Kampus dan Budaya Parsel
Beberapa waktu
lalu, lewat media sosial, saya menjaring komentar tentang budaya mahasiswa memberi
makanan dan parsel kepada para penguji pada saat dan setelah ujian sarjana. Di
luar dugaan, ada sekitar 400 orang menjempoli postingan itu. Dari 250-an
respons, termasuk dari beberapa ‘korban’ praktek itu, terungkap, sejak beberapa
dekade terakhir budaya ini sudah demikian massif dan sistemik di sebagian besar
perguruan tinggi di Indonesia.
Hampir semua responden
mendukung upaya menghapuskan budaya ini dan mengecam pembiaran dari pihak dosen
dan birokrasi kampus. Mereka menyatakan, praktek itu jelas memberatkan pihak
mahasiswa. Beberapa bahkan memberi testimoni tentang praktek yang lebih parah
di satu kampus di mana mahasiswa selain ‘dituntut’ memberi parsel kepada para
penguji juga amplop berisi uang ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Di sejumlah program
pascasarjana, ada beberapa penguji terang-terangan meminta beragam hal kepada
mahasiswa: ditraktir makan malam sekeluarga di restoran mewah, dibelikan tiket,
mendiktekan isi parsel yang diinginkan dsb.
Yang lebih tragis
lagi, di beberapa kampus, mahasiswa ‘dituntut’ menyediakan snack dan makan
siang selain untuk para penguji, yang bisa sejumlah tujuh orang tetapi, juga untuk
puluhan hingga ratusan hadirin saat ujian promosi. Maka tidak heran, biaya yang
dikeluarkan tiap mahasiswa bisa mencapai belasan hingga puluhan juta rupiah. Karena
itulah, beberapa mahasiswa terpaksa harus pinjam uang ke sana kemari: keluarga,
sesama mahasiswa, koperasi kampus, bank dan pegadaian. Pilihan lainnya, jadwal ujian
promosi terpaksa ditunda hingga cukup dana membeli makanan dan parsel.
Di masa lalu,
demi memenuhi kualifikasi akademik terbaik, mahasiswa dituntut mempersiapkan
diri sebaik mungkin dengan membaca dan mendalami skripsi, tesis dan disertasi yang
akan dipertahankan di depan penguji. Kini, di banyak kampus di mana kualitas akademik
dipandang bukan tujuan utama, calon sarjana lebih banyak menguras energi, uang
dan pikiran sebelum dan setelah ujian untuk menyiapkan konsumsi dan parsel serta
memastikan para penguji mereka puas secara konsumtif.
Di masa lalu,
konsumsi para penguji selama masa-masa ujian kesarjanaan selalu disediakan
pihak fakultas dan menunya tidak pernah sekomplit dan semewah sekarang. Dana
untuk itu pun telah menjadi bagian dari pembayaran SPP mahasiswa. Sekarang,
selain menanggung sejumlah pembayaran tambahan di luar SPP, mahasiswa masih
harus membiayai konsumsi ringan dan berat para penguji dan undangan selama
ujian kesarjanaan mereka. Selain itu, ketika di masa lalu gaji dan tunjangan
para dosen penguji belum seberapa, kebutuhan atas makanan bagi pikiran (food for thought) cenderung lebih
diperhatikan daripada makanan bagi tubuh (food
for body). Kini sebaliknya, saat gaji dan tunjangan semakin tinggi dan
beragam, termasuk tunjangan sertifikasi dan guru besar, hasrat pemenuhan
makanan bagi tubuh malah semakin menjadi-jadi, sementara untuk makanan bagi
pikiran banyak yang memilih puasa Senin-Kamis. Seperti sindiran seorang
responden, jika dulu kelulusan seorang mahasiswa ditentukan oleh kualitas pemikirannya,
kini tergantung kualitas dan kuantitas makanan dan parsel yang disediakan.
Memang, budaya parsel
ini juga menguntungkan dan diinginkan pihak mahasiswa tertentu. Di situ,
tersirat harapan para penguji tidak akan tega menggagalkan mereka, atau setidaknya
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sulit saat ujian promosi. Maka ia lantas semakin
mirip budaya memberi dan menerima sogokan di birokrasi pemerintahan. Johan
Budi, salah satu pimpinan KPK saat ini, di suatu seminar di UIN Jakarta
beberapa waktu lalu, dengan tegas menyatakan, dosen yang menerima parsel
mahasiswa adalah gratifikasi. Perguruan tinggi sejak lama identik dengan lingkungan
yang menjaga idealisme, integritas, asketisme intelektual dan kejujuran
akademik. Namun, jika warga kampus pun sudah mulai mempraktekkan gratifikasi lewat
budaya parsel, optimisme kita memberantas korupsi dalam masyarakat luar kampus niscaya
makin menipis. Tidak sulit bagi mahasiswa yang sudah mempraktekkan budaya
gratifikasi sejak kuliah untuk melakukan hal yang sama setelah mereka sarjana
dan memasuki dunia usaha atau birokrasi pemerintahan.
Ternyata memang, tingkat
pendidikan demikian tinggi bukanlah jaminan bagi seseorang untuk berempati pada
situasi sulit orang lain berdasarkan pengalaman hidup sendiri. Cobalah ‘puting yourself in other’s shoes’, kata
orang Inggris. Dunia mahasiswa kerapkali diasosiasikan dengan kemurnian
idealisme, keceriaan usia muda, keperpihakan pada masyarakat, petualangan dan kesabaran
menderita. Tapi ia juga identik dengan kesederhanaan dan bahkan kekurangan
dalam hal makanan dan uang di hampir setiap waktu. Maka jika ada dosen yang kini
setelah merasakan kelegaan hidup lantas tega menuntut makanan dan parsel dari
mahasiswanya, mungkin dia itu sedang mengalami amnesia, lupa pada nestapa hidup
mereka dulu sebagai mahasiswa. Atau jangan-jangan mereka dulu berhasil jadi
sarjana berkat praktek-praktek gratifikasi juga?
-->
Baiklah, sebagian
kita mungkin sudah sepakat, praktek ini harus segera diakhiri. Tapi, dari mana
kita harus memulai? Meneruskan usulan kawan-kawan lewat sosmed, pertama,
mulailah dari sendiri. Dosen dan mahasiswa jangan asal ikut-ikutan melakoni tradisi
ngawur ini. Selain tak pernah jelas siapa yang memulainya, di kampus mana pun
aturannya tidak pernah bulat disepakati. Juga tak pernah ada petunjuk teknis
pelaksanaannya secara tertulis. Kedua, para rektor atau otoritas kampus harus
membuat keputusan tegas dan mengikat melarang setiap bentuk praktek seperti ini.
Ketiga, lewat mekanisme perwakilan mereka (BEM dsb), mahasiswa hendaknya bersatu
menyuarakan penolakan mereka. Jangan hanya kritis dan berani mendemo praktek
gratifikasi di kalangan birokrasi pemerintahan tapi membiarkannya terjadi di
lingkungan kampus yang justru secara langsung merugikan mereka. Keempat, rektor
dan para dermawan perlu memberi santunan khusus kepada mereka yang belum mampu dengan
gaji dan tunjangan sendiri membeli makanan dan isi parsel sebagus yang bisa
diberikan mahasiswa saat ujian. Jangan membiarkan sebuah jalan setapak yang
menyesatkan kelak menjadi jalan raya hanya karena semakin banyak orang
melaluinya.
*(Pernah dimuat di harian Tribun Timur Oktober 2016)
Comments