UIN, Apanya Yang Islami?

Apa yang membuat Universitas Islam Negeri (UIN) Islami? Apa konsekuensi akademik dari transformasi IAIN Alauddin ke UIN? Apa kontribusi sosio-kultural perubahan status itu bagi umat Islam di kawasan timur Indonesia khususnya? Pertanyaan seperti ini mungkin makin relevan diajukan menjelang terpilihnya rektor UIN Makassar akhir Maret ini.

Transformasi IAIN ke UIN membawa sejumlah konsekuensi penting. Secara akademik, kajian UIN akan mencakup studi-studi Islam dan ilmu-ilmu umum (sekular). Input UIN tak lagi hanya dari madrasah, pesantren atau masyarakat pedesaan, tapi kalangan lebih luas dan beragam yang meminati fakultas-fakultas ilmu umum UIN. Ini menjadi tantangan berat UIN. Secara akademik, mengkaji dua bidang keilmuan yang berbeda dalam satu atap mencuatkan sejumlah masalah. Kehadiran mahasiswa dalam jumlah besar dari pelbagai latar belakang akan mendesak UIN merumuskan kebijakan akademik dan nonakademik yang kompatibel dengan kebutuhan mahasiswa.

Untuk mewujudkan visinya sebagai “pusat pengembangan akhlak, keunggulan intelektual dan prestasi akademik di kawasan timur Indonesia yang mengintegrasikan pengetahuan keislaman dan pengetahuan umum dalam rangka pembangunan masyarakat yang lebih berkeadaban,” UIN perlu melakukan upaya serius dan terencana paling tidak dalam hal-hal penting berikut.

Pertama, merumuskan landasan epistemologi keilmuan. Secara global, diskursus tentang kerangka epistemologi keilmuan universitas Islam hingga kini terus berkembang. Di Indonesia wacana ini makin mengemuka seiring transformasi sejumlah IAIN/STAIN ke UIN. Meski berbagai kemungkinan suatu paradigma keilmuan yang berperspektif keislaman dan keindonesiaan masih akan terus dieksplorasi, UIN sudah harus merumuskan paradigma dan orientasi pengembangan akademiknya demi reintegrasi dan sinergi keislaman, keilmuan, kemanusiaan dan keindonesiaan.

Ziauddin Sardar dalam artikelnya “What Makes a University ‘Islamic’?” menulis, tujuan utama universitas Islam seharusnya adalah membangun suatu landasan yang komprehensif bagi rekonstruksi peradaban Muslim. Sebagai institusi yang menyediakan landasan pengetahuan bagi peradaban Muslim, universitas Islam harus tanggap mencermati setiap kebutuhan masyarakat Muslim yang berubah dari masa ke masa. Mencermati dan memenuhi kebutuhan peradaban Muslim, membangkitkan pengetahuan berdasarkan perspektif Islam, bekerja dalam rangka kejayaan Islam dan rekonstruksi menyeluruh atas peradaban Muslim adalah kegiatan-kegiatan yang bersifat normatif (1991: 77-79).

Karena itu, universitas Islam adalah lembaga normatif juga, tapi bukan dalam arti perguruan tinggi yang bias, penuh prasangka, sektarian atau tunduk pada tarikan dan kepentingan ideologi politik tertentu. Normatif di sini berarti perguruan tinggi meletakkan loyalitasnya hanya pada norma dan nilai yang membentuk pandangan dunia dan tujuan-tujuannya sendiri, yaitu Islam. “Dalam kerangka normatif nilai-nilai ini,” lanjut Sardar, “terdapat kebebasan melakukan penelitian dan tugas akademik secara penuh.” Karena itu, sisi normatif IAIN sebagai lembaga pendidikan Islam seharusnya tetap dipertahankan UIN walau dipahami dalam perspektif lebih luas dan terbuka.

Karena disiplin keilmuan UIN akan mencakup disiplin ilmu-ilmu umum, itu berarti paradigma dan wawasan pengetahuan para civitas akademikanya akan meluas. Minat dan kemampuan mahasiswa UIN menggumuli disiplin-disiplin keilmuan di luar ilmu-ilmu keislaman tradisional yang selama ini diupayakan secara nonformal akan terpenuhi secara akademik.

Karena itu, tugas UIN adalah meretas dikotomi, kompartementalisasi dan relasi-saling-menegasikan (mutually exclusive) antara ilmu-ilmu “Islam” dan umum. Kedua ranah keilmuan ini kini harus dipandang secara integral, holistik dan komplementer berlandaskan worldview Islam tentang tauhid. Bukanlah misi UIN melakukan “Islamisasi ilmu pengetahuan” atau “saintifikasi Islam.” Selain takperlu, upaya kolosal tersebut juga hampir mustahil dilakukan. Jauh lebih penting membekali mahasiswa UIN pemahaman mendalam mengenai paradigma pendidikan dan pengetahuan Islam yang memandang penuntutan ilmu sebagai ibadah yang hendaknya dilakukan dalam semangat kepasrahan kepada Allah. Menurut Sardar, sebuah universitas Islam dipandang Islami karena ia merupakan institusi yang secara mantap bersifat universal di mana semua disiplin keilmuan dituntut dalam sebuah kerangka etis dan metodologis yang benar-benar Islami.

