Makassar Kota Bersejarah atau Kota “Gila”?(Catatan dari Seminar Nasional 400 Tahun Makasar)

Di tengah eskalasi ketergerusan budaya lokal akibat terjangan ombak besar globalisasi gaya hidup konsumtif dan pragmatis di hampir seluruh pelosok Nusantara dewasa ini, Seminar Nasional 400 Tahun Makassar Sabtu (30/6) kemarin bertema ”Menemukenali dan Merangkai Sejarah dan Budaya Makassar,” terasa meniupkan angin segar. Hajatan Lontara Management Center dan Pemkot Makassar ini menghadirkan enam pakar dan lebih 400 peserta dari berbagai kalangan di Hotel Sahid Makassar. Tujuan seminar cukup realistis: menelusuri khazanah dan jejak keunikan sejarah dan budaya Kota Makassar dalam konteks global dan merumuskan upaya strategis dan sistemik bagi reinvensi, revitalisasi, reintegrasi dan resosialisasi nilai-nilai kesejarahan dan budaya tersebut untuk mengembalikan eksistensi Makassar sebagai kota yang ramah, terbuka, toleran, aman dan nyaman bagi warganya seperti empat abad silam.

Shaifuddin Bahrum, yang tampil pertama di sesi pagi, membahas sejumlah unsur dan nilai kebudayaan Makassar yang dipengaruhi budaya Cina dalam kadar tertentu. Menurutnya, ini cukup wajar sebab sejak abad ke-12 jejak kehadiran orang-orang Cina/Tionghoa sudah ditemukan di Nusantara, juga Makassar. Dia menyebut sejumlah asumsi bagi pengaruh tersebut. Mulai dari pakaian (baju bodo) dan warnanya (kuning, merah dan hijau), pemewahan aksesoris sutra dan emas, hingga pada bentuk, ritus-ritus dan perangkat (arajang) kepercayaan/agama tradisional masyarakat Bugis-Makassar.

Tapi, pengaruh tersebut sebenarnya bersifat resiprokal. ”Seseorang dari etnik Cina/Tionghoa dan menganut prilaku dan budaya Makassar,” tulisnya, ”adalah sesuatu yang lumrah.” Terbangunlah apa yang dia sebut”budaya Cina-Makassar,” bahkan sejak tiga abad silam. Representasi paling anyar ”asimilasi” kedua budaya ini terlihat dengan indah, misalnya, pada Ho Eng Dji (1906-1960). Pemuda Tionghoa yang memilih bahasa Makassar sebagai medium ekspresi seninya ini menciptakan syair-syair dan lagu-lagu Makassar yang kini telah menjadi klasik, seperti Ati Raja, Dendang-dendang, Sailong dan Amma’ Tjiang. Pertanyaan yang masih tersisa, mengapa setelah generasi Ho, ”pembauran” budaya Makassar-Cina semakin sulit dilacak jejaknya? Sebaliknya, interaksi kedua kelompok etnik ini kemudian justru lebih tampak timpang dan garang. Juga penuh curiga dan cemburu.

Muchlis Paeni yang tampil berikutnya mengulas data-data historis yang membuat kita bangga sekaligus berduka. Peralihan pusat Kerajaan Gowa dari agraris (Kale Gowa) ke maritim (Somba Opu) di awal abad ke-16, katanya, merupakan trobosan yang luar biasa. Maka sejak 1735 bandar Makassar, teritori antara muara Sungai Jeneberang dan Sungai Tallo yang dilindungi hamparan benteng-benteng kokoh sepanjang garis pantainya, sudah menjadi kota metropolitan. Sebuah kota maritim yang, seperti ditulis Edward Polinggoman pada sesi siang, menerapkan kebijakan ”pintu terbuka” dan prinsip ”laut bebas” yang kondusif menjadi pusat niaga bagi pedagang-pedagang dari Portugis, Melayu, Belanda, Inggris, Spanyol, Denmark dan Cina.

Sayangnya, sesal Muchlis, kebijakan pembangunan Kota Makassar kontemporer tampaknya tidak merefleksikan kesadaran historis akan keunggulan komparatif di bidang kemaritiman ini. Pemkot sebenarnya bisa memajukan wisata sejarah dan budaya Makassar yang unik dan sangat potensial itu, misalnya, dengan melestarikan, merestorasi dan merevitalisasi situs-situs sejarah seperti benteng-benteng di sepanjang pantainya. Juga khazanah seni-budayanya. Tapi dari waktu ke waktu Pemkot justru terseret arus deras kapitalisme ekonomi dalam kebijakan pengembangan kota. Wisata alam, yang alami maupun artifisial, malah lebih ditonjolkan. Kemolekan alam seperti pantai, pulau-pulau kecil, pasir putih, dan sebagainya, kritik Muchlis, ”bisa ditemukan di mana-mana.”

