Peluang dan Tantangan Rektor Baru UIN Alauddin Makassar

Bertempat di Kantor Kemenag RI Jakarta pada Kamis 9 July 2015 lalu, Prof Dr Musafir Pababbari MSi resmi dilantik oleh Menteri Agama sebagai Rektor UIN Alauddin Makassar periode 2015-2019. Ini mengakhiri kemelut berkepanjangan sekisar pemilihan rektor perguruan tinggi Islam negeri terbesar di Indonesia timur ini sejak awal 2015 lalu. Praktis mulai minggu ini, Prof Musafir akan segera diperhadapkan dengan sejumlah agenda rutin penting kampus yang tertunda akibat kemelut tersebut. Salah satunya, menandatangani tumpukan ribuan lembar ijazah sarjana baru yang tertuda sejak akhir periode rektor sebelumnya. Namun, lepas dari bengkalai administratif itu, sejumlah peluang dan tantangan akademikterhampar di depan Prof. Musafir dalam menakhodai UIN empat tahun ke depan.

Pertama, restrukturisasi birokrasi kampus. Statuta baru UIN Alauddin memberi kewenangan penuh kepada rektor memilih wakil-wakil rektor, dekan-dekan, direktur program pascasarjana, ketua-ketua lembaga, dan kordinator dan wakor kopertais. Sebelumnya, para pejabat struktural ini dipilih oleh senator universitas dan fakultas. Sisi positifnya, sistem ini memberi peluang membentuk sebuah ‘rezim impian’ yang memiliki kompetensi dan loyalitas penuh kepada rektor. Sisi negatifnya, rektor menjadi pihak yang harus menanggung hampir semua beban dan tanggung jawab jika terjadi kegagalan kepemimpinan di tingkat universitas dan fakultas. Selain itu, kompromi politik sangat mungkin akan mengetepikan pertimbangan objektif berdasarkan pengalaman dan kompetensi dalam menentukan para pejabat struktural kampus. Supaya beban psikologis rektor bisa terbagi dan faktor kompetensi masih bisa jadi salah satu pertimbangan, mungkin ada baiknya jika rektor membentuk tim seleksi kecil yang bertugas melakukan fit and proper tes terbuka kepada setiap warga kampus, terutama anggota tim pemenang, yang meminati jabatan tertentu. Setelah para calon memaparkan visi, misi dan rencana aksi di hadapan tim dan rektor, barulah rektor sendiri memilih yang terbaik.

Kedua, revitalisasi sarana dan prasarana kampus. Lingkungan kampus yang bersih, rapi, hijau dan indah dengan prasarana dan sarana standar yang lengkap akan memberi kesan awal tentang kualitas kampus terkait. Sejak resmi digunakan pada 2005, kampus Samata tidak banyak mengalami perkembangan fisik. Memang di sana sini muncul gedung-gedung baru, tapi pemeliharaan dan penataan linkungan kampus secara menyeluruh tampak belum serius dilakukan. Akibatnya, kampus Samata masih terlihat semrawut, ada pemukiman liar penduduk dalam kampus, sistem parkiran yang kacau, tumbuhan liar merambat ke mana-mana, wc yang mampat, dsb.Sebelum menata roh kampus, Prof Musafirpertama-tama, walau tak mesti yang utama, perlu menata ulang lingkungan kampus sehingga dipastikan nyaman, aman dan kondusif sebagai tempat melaksanakan darma perguruan tinggi. Seperti kata pribahasa, di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Kampus yang bersih, asri, rapi dan indah mencerminkan adanya warga kampus yang berjiwadan berpikiran sehat. Sebaliknya, kampus yang jorok, semrawut dan rawan aksi kriminalitas mencerminkan kekacauan berpikir dan kesakitan jiwa para penghuninya.

