Makassar Gemar Membaca atau Berbelanja?

Tulisan M. Aan Mansyur bertajuk “Apa Kabar Makassar Membaca” di koran ini (Tribun 16/1) bisa memantik perbincangan lebih serius tentang Gerakan Makassar Gemar Membaca (GMGM). Saya setuju dengan sebagian besar tanggapan, kritikan dan saran Aan atas program yang dicanangkan Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar awal Juni 2005 lalu itu. Lepas dari reliability hasil survei yang dikemukakannya, temuannya itu tetap berguna dalam menganalisis masalah ini lebih jauh. Tulisan ini sekedar ikut menyemarakkan diskusi tentang GMGM, sebuah program penting yang sayangnya tak pernah jadi “berita besar” di kota ini.

Karena pentingnya kegemaran membaca bagi kemajuan sebuah bangsa, program semacam GMGM memang sudah sangat “telat” dimulai, seperti ditulis Aan. Bukan hanya di Makassar, di hampir seluruh pelosok negeri ini, minat baca masyarakat sudah lama tertindih oleh kegemaran lain yang kontraproduktif bagi kemajuan sebuah bangsa. Sebelum gemar membaca, masyarakat sudah terlanjur gemar nonton TV, ngerumpi, berbelanja dan mejeng di mal, dan belakangan ini, pamer dan gonta-ganti HP atau ber-sms ria, dsb. Payahnya lagi, lembaga pendidikan kita yang lebih berorientasi pragmatis, teknikal, komersial, bahkan kapitalistis, susah diharap melejitkan minat baca. Kurikulum pendidikan kita sejauh ini cenderung “mengajari“ atau menyibukkan siswa (dan mahasiswa) lebih banyak membaca textbook. Orientasi belajar para siswa di sekolah kini lebih berat pada sekedar mempersiapkan diri menghadapi UAS/UAN. Tidak heran, lembaga-lembaga bimbingan belajar instan menjamur di mana-mana dan panen besar menjelang penggantian tahuan ajaran baru.

GMGM tampaknya memang belum diiringi program-program yang benar-benar relevan, efektif dan strategis. Bahkan Pemkot agaknya lebih mementingkan proyek yang tidak kondusif bagi peningkatan minat baca. Lihatlah, ketimbang membuat taman-taman baca dan perpustakaan kota, Pemkot justru memicu pertumbuhan ruko dan mal-mal besar. Kini warga Makassar jauh lebih mudah menyebut nama puluhan pusat perbelanjaan baru daripada belasan perpustakaan di Makassar saat ini. Dari yang bernama Supermarket, Hypermarket, Superstore, Toserba, Paserba hingga yang berakhiran Mall, Trade Center, Square, Plaza, dst. Ini tentu saja lebih merangsang adrenalin kegemaran berbelanja ketimbang minat baca masyarakat.

Pemkot tampaknya juga masih memandang program pengembangan olah raga, seni dan hiburan jauh lebih penting daripada pengembangan minat baca. Ingatlah bagaimana antusiasnya dulu Walikota Makassar mendukung duta-duta Makassar dalam kontes musik yang sedang menjamur di televisi Indonesia, seperti Indonesian Idol, AFI, KDI, Kondangin, dll. Juga dukungannya atas penyelenggaraan kontes-kontes mode seperti Putri Sulsel, Miss Sulsel, Dara dan Daeng dsb.

Penyemaian kegemaran membaca adalah masalah yang memang sangat kompleks. Dengan sekedar program instan, sederhana dan berjangka pendek untuk itu niscaya takkan memadai. Apalagi jika pencanangannya sekedar dengan gerak jalan santai dan beberapa seminar. Meningkatkan kegemaran membaca perlu pembudayaan secara simultan, konsisten dan berkelanjutan selama beberapa generasi. Sebagai bentuk dukungan saya terhadap GMGM, berikut ini adalah saran-saran praktis kepada semua pihak, termasuk Pemkot Makassar, yang peduli terhadap perlunya meningkatkan minat baca masyarakat.

Pertama-tama, Pemkot harus mendirikan lebih banyak lagi perpustakaan atau taman bacaan di tingkat kelurahan dan kecamatan. Lokasi satu-satunya Perpustakaan Kota Makassar yang ada saat ini sudah tidak strategis lagi. Kualitas dan kuantitas koleksinya juga sangat memprihatinkan. Kota sebesar Makassar seharusnya sudah punya puluhan perpustakaan kota. Sebagai ibukota provinsi, Makassar memang beruntung jadi lokasi Perpustakaan Wilayah Sulsel, perpustakaan kampus-kampus besar dan sejumlah perpustakaan masjid. Tapi mengakses perpustakaan-perpustakaan itu bagi setiap warga kota tidak semudah mengakses perpustakaan kelurahan dan kecamatan. Simpul Madani Sulsel --mitra Pemkot dalam GMGM— menyebut, salah satu programnya adalah pengadaan buku-buku bermutu di setiap tempat yang mudah dijangkau seperti perpustakaan-perpustakaan SD dan SMP, kantor kecamatan dan PKK (Tribun, 4/6/2005). Sayangnya, program ini belum terlaksana sampai sekarang.

