Belajar dari Jim Moody

James Powers Moody, akrab dipanggil Jim, adalah anggota partai Demokrat yang mewakili Negara Bagian Wisconsin di House of Representative (DPR) Amerika Serikat selama 10 tahun (1983-1993). Jika senator (DPD) dipilih setiap 6 tahun sekali, anggota House of Representative (DPR) dipilih setiap 2 tahun. Sebelumnya, Jim adalah legislator di Negara Bagian Wisconsin (1979-1982), semacam anggota DPRD provinsi di Indonesia.

Di Musim Panas 2004 yang gerah di sebuah aula kecil di Kampus Tenley, American University yang terletak di jantung kota Washington DC, saya berkesempatan mendengar dan menerjemahkan ceramah panjang Jim Moody tentang pengalamannya menjadi anggota DPR. Audiensnya, 40 pelajar SLTA dari Indonesia peserta “Youth Leadership Program” ke Amerika Serikat. Organiser program tersebut adalah sebuah LSM di Richmond, VA., tempat saya bekerja partimer sebagai interpreter selama liburan semester semasa kuliah di Universitas Temple, Philadelphia. Yang paling menarik dari cerita Jim adalah upaya panjang dia memperoleh dukungan warga menjadi legislator provinsi, kemudian anggota DPR pusat.

Awalnya, demikian Jim mengawali kisahnya, teman-teman dekatnya pun takyakin Jim bisa mewujudkan rencananya menjadi legislator. Dibanding para calon saingannya, termasuk legislator incumbent, ketika itu mantan dosen ekonomi Universitas Winsconsin-Milwaukee ini memang belum memiliki cukup dana dan pengaruh politik. Tapi Jim bersikukuh mencalonkan diri. Maka dua tahun sebelum pemilu legislatif, dia mulai mensosialisasikan diri secara “tidak konvensional.”

Pertama-tama, dia hanya berupaya mengenal para tetangga terdekatnya dengan mengetuk pintu rumah-rumah mereka (door-to-door). Dalam setiap kunjungan tersebut, dia belum menyatakan niatnya sejatinya ikut pemilu DPRD dua tahun berikutnya, apalagi minta dukungan mereka. Tujuan dan target utamanya, mengenal tetangga terdekat dan memperkenalkan dirinya sebagai sesama warga yang tinggal di satu lingkungan, dan berbicara tentang masalah sehari-hari.

Seperti diketahui, karena kesibukan serta kentalnya watak individualisme dan determinisme warga Amerika, kehidupan bertetangga di sana cenderung renggang dan kurang intensif. Maka bisa dibayangkan betapa beratnya upaya Jim ini. Tapi dia takputus asa. Seperti sales promotion staff yang harus menjajakan produk dari rumah-ke-rumah, Jim terus bergerilya memperluas kawasan dan kalangan yang ditemui. Hari demi hari, daftar rumah warga yang pintunya telah Jim ketuk pun semakin panjang.

Sayangnya, karena telah lebih tiga tahun lewat, saya sudah lupa detail cerita Jim tentang jumlah rumah yang dikunjungi per periode tertentu. Yang pasti, dalam beberapa hari saja, dia sudah mengenal (dan dikenal) seluruh warga di RT/RW-nya. Butuh beberapa minggu untuk menemui seluruh warga di Desa/Kelurahannya. Dan beberapa bulan untuk memastikan seluruh warga di kecamatan (county) setempat telah mengenal minimal nama dan wajahnya. Praktis, dia menghabiskan setahun hanya untuk mengenal secara langsung, dekat dan pribadi calon konstituennya dalam satu district (setingkat kabupaten).

Selain kunjungan door-to-door, Moody juga menghadiri hampir semua pesta dan acara kumpul-kumpul warga. Di Indonesia, mungkin seperti acara syukuran naik rumah baru, sunatan, aqiqah, walimah perkawinan, maulidan, isra’-mi’raj, halal bi halal, natalan, dsb. Tentu saja, kerja bakti sosial seperti membersihkan lingkungan dan pentas-pentas budaya lokal tak pernah luput dihadirinya. Praktis, setahun menjelang pemilu, dia sudah dikenal secara langsung oleh hampir seluruh warga distrik yang mencukupi syarat memiliki satu wakil di DPRD provinsi.

