Keberagamaan yang Kekanak-kanakan


Dalam salah satu mailing list di internet, seorang teman mempertanyakan relevansi agama bagi kalangan ilmuan. Dia mengurai sejumlah riset ilmiah yang berimplikasi pada kesimpulan, semakin pintar seseorang, semakin ragu dia terhadap perlunya agama dalam kehidupan. Dia bertanya, “Apakah Tuhan dan agama memang hanya konsumsi orang bodoh?” Sehingga, “Semakin bodoh (dan lemah dan miskin) seseorang atau suatu kelompok, semakin percaya mereka pada Tuhan dan resep-resep agama?” Dalam diskusi itu, saya menawarkan sebuah jawaban panjang yang ringkasannya berikut ini.

Jika kebodohan identik dengan kekanak-kanakan, maka jawaban atas pertanyaan di atas adalah afirmatif. Mengapa? Bagi banyak filosof, agama terutama diperlukan oleh seseorang yang masih berada pada fase “kanak-kanak.” Pada tahap ini, secara potensial dan aktual, akal manusia belum sepenuhnya berkembang untuk melakukan refleksi intelektual yang mandiri guna menjawab problem hidup mereka. Sejumlah filosof dan teolog Muslim rasional seperti Mu'tazilah, juga menganut pandangan serupa.

Karena pengetahuannya tentang baik-buruk masih sebatas pengalaman empiris yang konkret dan spontan, seorang bocah memerlukan bimbingan orang dewasa untuk menjalani hidupnya dengan selamat. Dia harus diberitahu, misalnya, bahaya bermain-main dengan api, benda tajam, zat beracun, binatang berbahaya, dan tindakan lain yang dapat membahayakan diri mereka tanpa disadari. Selain itu, anak-anak juga baru mau mematuhi sebuah perintah jika dia dijanjikan sebuah imbalan dan menjauhi sebuah larangan jika diancam hukuman.

Dalam agama dikenal ajaran tentang surga dan neraka, selain doktrin tentang halal dan haram, dst. Surga dijanjikan sebagai imbalan bagi mereka yang mematuhi petunjuk agama, sebaliknya, neraka tempat menyiksa para pembangkang. Ini persis seperti menjanjikan hadiah permen coklat pada seorang bocah kecil yang tak mau disuruh, atau ancaman hukuman cubitan jika tak mau menjauhi larangan.

Banyak orang yang terus mengidap mental kanak-kanak seperti ini, bahkan sekalipun mereka telah beranjak tua. Pengendara motor mengenakan helm standar atau pengendara mobil yang memasang sabuk pengaman hanya karena takut kena tilang, misalnya. Maka saat berkendara di atas jalanan yang sepi polisi, aturan mengenakan helm atau sabuk pengaman pun diabaikan. Padahal, jika mau berpikir sejenak, si pengendara harusnya segera tahu, helm melindungi kepalanya dari sengatan panas mentari, terpaan debu, dan cedera jika terjatuh; sabuk pengaman akan melindunginya dari kecelakaan yang lebih parah jika terjadi tabrakan.

Mungkin hampir semua agama mengandung doktrin yang kekanak-kanakan. Namun, setiap agama yang utuh dan otentik, juga memiliki doktrin penting untuk mereka yang sudah mencapai tahap kedewasaan. Artinya, setiap agama sejatinya memiliki berbagai tingkatan doktrin dan lapisan penjelasan yang sesuai dengan manusia dalam berbagai tataran potensi fisikal, rasional, dan spiritualnya.

Dalam Islam, misalnya, dikenal berbagai maqam dan kondisi menuju Tuhan guna memenuhi kebutuhan para pencari Tuhan dengan kadar potensi mental, intelektual dan spiritual yang berbeda-beda. Literatur keagamaan menunjukkan adanya sejumlah trilogi jalan berikut: islam-iman-ihsan, syariah-aqidah-akhlaq, jihad-ijtihad-mujahadah, dan syariat-tarikat-hakikat.

