti Prof. DR. Ir. Drs. H. Fulan, S.Ag., S.Sos. M.Pd., M.A. Konon, pernah seorang mubalig bergelar professor menggerundel. Saat dipersilakan naik mimbar, protokol masjid lupa menyebut gelar professornya. Begitulah, mimbar masjid pun sudah seperti mimbar akademik, di mana gelar akademik jadi penentu identitas. Umat akhirnya terbiasa menilai kredibilitas seorang mubalig berdasarkan gelar akademiknya.
Media elektronik, khususnya televisi dan internet, turut melecut popularitas mubalig jenis baru ini. Agar tetap populer dan trendy, mereka harus menjaga penampilan sesuai ekspektasi dan gaya hidup terkini. Banyak yang beraspirasi jadi mubalig kondang level nasional dan bergaya hidup selebriti, lengkap dengan segala aksesorisnya: rumah megah, mobil mewah, pakaian bermerek, dan hiburan berkelas. Maka, setiap waktu mubalig baru bermunculan dengan tawaran branding dakwah yang khas dan cepat memikat umat. Sementara itu, satu demi satu sosok Anregurutta meninggal tanpa pengganti.
Kembali ke pertanyaan awal tulisan ini, apakah intensitas dakwah masa kini punya efek yang nyata dalam meningkatkan kesalehan umat. Dua pepatah Arab berikut mungkin dapat menjelaskan: lisanul hal afsahu min lisanul qaul’ (Teladan prilaku lebih fasih daripada ujaran lisan), dan ‘Al-insan la yu’ti illa ma lahu’ (manusia tidak memberi kecuali apa yang dia punyai). Artinya, dakwah yang efektif menggugah dan mengubah orang lain adalah teladan karakter dan prilaku yang baik. Dakwah para Anreguruta di masa lalu terbukti efektif karena dalam kehidupan sehari-hari mereka telah termanifestasi dengan utuh keteguhan akidah, kesalehan syariat, dan keindahan akhlak.



Comments

Popular posts from this blog

Arung, Topanrita dan Relasi Kuasa di Sulsel

Memperebutkan Makna Islam

Obama dan Kita Menjelang Pesta Demokrasi 09