Pemkot juga perlu menyediakan lahan untuk pembangunan pasar-pasar khusus perdagangan buku-buku murah seperti halnya Pasar Senen dan kawasan Kwitang di Jakarta, Shopping Center di Yogyakarta dan Pasar Palasari di Bandung. Kini hampir seluruh lokasi strategis di Makassar telah menjadi pusat perbelanjaan sambil menggusur pasar-pasar tradisional di mana toko-toko buku milik masyarakat biasanya dijumpai. Taman dan kawasan hijau kota yang kondusif untuk kegiatan membaca juga perlu diperbanyak. Sinisme bahwa Makassar kini lebih tepat disebut Kota Ruko dan Mal (atau Kota Mallpolitan) mungkin memang tepat. Sebab, ruang publik dan taman-taman kota yang hijau, bersih dan rapi yang mudah diakses warga kini semakin terhimpit oleh pertumbuhan pesat ruko dan mal.

Fungsi dan kegunaan perpustakaan sekolah dan kantor juga perlu diefektifkan. Selama ini, keduanya sekedar sebagai pelengkap bangunan kantor dan sekolah, tanpa pegawai/pustakawan yang tetap. Lebih sering koleksi perpustakaan tersebut jadi pajangan di lemari tertutup. Penyediaan fasilitas perpustakaan keliling bisa juga jadi alternatif bagi kekurangan perpustakaan desa dan kecamatan.

Lomba-lomba baca, tulis dan resensi buku dengan hadiah yang sama menggiurkannya dengan pemenang MTQ atau lomba-lomba mode dan lagu juga perlu dirintis Pemkot. Bazar, pameran dan festival buku sekali setahun di jalan-jalan utama kota Makassar juga sudah saatnya ditradisikan, seperti dijumpai di sejumlah kota besar di Eropah dan Amerika Utara. Jalan A.P. Pettarani, misalnya, akan ditutup sehari penuh dalam setahun untuk bazar itu. Saat itu, setiap warga bisa datang memamerkan, membeli dan menjual buku atau sekedar mengikuti diskusi buku bersama para penulis dan pencinta buku.

Pemkot juga perlu membuat Perda, di setiap pusat perbelanjaan besar harus ada taman, ruang publik atau pojok khusus yang nyaman untuk kegiatan membaca. Juga setiap mal besar diwajibkan menyediakan sejumlah kios khusus bagi penjual buku tradisional dengan sewa yang terjangkau. Poster-poster, baliho dan papan advertensi baca buku di setiap pojok kota seharusnya juga lebih menonjol, indah dan permanen, seperti iklan komersial. Ungkapan-ungkapan dalam poster-poster itu juga mestinya lebih santun, santai tapi serius mengajak warga gemar membaca. Jika mau mencontoh pemerintah di kota-kota besar dunia, Pemkot perlu mendanai penerbitan koran-koran ringan dan gratis yang khusus memuat berita tentang Makassar dan aktivitas warganya yang didistribusikan lewat toko-toko, mal-mal, kantor-kantor pemerintah dan vendor machine di persimpangan jalan utama kota. Koran-koran lokal juga mestinya menyediakan kolom khusus resensi/tinjauan buku agar berita buku juga jadi santapan rutin pembacanya. Perda lebih tegas tentang larangan merokok dan menimbulkan kebisingan di ruang-ruang publik seperti halte bis, stasiun, pelabuhan, bandara, kendaraan umum dan kantor-kantor pemerintah agar kondusif dan nyaman sebagai tempat membaca, juga perlu diterbitkan.

Terakhir, para pengusaha, pejabat atau mantan pejabat yang kaya raya dan ingin melestarikan nama dalam sejarah sebaiknya mencontoh Ronald Reagan, mantan presiden Amerika Serikat. Ketimbang buat monumen atau museum, Reagan mendirikan sebuah perpustakaan besar di kota kelahirannya di California. Walikota Makassar juga perlu mengikuti langkah rektor Unhas, Prof. Radi A. Gani. Ketika jadi Bupati Wajo beliau mendirikan sebuah perpustakaan di pusat kota Sengkang. Juga Prof. M. Ryaas Rasyid, yang mendirikan perpustakaan besar Abdul Rasyid Daeng Lurang di Sungguminasa. Para pejabat di Sulsel juga mestinya merasa malu pada Wapres M. Jusuf Kalla yang mendirikan perpustakaan Al-Markaz Al-Islami yang selalu beliau besuk setiap kali berkunjung ke Al-Markaz. Saya percaya, pahala mendirikan perpustakaan jauh lebih besar ketimbang mendirikan masjid, apalagi membangun patung, monumen atau museum.

Comments

saya sangat senang dengan perpustakaan. dan berharap suatu hari nanti aku akan membangun sebuah perpustaan besar seperti di tawau, malaysia. terletak dipinggir pantai dengan lab bahasa. tentunya nantinya semua biaya perputakaan dari donatur dan pengunjung. wah pasti seru ya. mudah-mudahan Allah mengabulkan impian saya ini ya

Popular posts from this blog

Arung, Topanrita dan Relasi Kuasa di Sulsel

Memperebutkan Makna Islam

Obama dan Kita Menjelang Pesta Demokrasi 09