Sayangnya, kaum Muslim tampaknya lebih banyak mengenal dan terus mengamalkan dimensi doktrin Islam yang kekanak-kanakan: surga-neraka, halal-haram, dosa-pahala, balasan-hukuman, dsb. Akibatnya, hampir semua aktivitas keberagamaan seorang Muslim diorientasikan pada tujuan-tujuan eksternal ketimbang mencoba merasakan manfaat personalnya secara nyata. Ibadah individual seperti zikir, salat, dan puasa, dilakukan dengan tujuan mencari muka di hadapan Tuhan supaya Dia berkenan memasukkannya ke surga. Bukankah Dia pemilik dan pengendali surga dan neraka, pemberi pahala dan penebus dosa, penegas halal dan haram? Dan jika mereka melakukan ibadah sosial, itu hanya untuk mendapatkan apresiasi dan selebrasi sosial (riya).

Sikap keberagamaan seperti ini tentu sangat berbahaya. Ketika seorang lebih merasakan transendesi Tuhan ketimbang imanensi-Nya, dia akan lepas kendali melakukan perbuatan yang merusak luar biasa. Persis prilaku seorang pengendara bermotor yang ugal-ugalan di atas jalan raya yang dia yakini bebas pengawasan polisi. Padahal, aturan berlalu lintas dibuat justru untuk menciptakan keteraturan dan keselamatan berlalu lintas, bukan untuk melayani kepentingan polisi. Sama halnya, agama diciptakan bukan untuk melayani kepentingan Tuhan, tapi kemaslahatan hidup manusia.

Lantas, mengapa masih banyak kaum Muslim yang menunjukkan sikap dan prilaku kekanak-kanakan dalam beragama? Jika filosof Jerman, Karl Marx (w.1883), pernang menyatakan, “agama adalah candu masyarakat”, saya ingin mengatakan “agama adalah sejenis kemanjaan.” Kita terlalu dimanjakan oleh agama sementara potensi akal kita kurang teraktualkan. Alih-alih dilatih berpikir rasional, sejak balita kita lebih banyak diajar percaya dan takut pada hantu, klenik, tabu, pemmali, dan sejenisnya tanpa penjelasan rasional. Potensi berpikir bebas, logis, dan kritis kita pun sejak awal tertumpulkan oleh indoktrinasi bahwa agama adalah solusi terbaik dan terlengkap, sekali dan untuk selamanya. Jika seorang bocah bertanya mengapa dia harus berkata jujur, kita bisa memberi dua jawaban, masing-masing dengan implikasi yang berbeda: karena kejujuran adalah perintah Tuhan atau karena ia merupakan satu resep utama keberhasilan dalam berbisnis.

Tragisnya, resep-resep solusi yang dianggap berasal dari Al-Quran dan Sunnah Nabi, misalnya, seringkali sangat instan, simplistis, jauh dari kenyataan konkret umat Islam, dan susah dicerna akal sehat. Amatilah jargon-jargon klise spanduk dan poster yang biasa dipajang di sudut-sudut kota seperti ini: selamatkan Indonesia dengan syariat Islam, atasi KKN dengan syariat Islam, akar semua persoalan dunia Islam adalah runtuhnya khilafah, khilafah merupakan solusi bagi ketidakadilan global.

Sikap kanak-kanakan dalam beragama juga terkait dengan masalah teologi. Para teolog rasional memberi otoritas lebih besar pada akal untuk memikirkan persoaan kemanusiaan secara mandiri. Sebaliknya, teolog tradisional lebih mengandalkan wahyu sebagai produsen dan satu-satunya kriterium kebenaran. Kecenderungan terhadap salah satu mazhab teologis ini membawa implikasi penting bagi kehidupan masyarakat Muslim. Teologi rasional mendorong seseorang mendayagunakan kemampuan rasionalnya untuk mengatasi persoalan hidupnya secara kreatif. Seperti terlihat dalam masyarakat modern, teologi rasional juga mendorong tegaknya moralitas dan tanggung jawab personal yang kuat. Sebaliknya, teologi tradisional (baca: pro-wahyu) mendorong pengikutnya menganut moralitas "takut polisi" dan budaya memanjakan akal karena selalu minta petunjuk dari “Tuhan.”