Kita memang sedih, sejumlah situs bersejarah dan bangunan tua di kota ini telah diruntuhkan demi pelebaran jalan atau pembangunan kawasan bisnis. Tragisnye, situs-situs sejarah yang telah direnovasi dan/atau direvitalisasi takdapat perhatian layak. Benteng Somba Opu dan Taman Miniatur Sulawesi di kawasan muara Jeneberang, misalnya. Muchlis, yang dulu berperan penting dalam perencanaan revitalisasi kawasan tersebut, berkata lirih: ”Saya iba hati jika berbicara tentang Benteng Somba Opu.” Kenapa? Pengelolaan dan pemeliharaan kawasan ini kini makin terabaikan dan mengalami alih fungsi dan kerusakan parah. Ironisnya lagi, tak sampai dua kilometer ke arah utara kawasan itu, lampu-lampu gemerlapan menerangi jalan mulus dan tertata indah di mana kendaraan mewah meluncur cepat dan angkuh mengantar para pengunjung ke mall GTC dan penghuni kawasan perumahan ekslusif di sekitarnya.

Anhar Gonggong siang itu juga bicara soal ini. Katanya, kita tidak ke Makassar hanya untuk melihat matahari tenggelam, tapi juga ingin tinggal dan hidup bersama dengan tenang dan nyaman di dalamnya. ”Orang datang bukan untuk melihat Pantai Losari tapi mendapatkan sesuatu yang tidak bisa didapatkan di tempat lain,” tegasnya. Tapi lebih penting lagi, katanya, Makassar harus ”memberi décéng (kebaikan) kepada warganya.” Faktanya, seperti keluh Prof. Paturungi Parawangsa dalam sesi tanya-jawab, ”Makassar sekarang kok jadi kotor, tidak cantik dan ramai tawuran?” Katanya, dulu di mata para pengamat, Makassar adalah kota bersih, cantik dan tenang.

Mochtar Pabottingi lebih banyak bicara dalam perspektif budaya. Dia mengajak peserta melakukan refleksi eksistensial sebagai manusia Bugis-Makassar-Toraja-Mandar lewat reaktualisasi pappaseng para penulis teks Latoa yang menurutnya sama dengan ajaran tiga filosof terkemuka Yunani pra-Masehi: Socrates, Plato dan Aristoteles. Katanya, dalam hidup kita sebagai bangsa, juga sebagai kelompok etnik Sulsel, ajaran kebajikan dan keutamaan yang terangkum dalam prinsip siri’ na paccé/siri’ na pessé, telah hilang. Pessé adalah prinsip solidaritas yang tumbuh dari karakter pribadi yang memiliki getteng (keteguhan), lempu (kejujuran), acca (kecerdasan) dan warani (keberanian), empat ciri yang menentukan eksistensi siri’ (harga diri, dignity) manusia Sulsel.

Gejolak birahi pada kekuasaan dan hasrat menumpuk harta (warang-parang) di kalangan elit politik melumat nilai-nilai adécengeng dan alebbireng tersebut. Lihatlah, terutama menjelang pilkada, demi (merebut/melanggengkan) kekuasaan politik (dan uang), ”bahasa kebajikan dan rasionalitas” pun dikebiri lewat ”muslihat wacana” atas simbol-simbol agama dan sistem pelapisan sosial masyarakat Sulsel. Seperti siasat kolonial Belanda, dirancanglah ”refeodalisasi” pranata sosial yang menilap spirit keadilan dan egalitarianisme. Nasab dan simbol kebangsawanan dicuatkan kembali, tapi minus kemuliaan. Simbol kesalehan (semu) dipamerkan, walau minus prestasi keilmuan dan kelembagaan. Memang, terlalu jauh membandingkan elit politik dan agama Sulsel saat ini dengan Syekh Yusuf (1926-1699). Pahlawan nasional ini, kata Prof. Abu Hamid yang tampil di seminar yang sama, adalah representasi par excellence ulama dan pejuang Sulsel yang cerdas sekaligus jujur dan berani.

Walhasil, dalam kota di mana bazar dan pesta pemuasan ”naluri kehewanan” berlangsung meriah, yang tumbuh adalah manusia-manusia gila yang akan melahirkan ”kota gila,” istilah E. Budihardjo yang dikutip Mochtar. Kota ”yang tak punya ingatan sama sekali” terhadap sejarahnya yang gemilang dan nilai-nilai moral yang menopangnya. Sebuah kota yang telah kehilangan sukma dan jati diri. Akankah kita biarkan Makassar jadi ”kota gila”? Jawabannya tentu terpulang kepada warganya.

Comments

Popular posts from this blog

Arung, Topanrita dan Relasi Kuasa di Sulsel

Memperebutkan Makna Islam

Obama dan Kita Menjelang Pesta Demokrasi 09