IAIN, UIN dan Tradisi Intelektual Islam di Indonesia

Apakah peran penting dan unik IAIN yang harus dilanjutkan setelah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN)? Ini adalah salah satu pertanyaan yang masih kerap diajukan kalangan civitas akademika UIN Alauddin. Saya sendiri menunjuk kepada peran dan kontribusi IAIN sebagai lokomotif dan locus pengembangan tradisi intelektual Islam di Indonesia. Peran itu bahkan bisa dimainkan secara lebih optimal lagi karena ranah kajian keilmuan UIN akan lebih luas, mencakup ilmu-ilmu agama dan umum sekaligus.

IAIN dipandang telah memberi kontribusi penting bagi pengembangan tradisi intelektual Islam di Indonesia. Sulit membayangkan wajah Islam Indonesia hari ini tanpa kehadiran IAIN di awal 1960-an. Pemikiran dan praktek Islam di Indonesia mungkin akan tetap dicoraki aliran-aliran fiqih, teologi dan tasawuf klasik yang dikenal sejak awal datangnya Islam ke nusantara. Pada dekade awal berdirinya, studi Islam di IAIN memang masih sangat kental orientasi dakwahnya. Akibatnya, pendekatannya pun cenderung tertutup, dogmatis dan sektarian. Tapi, sejak paruh kedua dekade 1970-an, terjadi perkembangan internal dan eksternal yang sangat memengaruhi kinerja dan kiprah civitas akademika IAIN.

Secara internal, pengaruh ini terutama diawali oleh perubahan pendekatan studi-studi Islam di IAIN yang awalnya bersifat normatif, tertutup dan sektarian menjadi historis, kritis dan terbuka berkat jasa Prof. Harun Nasution (1919-1998) yang meletakkan dasar-dasar logika pemahaman pemikiran keislaman dalam struktur kelembangaan IAIN. Selaku rektor dan direktur program pascasarjana IAIN Jakarta hingga wafatnya, Harun berupaya mengintroduksi pemikiran teologi rasional dan merekonstruksi kurikulum dan metodologi studi-studi Islam di IAIN. Lewat kuliah-kuliah dan buku-bukunya, yang cukup lama jadi referensi utama studi Islam di IAIN, Harun memperkenalkan pendekatan yang lebih terpadu dan komprehensif dalam kajian-kajian Islam di IAIN.

Upaya Harun kemudian dikembangkan A. Mukti Ali (1923-2004) dengan memperkenalkan kajian perbandingan agama. Sementara Nurcholish Madjid (1939-2005) dan Munawir Sjadzali (1925-2004) dipandang mempunyai andil dalam mengembangkan kajian Islam di IAIN lewat gagasan-gagasan pembaharuan Islam mereka di tahun 1970 dan 1980-an.

Dinamika kajian Islam di IAIN juga dipengaruhi faktor eksternal dan itu berkaitan dengan dampak “pembangunan” Orde Baru. Proyek pembangunan atau modernisasi Orde Baru sangat berpengaruh terhadap segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Dari segi ekonomi, pembangunan tersebut menaikkan daya beli masyarakat yang menyuburkan lahan bagi tumbuhnya kelas menengah ekonomi kota dalam jumlah yang jauh lebih besar dan luas sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Mayoritas kelas menengah terpelajar baru yang lahir lewat proses intelektualisasi massif ini berasal dari kalangan santri. Tumbuhnya kelas menengah dan peningkatan daya beli masyarakat ini kemudian memperbesar dan meluaskan pasar bagi beragam produk dan jasa yang dihasilkan produsen.

Menurut Fachry Ali (2000: 383), di antara berbagai produk dan jasa yang sangat diuntungkan oleh tumbuhnya kelas menengah ekonomi produk Orde Baru adalah bisnis di bidang media massa dan penerbitan. Berkat stabilitas politik, pemekaran kelas menengah dan meningkatnya daya beli, kelompok ini mampu membiayai selera kelas menengah mereka yang taklagi sekedar berkaitan dengan kebutuhan primer. Kondisi ekonomi semacam ini memberikan struktur kokoh bagi munculnya sejumlah penerbitan utama, seperti kelompok Gramedia, Sinar Harapan, Jakarta Post, Grafiti dan Mizan. Fenomena ini berkorelasi kuat dengan munculnya saluran artikulasi baru civitas akademika IAIN di luar jalur konvensionalnya.

Peningkatan kondisi sosial-ekonomi tersebut mengubah secara signifikan ruang gerak civitas akademika IAIN ke dalam dua arah, walaupun tidak dramatis. Pertama, kesempatan bagi alumni IAIN untuk meretas geneaologi pendidikan keagamaan bagi anak-anak mereka semakin besar. Kedua, dan lebih penting lagi, perkembangan ekonomi dan kemunculan new middle-class tersebut melecut terciptanya pasar-pasar “kaget” bagi produk-produk intelektual-keagamaan. Ini pada gilirannya memberi lahan subur bagi tumbuhnya kalangan profesional keislaman yang berasal dari IAIN.

