Makassar Gemar Membaca atau Berbelanja?
Karena pentingnya kegemaran membaca bagi kemajuan sebuah bangsa, program semacam GMGM memang sudah sangat “telat” dimulai, seperti ditulis Aan. Bukan hanya di
GMGM tampaknya memang belum diiringi program-program yang benar-benar relevan, efektif dan strategis. Bahkan Pemkot agaknya lebih mementingkan proyek yang tidak kondusif bagi peningkatan minat baca. Lihatlah, ketimbang membuat taman-taman baca dan perpustakaan
Pemkot tampaknya juga masih memandang program pengembangan olah raga, seni dan hiburan jauh lebih penting daripada pengembangan minat baca. Ingatlah bagaimana antusiasnya dulu Walikota Makassar mendukung duta-duta Makassar dalam kontes musik yang sedang menjamur di televisi Indonesia, seperti Indonesian Idol, AFI, KDI, Kondangin, dll. Juga dukungannya atas penyelenggaraan kontes-kontes mode seperti Putri Sulsel, Miss Sulsel, Dara dan Daeng dsb.
Penyemaian kegemaran membaca adalah masalah yang memang sangat kompleks. Dengan sekedar program instan, sederhana dan berjangka pendek untuk itu niscaya takkan memadai. Apalagi jika pencanangannya sekedar dengan gerak jalan santai dan beberapa seminar. Meningkatkan kegemaran membaca perlu pembudayaan secara simultan, konsisten dan berkelanjutan selama beberapa generasi. Sebagai bentuk dukungan saya terhadap GMGM, berikut ini adalah saran-saran praktis kepada semua pihak, termasuk Pemkot Makassar, yang peduli terhadap perlunya meningkatkan minat baca masyarakat.
Pertama-tama, Pemkot harus mendirikan lebih banyak lagi perpustakaan atau taman bacaan di tingkat kelurahan dan kecamatan. Lokasi satu-satunya Perpustakaan Kota Makassar yang ada saat ini sudah tidak strategis lagi. Kualitas dan kuantitas koleksinya juga sangat memprihatinkan.
Pemkot juga perlu menyediakan lahan untuk pembangunan pasar-pasar khusus perdagangan buku-buku murah seperti halnya Pasar Senen dan kawasan Kwitang di Jakarta, Shopping Center di Yogyakarta dan Pasar Palasari di Bandung. Kini hampir seluruh lokasi strategis di
Fungsi dan kegunaan perpustakaan sekolah dan kantor juga perlu diefektifkan. Selama ini, keduanya sekedar sebagai pelengkap bangunan kantor dan sekolah, tanpa pegawai/pustakawan yang tetap. Lebih sering koleksi perpustakaan tersebut jadi pajangan di lemari tertutup. Penyediaan fasilitas perpustakaan keliling bisa juga jadi alternatif bagi kekurangan perpustakaan desa dan kecamatan.
Lomba-lomba baca, tulis dan resensi buku dengan hadiah yang sama menggiurkannya dengan pemenang MTQ atau lomba-lomba mode dan lagu juga perlu dirintis Pemkot. Bazar, pameran dan festival buku sekali setahun di jalan-jalan utama kota Makassar juga sudah saatnya ditradisikan, seperti dijumpai di sejumlah kota besar di Eropah dan Amerika Utara. Jalan A.P. Pettarani, misalnya, akan ditutup sehari penuh dalam setahun untuk bazar itu. Saat itu, setiap warga bisa datang memamerkan, membeli dan menjual buku atau sekedar mengikuti diskusi buku bersama para penulis dan pencinta buku.
Pemkot juga perlu membuat Perda, di setiap pusat perbelanjaan besar harus ada taman, ruang publik atau pojok khusus yang nyaman untuk kegiatan membaca. Juga setiap mal besar diwajibkan menyediakan sejumlah kios khusus bagi penjual buku tradisional dengan sewa yang terjangkau. Poster-poster, baliho dan papan advertensi baca buku di setiap pojok kota seharusnya juga lebih menonjol, indah dan permanen, seperti iklan komersial. Ungkapan-ungkapan dalam poster-poster itu juga mestinya lebih santun, santai tapi serius mengajak warga gemar membaca. Jika mau mencontoh pemerintah di kota-kota besar dunia, Pemkot perlu mendanai penerbitan koran-koran ringan dan gratis yang khusus memuat berita tentang Makassar dan aktivitas warganya yang didistribusikan lewat toko-toko, mal-mal, kantor-kantor pemerintah dan vendor machine di persimpangan jalan utama kota. Koran-koran lokal juga mestinya menyediakan kolom khusus resensi/tinjauan buku agar berita buku juga jadi santapan rutin pembacanya. Perda lebih tegas tentang larangan merokok dan menimbulkan kebisingan di ruang-ruang publik seperti halte bis, stasiun, pelabuhan, bandara, kendaraan umum dan kantor-kantor pemerintah agar kondusif dan nyaman sebagai tempat membaca, juga perlu diterbitkan.
Terakhir, para pengusaha, pejabat atau mantan pejabat yang kaya raya dan ingin melestarikan nama dalam sejarah sebaiknya mencontoh Ronald Reagan, mantan presiden Amerika Serikat. Ketimbang buat monumen atau museum, Reagan mendirikan sebuah perpustakaan besar di
Comments