Maka ketika Jim berhasil tepilih dalam pemilu legislatif setahun kemudian, banyak orang, termasuk teman-teman dekatnya sendiri, terkejut dan sulit percaya. Bagaimana mungkin, Jim takpernah mengiklankan diri dan berkampanye besar-besaran lewat ribuan poster dan baliho raksasa di berbagai sudut kota, desa dan jalanan seperti para saingannya yang berkantong tebal. Atau mengiklankan diri lewat jaringan TV lokal bahkan jauh sebelum masa kampanye pemilu dimulai.

Ketika ditanya tentang ini, Jim menyebut dua alasan. Pertama, dia takpunya cukup uang untuk membiayai iklan yang tentu sangat mahal. Kedua, menurutnya, memperkenalkan diri dengan sekadar memajang foto lewat poster, baliho, spanduk dan sejenisnya, juga beriklan di media elektronik, mencerminkan rendahnya penghargaan terhadap calon konsituen. Adalah lebih terhormat dan bermartabat, katanya, menemui dan menyapa mereka secara langsung dan pribadi lebih dahulu ketimbang lewat iklan yang merentangkan berlapis-lapis jarak antara konstituen dan bakal wakil mereka.

Bukankah jauh terasa lebih akrab dan menyentuh jika kita disapa langsung oleh seseorang (face-to-face encounter) daripada sekedar menerima suratnya, apalagi sekadar e-mail, tanya Jim memberi analogi. Memperkenalkan diri secara sepihak lewat poster, baliho, TV dsb, lanjutnya, juga merefleksikan keengganan kita mengenal secara langsung dan utuh karakter, kondisi dan aspirasi warga yang bakal kita wakili. Jika saat kampanye saja enggan bertemu langsung dengan konstituen, apalagi kalau sudah terpilih, sindirnya.

Sekalipun beberapa minggu menjelang pemilu, poster Jim dalam format kecil dan sederhana akhirnya juga terpajang di beberapa sudut desa dan kota, tujuannya pun tak lebih dari memastikan warga yang mau memilihnya bisa mengingat nomor urut dan fotonya sesuai kertas suara resmi dalam pemilu.

Walhasil, di luar dugaan banyak orang, Jim terpilih jadi legislator di DPRD Wisconsin pada 1979. Tiga tahun kemudian, Jim dengan mudah mendapatkan mandat dari konstituen yang sama, plus pemilih dari distrik lainnya di Wisconsin, untuk mewakili mereka di DPR pusat selama lima periode berturut-turut. Bahkan Jim pun masih diminta maju lagi untuk periode keenam, tapi dia memilih pensiun dan kembali ke kampus mengajar ilmu ekonomi hingga sekarang.

Yang mungkin menarik diteladani para politisi kita adalah aktivitas rutin Jim selama 10 tahun menjadi legislator. Dari Senin sampai Jum’at Jim berkantor di Washington DC, didampingi 10 staff yang mengelola tugas-tugas administratifnya. Tapi pada Jum’at sore dia akan terbang (kira-kira 2,5 jam) ke dan berkantor di Wisconsin hingga Ahad sore, saat dia harus terbang kembali ke DC. Selama berakhir pekan, di kantor lokalnya yang juga memiliki 10 staf ini, Jim menyediakan waktu menerima setiap warga yang ingin menyampaikan secara langsung pertanyaan, keluhan, protes, saran dan aspirasi mereka. Juga menjawab telepon dan membalas surat-surat dan email mereka.

Maka jangankan demonstrasi, ada warga yang meninggal saja Jim bisa segera tahu dan langsung merespon dengan menyampaikan ucapan dukacita kepada keluarga almarhum. Kata Jim, sudah jadi tugas para staf di local office untuk menyerap dan melaporkan kepadanya semua peristiwa dan informasi, sekecil apa pun, dari daerah pemilihan saya secepat dan selengkap mungkin.

Lepas dari itu, Jim tetap melanjutkan kebiasaan lamanya mengunjungi para warga yang menjadi konstituennya, menghadiri setiap pesta dan acara kumpul-kumpul mereka. “Asal diundang warga dan kebetulan saya berada di Wisconsin” kata Jim, “saya pasti datang ke acara mereka.” Sungguh ideal memang, dan sungguh kontras dengan kinerja sebagian besar wakil rakyat di Indonesia.

Comments

Popular posts from this blog

Arung, Topanrita dan Relasi Kuasa di Sulsel

Memperebutkan Makna Islam

Obama dan Kita Menjelang Pesta Demokrasi 09