Kedua, pengembangan kurikulum inti dan metodologi pengajaran. Untuk menjadi pusat pengembangan tradisi intelektual Islam, kurikulum pengajaran UIN harus dikembangkan secara progresif dan kontekstual. Ini mencakup rancangan beberapa mata kuliah inti (core courses) yang memberikan pengetahuan dasar atau pengantar umum guna memantik apresiasi dan pemahaman mahasiswa secara utuh tentang tradisi intelektual Islam. Karena watak epistemologis dan ontologisnya yang jelas dan mapan, beberapa mata kuliah berikut diusulkan menjadi mata kuliah inti: Pengantar Sejarah Sosial Islam, Sejarah Sains dan Peradaban dalam Islam, Epistemologi dan Klasifikasi Ilmu dalam Islam, Pengantar Filsafat Ilmu, Pengantar Ilmu Ushuluddin, Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Hadis, Pengantar Jurisprudensi Islam, dst.

Di masa depan, pengembangan tradisi intelektual Islam di UIN takcukup lagi hanya melanjutkan pembaharuan teologis Harun Nasution yang kini mulai “ketinggalan zaman,” atau model kajian perbandingan agama rintisan A. Mukti Ali yang masih bersifat apologetik dan doktriner. UIN juga harus mampu melanjutkan secara kreatif gagasan pembaharuan Islam Nurcholish Madjid ke arah pengembangan studi-studi Islam yang lebih terspesialisasi.

Sementara itu, pengajaran aspek-aspek keilmuan Islam sudah tentu kini harus menerapkan metodologi yang lebih komprehensif dan integralistik karena mereka menjadi bagian dalam studi ilmu-ilmu umum yang selama ini dianggap asing dari Islam, walau di masa lalu menjadi bagian integral peradaban Islam. Disiplin pengetahuan Islam klasik juga harus diajarkan secara lebih kritis, historis dan kontekstual sehingga relevan dan kompatibel dengan kehidupan manusia modern beserta kompleksitas masalahnya.

Ketiga, pimpinan UIN perlu menumbuhkembangkan secara terencana iklim dan tradisi akademik yang kondusif melalui kepeloporan dan pemberian kemudahan, dukungan dan resources kepada seluruh warga kampus guna melahirkan calon-calon intelektual Muslim yang kreatif dan mandiri. Memfasilitasi akomodasi, publikasi dan dokumentasi kegiatan-kegiatan ilmiah nonkurikuler dalam kampus perlu dilakukan. Ketersediaan sumber-sumber studi dan riset ilmiah mutakhir dalam berbagai bentuk dan medianya merupakan keniscayaan. Majalah, buletin atau koran kampus/mahasiswa sebagai media komunikasi dan informasi seputar aktivitas akademik kampus harus diterbitkan kembali secara berkala. Juga peningkatan kualitas jurnal-jurnal ilmiah terbitan UIN hingga mencapai standar akademik yang elementer dan terakreditasi secara nasional/internasional.

Yang tak kalah pentingnya, meningkatkan kuantitas, kualitas dan keragaman koleksi serta mutu pelayanan perpustakaan. Sudah jadi jargon klasik, perpustakaan adalah jantung perguruan tinggi. Jika kehidupan akademik di satu kampus tampak lesu dan kurang darah, yang perlu diagnosa lebih dulu adalah kondisi perpustakaannya. Memprioritaskan peningkatan sarana/prasarana fisik, kualitas koleksi dan kinerja “jantung” UIN hendaknya menjadi prioritas rektor mendatang. Upaya ini diyakini akan lebih melecut peningkatan kompetensi civitas akademika UIN.

Keempat, peningkatan kerja sama dan jejaring kelembagaan. Untuk melanjutkan link and match antara kompetensi akademik alumni UIN dengan kebutuhan masyarakat, UIN perlu secara strategis dan efektif memperluas kemitraan dan networking dengan lembaga akademik, sosial-budaya, politik dan keagamaan di KTI, seperti universitas-universitas negeri dan swasta, instansi pemerintah, organisasi-organisasi keagamaan Muslim dan non-Muslim, LSM, pusat-pusat penelitian, media massa, komunitas lokal, dsb. Sejumlah program yang prospektif dilakukan UIN mensyaratkan kemitraan dengan lembaga-lembaga berskala regional, nasional dan internasional.

Semoga dengan berbekal visi, misi dan program kerja yang tepat, UIN akan mampu menunjukkan kontribusi konkretnya dalam pengembangan masyarakat Muslim Sulsel khususnya dan bangsa Indonesia seluruhnya.

Comments

Popular posts from this blog

Arung, Topanrita dan Relasi Kuasa di Sulsel

Memperebutkan Makna Islam

Obama dan Kita Menjelang Pesta Demokrasi 09