Anda adalah Handphone Anda


Apa bedanya orang kaya sejati dan orang kaya baru, tepatnya, orang yang berusaha dipandang kaya (populer disebut OKB)? Kawan saya, seorang juragan minyak tanah, punya jawabannya. Orang kaya sejati biasanya tak lagi suka terang-terangan pamer kekayaan. Memang mereka masih kerap terlihat memakai aksesoris orang kaya. Tapi, mereka taklagi menghiraukan simbol-simbol itu bisa selalu dilihat orang. Pemilihan dan pemakaian barang-barang berkualitas tinggi dan mahal tampaknya bukan lagi buat menegaskan prestise sosial-ekonomi mereka, melainkan demi kenyamanan saja. Kalau OKB? Menurut kawan saya yang lain, OKB justru sebaliknya. Masih disibukkan dengan penampakan simbol, icon atau logo dan merek produk yang mengesankan diri sebagai kalangan berduit. Misalnya, bagaimana memilih restoran mewah, merek pakaian, gaya check-in di hotel, jenis musik, filem, dan hiburan lain yang dinikmati, bahkan macam olah raga yang dimainkan. Kepercayaan diri --confidence, alias "pede"-nya-- OKB masih banyak bergantung pada apa yang sedang dipakai, dimakan, dikunjungi, ditonton, atau dengan siapa ia bicara dan bermain. Pokoknya, segala hal yang sifatnya aksesoris, menempel atau ditambahkan pada diri seseorang.

Lantas, apakah handphone (disingkat HP, sebutan lainnya: mobile phone, cellular phone, atau di Indonesia: ponsel) juga bisa jadi simbol dan gaya hidup tertentu? Dengan kata lain, apakah HP bisa jadi satu indikator status sosial-ekonomi seseorang? Jawabnya, tergantung masyarakat mana yang sedang dibicarakan. Di negara-negara maju seperti di Eropa Barat dan Amerika Utara, juga Australia, Jepang, Korsel, Hongkong, dan Singapura, status HP sebagai barang mewah tampaknya mulai memudar. Karena pemilikan dan pemakainnya yang umum, HP laiknya barang elektronik lainnya seperti TV, digital camera, handycam, dan laptop. Artinya, HP tak lagi ekslusif dipakai kalangan paling berduit, melainkan sekedar alat komunikasi saja.

Bagaimana di Indonesia? Sejak kira-kira empat tahun terakhir, khususnya di kota-kota besar di Jawa, HP juga tampaknya mulai kehilangan pamor atau gengsi sosialnya. Bukankah satpam, supir taxi, atau pedagang asongan dan kaki lima juga sudah banyak yang ber-HP ria. Pertumbuhan pengguna HP di tanah air dalam sepuluh tahun terakhir memang dahsyat dan fenomenal. Jika pada 1996 baru tercatat 567 ribu pengguna HP, maka pada tahun ini, menurut data Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI), terdata sekitar 30-an juta dan diperkirakan akan mencapai 40-an juta menjelang akhir tahun (Investor Daily Indonesia, 27/01/05).

Lepas dari fenomena memasyarakatnya HP di atas, di sejumlah kota lain di Indonesia, apalagi di pedesaan yang sudah terjangkau sinyal sellular, HP tampaknya hingga saat ini masih merupakan “pemandangan” sehari-hari. Artinya, para pemilik HP masih suka "memamerkan" milik mereka, entah dengan malu-malu atau terang-terangan. HP bagi warga beberapa kota di Indonesia, tampaknya masih memberi kesan “mewah” bagi yang memilikinya. Ke mana-mana, misalnya, HP digenggam, dikantongi di saku baju (tidak lupa antenanya ditonjolkan, atau neck-strap-nya dikaitkan di leher), case-nya dijepitkan di saku depan celana atau di ikat pinggang. Tidak heran jika masih sering terdengar pertanyaan anekdotal seperti: Sudah punya HP, kok masih pinjam duit? Punya HP tapi malah masih naik pete-pete? Lho, sudah jadi Pembantu Dekan belum punya HP? Dan seterusnya. Ringkasnya, di beberapa tempat, selain sebagai alat komunikasi, HP rupanya masih memiliki tujuan ganda: menegaskan identitas sosial-ekonomi seseorang. Jenis, merek, dan tahun keluaran HP yang digenggam seakan menjadi salah satu penentu strata sosial-ekonomi tertentu bagi pemiliknya. Makanya, makin mutakhir versi HP yang dimiliki –salah satunya terlihat dari bentuknya yang makin mungil-- makin percaya diri pula sang pemilik HP. Logikanya, repot-repot beli barang mahal begitu, sayang kalau tidak ditampilkan.