Warga dalam masyarakat rasional tidak mau melanggar rambu lalu lintas karena tahu tujuannya untuk menjaga keselamatan diri mereka sendiri. Sementara dalam masyarakat irrasional, alasannya karena itu peraturan lalu lintas yang mengandung sangsi tertentu. Masyarakat irrasional melahirkan warga yang begitu saleh (moralis) secara ritual-individual, tapi bisa tiba-tiba kalap dan immoral saat berada dalam kerumunan sosial. Kenapa? Mereka hanya tahu, Tuhan akan menghukumnya jika melanggar perintah-Nya, tapi tidak mampu menemukan konsekuensi duniawi akibat pelanggaran moralitas sosial dan lingkungan yang mereka lakukan terhadap dirinya sendiri di dunia ini.

Seorang yang beragama secara kanak-kanakan akan mengidap banyak sekali penyakit kejiwaan. Dia kehilangan identitas, gairah dan kemandirian dalam memikirkan masalah-masalah hidupnya sendiri. Sulit memahami dan merasakan manfaat praktis dan konkret ritus-ritus agama yang dia jalani. Beragama terasa sebagai belenggu karena diliputi rasa bersalah dan berutang pada Tuhan. Baginya, kegagalan meraih prestasi duniawi bukan soal besar sebab yakin akan bahagia di akhirat setelah memeluk “agama” Tuhan. Mental eskapisme ukhrawi karena gagal secara duniawi pun tumbuh subur. Tak ada lagi semangat membela hak-hak duniawinya yang terampas. Tokh Tuhan yang akan menebus dan membalaskan perlakuan jahat itu di akhirat. Lebih tragis lagi, muncul kemalasan luar biasa dalam memikirkan solusi bagi persoalan dunia karena memandang semua jawaban (termasuk masalah-masalah sains dan teknologi) telah disediakan oleh Tuhan secara final, detail, dan total.

Walhasil, walau tidak selalu terbukti benar, semakin dewasa seseorang tampaknya semakin tidak perlu lagi bermanja-manja dengan agama. Di sini, kedewasaan adalah kemampuan mendayagunakan potensi rasional secara mandiri untuk menyelesaikan masalah-masalah kehidupan. Sementara agama dimaknai di sini secara sempit sebagai sekadar sekumpulan doktrin tentang surga-neraka, halal-haram, dan dosa-pahala. Seorang yang telah cukup berumur tapi sikap dan prilaku keberagamaannya masih sebatas mengakumulasi pahala demi surga dan mengelak neraka, sesungguhnya masih termasuk kekanak-kanakan dalam beragama.

Islam tentu saja memiliki berbagai tingkatan dan lapisan doktrin yang sesuai dengan semua tahap perkembangan kemanusiaan. Karena itu, kaum Muslim takperlu khawatir agama mereka akan termasuk yang bakal ditinggalkan oleh orang-orang yang sudah mencapai tingkat kedewasaan dan kecerdasan yang lebih tinggi. Mereka hanya perlu melecut diri supaya segera beringsut dari sikap kekanak-kanakan dan semakin dewasa dalam beragama.

(*pernah dimuat di ruang opini Harian Fajar pada September 2008)

Comments

s4ngpenghibur said…
ustadz, mungkin lebih bagus lagi kalo blognya ditambahkan menu shared ke forum2 komuniti2 maya spt facebook dll.
thenks tulisannya, bacaan yg cukup menarik untuk direnungkan.
s4ngpenghibur said…
ustadz, mungkin lebih bagus lagi kalo blognya ditambahkan menu shared ke forum2 komuniti2 maya spt facebook dll.
thenks tulisannya, bacaan yg cukup menarik untuk direnungkan.

Popular posts from this blog

Arung, Topanrita dan Relasi Kuasa di Sulsel

Memperebutkan Makna Islam

Obama dan Kita Menjelang Pesta Demokrasi 09