IAIN, UIN dan Tradisi Intelektual Islam di Indonesia
Apakah peran penting dan unik IAIN yang harus dilanjutkan setelah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN)? Ini adalah salah satu pertanyaan yang masih kerap diajukan kalangan civitas akademika UIN Alauddin. Saya sendiri menunjuk kepada peran dan kontribusi IAIN sebagai lokomotif dan locus pengembangan tradisi intelektual Islam di Indonesia. Peran itu bahkan bisa dimainkan secara lebih optimal lagi karena ranah kajian keilmuan UIN akan lebih luas, mencakup ilmu-ilmu agama dan umum sekaligus.
IAIN dipandang telah memberi kontribusi penting bagi pengembangan tradisi intelektual Islam di Indonesia. Sulit membayangkan wajah Islam
Secara internal, pengaruh ini terutama diawali oleh perubahan pendekatan studi-studi Islam di IAIN yang awalnya bersifat normatif, tertutup dan sektarian menjadi historis, kritis dan terbuka berkat jasa Prof. Harun Nasution (1919-1998) yang meletakkan dasar-dasar logika pemahaman pemikiran keislaman dalam struktur kelembangaan IAIN. Selaku rektor dan direktur program pascasarjana IAIN Jakarta hingga wafatnya, Harun berupaya mengintroduksi pemikiran teologi rasional dan merekonstruksi kurikulum dan metodologi studi-studi Islam di IAIN. Lewat kuliah-kuliah dan buku-bukunya, yang cukup lama jadi referensi utama studi Islam di IAIN, Harun memperkenalkan pendekatan yang lebih terpadu dan komprehensif dalam kajian-kajian Islam di IAIN.
Upaya Harun kemudian dikembangkan A. Mukti Ali (1923-2004) dengan memperkenalkan kajian perbandingan agama. Sementara Nurcholish Madjid (1939-2005) dan Munawir Sjadzali (1925-2004) dipandang mempunyai andil dalam mengembangkan kajian Islam di IAIN lewat gagasan-gagasan pembaharuan Islam mereka di tahun 1970 dan 1980-an.
Dinamika kajian Islam di IAIN juga dipengaruhi faktor eksternal dan itu berkaitan dengan dampak “pembangunan” Orde Baru. Proyek pembangunan atau modernisasi Orde Baru sangat berpengaruh terhadap segala aspek kehidupan masyarakat
Menurut Fachry Ali (2000: 383), di antara berbagai produk dan jasa yang sangat diuntungkan oleh tumbuhnya kelas menengah ekonomi produk Orde Baru adalah bisnis di bidang media
Peningkatan kondisi sosial-ekonomi tersebut mengubah secara signifikan ruang gerak civitas akademika IAIN ke dalam dua arah, walaupun tidak dramatis. Pertama, kesempatan bagi alumni IAIN untuk meretas geneaologi pendidikan keagamaan bagi anak-anak mereka semakin besar. Kedua, dan lebih penting lagi, perkembangan ekonomi dan kemunculan new middle-class tersebut melecut terciptanya pasar-pasar “kaget” bagi produk-produk intelektual-keagamaan. Ini pada gilirannya memberi lahan subur bagi tumbuhnya kalangan profesional keislaman yang berasal dari IAIN.
Karena kebutuhan primernya telah terpenuhi, lapisan kelas menengah baru ini semakin memerlukan pandangan dan penyajian keagamaan yang relevan dan kompatible dengan status kelas menengahnya. Dari sinilah terlihat terciptanya "pasar keagamaan" baru mengiringi perkembangbiakan kelas di atas. Fenomena ini lalu memantik munculnya kaum "profesionalisme" keislaman sebagai respons terhadap perkembangan di atas, di mana alumni IAIN memainkan peranan tertentu. Di bawah pengaruh Nurcholish Madjid dan Harun Nasution dan setelah mempelajari Islam dalam konteks yang lebih akademis, para alumni IAIN lebih mampu mengemas dan "menjajakan" pengetahuan keislaman dalam konteks yang relevan dengan kebutuhan kelas menengah.
Jika diandaikan sebagai "komoditas" intelektual dan budaya, maka yang telah dan sedang terjadi di dalam masyarakat Islam
Perkembangan pemikiran keagamaan tokoh-tokoh yang memiliki kualifikasi dan akselerasi intelektual yang dibutuhkan kelas menengah santri
Meluasnya peran IAIN dalam penyemaian tradisi intelektual Islam juga dipicu gejala “penyimpangan” orientasi dan kiprah alumninya sendiri dengan “melebarkan” ruang lingkup bidang aktivitas dan pengabdian mereka. Dalam konteks ini, orientasi akademik mereka taklagi terbatas pada upaya mendalami ilmu-ilmu agama Islam agar kelak berkiprah dalam profesi-profesi yang menjadi niatan awal pendirian IAIN (guru/hakim agama, pegawai depag, mubalig, imam masjid, dsb). Faktanya, sambil tetap menjadikan studi-studi keislaman sebagai bidang spesialisasi mereka, semangat dan minat intelektual para pemikir muda IAIN semakin besar, luas dan beragam. Tanpa canggung, mereka memantik wacana keilmuan dalam tema dan lingkup yang lebih luas dan canggih, seperti HAM, civil society, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan gender, good governance, pluralisme, multikulturalisme dan krisis ekologi. Tak heran, belakangan bidang profesi yang digeluti banyak alumni IAIN lebih meluas dan beragam seperti dunia pers, politik, LSM, bisnis, militer, dll. Selain itu, gagasan intelektual yang mereka usung juga lebih mudah diketahui masyarakat berkat kemampuan mereka mengartikulasikan pemikiran mereka lewat tulisan di media cetak nasional.
Fenomena terakhir menunjukkan, perkembangan dinamis wacana intelektual Islam di kalangan IAIN ternyata tidak berakhir pada keempat figur berpengaruh di atas. Aktivitas intelektual mereka dilanjutkan oleh beberapa generasi sesudahnya. Dengan mengembangkan pendekatan kritis terhadap khazanah intelektual Islam klasik sembari tetap apresiatif terhadap perkembangan kajian-kajian Islam mutakhir, alumni IAIN mampu memformulasikan doktrin-doktrin Islam ke dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer. Bahkan lontaran wacana intelektual mereka semakin jauh, maju dan canggih, mengimbangi eskalasi dinamika sosial, politik, budaya dan keagamaan Indonesia kontemporer. Semoga UIN akan terus melanjutkan peran ini demi wajah Islam Indonesia yang lebih ramah dan murah hati di masa depan.
Comments