Karena kebutuhan primernya telah terpenuhi, lapisan kelas menengah baru ini semakin memerlukan pandangan dan penyajian keagamaan yang relevan dan kompatible dengan status kelas menengahnya. Dari sinilah terlihat terciptanya "pasar keagamaan" baru mengiringi perkembangbiakan kelas di atas. Fenomena ini lalu memantik munculnya kaum "profesionalisme" keislaman sebagai respons terhadap perkembangan di atas, di mana alumni IAIN memainkan peranan tertentu. Di bawah pengaruh Nurcholish Madjid dan Harun Nasution dan setelah mempelajari Islam dalam konteks yang lebih akademis, para alumni IAIN lebih mampu mengemas dan "menjajakan" pengetahuan keislaman dalam konteks yang relevan dengan kebutuhan kelas menengah.

Jika diandaikan sebagai "komoditas" intelektual dan budaya, maka yang telah dan sedang terjadi di dalam masyarakat Islam Indonesia seiring bangkitnya kelas menengah santri adalah sebuah gejala atau proses memaketkan pengetahuan dan ritual keagamaan. Fenomena ini menjadi bagian integral dari perkembangan pesat struktur pasar bagi produk mass-culture di masa kini. Yayasan Waqaf Paramadina yang didirikan alm Nurcholish Madjid mungkin merupakan contoh terbaik dari fenomena ini. Seperti sebuah "'pabrik", beragam rancangan paket-paket "manufaktur" keislaman tertentu seperti filsafat, hukum‑hukum agama, teologi, tasawuf dan beragam persoalan sosial-politik-budaya yang berkaitan langsung dengan keislaman diolah dan diproduksi yayasan ini sesuai selera dan kebutuhan kelas menengah kota.

Perkembangan pemikiran keagamaan tokoh-tokoh yang memiliki kualifikasi dan akselerasi intelektual yang dibutuhkan kelas menengah santri kota dan kelompok Muslim urban lainnya ini jelas masih menunjukkan akar dan basis ideologisnya di IAIN. Kontinuitas eksistensi dan peran kaum “profesionalisme agama” dari IAIN ini memang, sebagian besarnya, relatif tergantung pada kemampuan mereka menjaga stamina dan kreativitas dalam mereproduksi "komoditas" yang “diperdagangkan" sembari tetap menjaga agar komoditas tersebut selalu marketable dan kompatibel dengan selera dan kebutuhan kelas menengah santri.

Meluasnya peran IAIN dalam penyemaian tradisi intelektual Islam juga dipicu gejala “penyimpangan” orientasi dan kiprah alumninya sendiri dengan “melebarkan” ruang lingkup bidang aktivitas dan pengabdian mereka. Dalam konteks ini, orientasi akademik mereka taklagi terbatas pada upaya mendalami ilmu-ilmu agama Islam agar kelak berkiprah dalam profesi-profesi yang menjadi niatan awal pendirian IAIN (guru/hakim agama, pegawai depag, mubalig, imam masjid, dsb). Faktanya, sambil tetap menjadikan studi-studi keislaman sebagai bidang spesialisasi mereka, semangat dan minat intelektual para pemikir muda IAIN semakin besar, luas dan beragam. Tanpa canggung, mereka memantik wacana keilmuan dalam tema dan lingkup yang lebih luas dan canggih, seperti HAM, civil society, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan gender, good governance, pluralisme, multikulturalisme dan krisis ekologi. Tak heran, belakangan bidang profesi yang digeluti banyak alumni IAIN lebih meluas dan beragam seperti dunia pers, politik, LSM, bisnis, militer, dll. Selain itu, gagasan intelektual yang mereka usung juga lebih mudah diketahui masyarakat berkat kemampuan mereka mengartikulasikan pemikiran mereka lewat tulisan di media cetak nasional.

Fenomena terakhir menunjukkan, perkembangan dinamis wacana intelektual Islam di kalangan IAIN ternyata tidak berakhir pada keempat figur berpengaruh di atas. Aktivitas intelektual mereka dilanjutkan oleh beberapa generasi sesudahnya. Dengan mengembangkan pendekatan kritis terhadap khazanah intelektual Islam klasik sembari tetap apresiatif terhadap perkembangan kajian-kajian Islam mutakhir, alumni IAIN mampu memformulasikan doktrin-doktrin Islam ke dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer. Bahkan lontaran wacana intelektual mereka semakin jauh, maju dan canggih, mengimbangi eskalasi dinamika sosial, politik, budaya dan keagamaan Indonesia kontemporer. Semoga UIN akan terus melanjutkan peran ini demi wajah Islam Indonesia yang lebih ramah dan murah hati di masa depan.

Comments

Popular posts from this blog

Arung, Topanrita dan Relasi Kuasa di Sulsel

Memperebutkan Makna Islam

Obama dan Kita Menjelang Pesta Demokrasi 09