Ketiga, reformulasi visi misi kampus dan rekonstruksi kerangka epistemologi keilmuan. Ini memang idealnya menjadi agenda jangka panjang yang dapat dilakukan sambil mengeksekusi agenda akademik rutin lainnya. Namun, sejumlah perubahan perundangan-perundangan serta restrukturisasi dan transformasi kelembagaan di lingkungan kementerian agama dan pendidikan tinggi dalam satu dekade terakhir menuntut UIN Alauddin melakukan reformulasi visi-misi akademik dan transformasi kerangka epistemologisnya. Ini penting demi dua hal berikut.

Pertama, memastikan relevansi dan signifikansi program-program studi UIN Alauddin dengan perkembangan keilmuan dan dunia usaha di tingkat lokal, nasional dan internasional. Bidang-bidang kajian UIN Alauddin hendaknya terus mengalami pemutakhiran, revisi atau adaptasi sehingga selalu antisipatif, relevan dan terinterkoneksi dengan perkembangan mutakhir di bidang keilmuan dan profesional secara nasional dan global.

Kedua, menunjukkan keunikan dan keunggulan bidang-bidang kajian akademik di UIN Alauddin dibanding perguruan-perguruan tinggi lain di tingkat nasional, terutama perguruan tinggi Islam. Jika tidak punya keunggulan kompetetif dan komparatif yang tegas dan jelas, tentu sangat sulit menjawab pertanyaan tentang alasan keberadaan (raison d’etre) UIN Alauddin Makassar di tengah-tengah menjamurnya kemunculan perguruan tinggi lain (Islam maupun umum, negeri maupun swasta) di provinsi ini. Apa, misalnya, perbedaan yang signifiikan antara menempuh pendidikan di UIN Alauddin Makassar dengan di UNHAS atau UNM? Mengapa harus memilih UIN Alauddin, bukan UIM, UMI atau Unismuh?

Kedua hal tersebut di atas hanya bisa dirumuskan dengan baik jika UIN Alauddin telah menuntaskan bentuk visi, misi dan kerangka epistemologis yang lebih konseptual, komprehensif dan permanen sehingga mencakup paling tidak dua dekade periode pengembangan. Selama ini, masih nampak banyakversi dan multi-tafsir atas visi, misi, dan kerangka epistemologis ini. Tiapkali seorang rektor baru datang, visi, misi dan kerangka epistemologis lama diamandemen atau ditawarkan sesuatu yang baru sama sekali. Dalam dua dekade terakhir, kita sudah akrab dengan jargon-jargon yang merefleksikan visi dan misi dari rektor yang berbeda: kampus ukhuwah, ilmiah, dan akhlaqiah; kampus rabbani, kampus sinergi sains dan agama; dan kampus peradaban.

Warga kampus UIN Alauddin tentu menyimpan harapan besar pada Prof Musafir untuk memimpin revitalisasi fisik dan transformasi akademik besar-besaran selama paling tidak empat tahun ke depan. Mereka tentu punya sejumlah alasan untuk optimistis. Dengan latar belakang akademik dalam kajian agama-agama dan sosiologi, plus pengalaman kepemimpinan struktural kampus sebagai dekan dan wakil rektor pada dua periode sebelumnya, Prof Musafir memiliki bekal yang relatif cukup untuk melecut energi positif dan memantik potensi aktual seluruh warga kampus demi mengejar kemajuan pesat kampus-kampus besar lainnya di tanah air. Dengan tetap menjaga profil yang rendah hati dan murah senyum, penampilan yang sederhana, dan kelebihsukaan mendengar pendapat orang lain ketimbang menggurui, Prof Musafir tentu akan menawarkan gaya kepemimpinan populis-demokratis yang nampaknya lebih dibutuhkan warga UIN ke depan. Selamat untuk Pak Mus dan semoga sukses dalam menjalankan amanah besar ini.(*)

*(Pernah dimuat di Harian Fajar, 14 Juli 2015)

-->

Comments

Popular posts from this blog

Arung, Topanrita dan Relasi Kuasa di Sulsel

Memperebutkan Makna Islam

Obama dan Kita Menjelang Pesta Demokrasi 09