Seorang kawan bule saya suatu waktu berkomentar, atau mungkin coba menggoda saya. Menurutnya, orang Indonesia rajin berkomunikasi dan menghargai persahabatan. Katanya, mereka sesaat pun tak mau berpisah dengan HP mereka. Itu tandanya, sedetik pun orang Indonesia tidak mau mengabaikan panggilan lewat HP. Boleh jadi, dia tidak sepenuhnya keliru. Sebagian orang, sekalipun lagi mengajar, memberi kuliah, berpidato, salat berjamaah, atau ikut seminar, enggan (atau pura-pura lupa) menonaktifkan HP. Mendengar dering HP, misalnya, saat khotbah dan salat Jumat berlangsung belum merupakan keanehan di sini. Dalam kesempatan ikut beberapa seminar di Makassar, saya kerap menemukan banyak HP yang mejeng di atas meja seminar. Tentu saja, bukan pemajangannya yang menjadi isu, tapi terutama deringnya yang sangat mengganggu konsentrasi. Padahal, kerap kali sebelum seminar dimulai, moderator sudah minta para peserta menonaktifkan HP. Di lain waktu di kota yg sama, di satu lokakarya, saya menyaksikan seorang peserta yang saat berdiri mengajukan pertanyaan tiba-tiba HP-nya berdering, nyaring lagi. Sambil tangannya yang satu pegang mikrofon, tangan lainnya merogoh HP-nya dari saku celana. Lalu, tanpa ekpresi malu-malu atau bersalah sedikit pun, beberapa menit dia bicara lewat HP sebelum lanjut bertanya kepada narasumber. Sekitar dua tahun lalu, juga di Makassar, saya ikut sebuah ceramah di mana moderator dan notulis secara bergantian berkomunikasi (menerima atau memanggil) lewat HP sambil tetap duduk di samping pemakalah yang sedang bicara. Boleh jadi, karena banyaknya pemilik HP "bandel," pertemuan-pertemuan penting di beberapa negara maju kini dilengkapi semacam alat peredam, khusus untuk "melumpuhkan" semua sinyal HP pada radius tertentu sehingga semua HP bandel dalam radius tersebut takkan bisa berfungsi.

Banyak orang bingung melihat fenomena HP ini. Apakah karena orang-orang memang sangat menghargai komunikasi dengan keluarga, teman atau relasi bisnis, atau sekedar karena ada semacam kebanggaan tersendiri jika HP mereka berbunyi di tengah orang banyak alias senang memamerkan HP? Bukankah, jika mau, bisa saja, ketimbang menge-set nada deringan, mereka memakai sistem getaran (vibration) untuk menandai adanya panggilan saat berada di tengah orang banyak. Kawan saya yang lain, seorang peminat sosiologi agama, berkomentar lebih jauh. Dia melihat, HP sudah menjadi “berhala” manusia modern. Orang lebih banyak ber-asyiq-masyuq (baca: “berdua-duaan”) dengan HP (ber-SMS, game, dll) daripada bercengkerama dengan the real persons di sekelilingnya. HP, menurutnya, sudah merampas kemerdekaan sebagian pemiliknya dan menguasai kesenangan mereka. Akibatnya, orang-orang ber-HP takbisa lagi membayangkan jika suatu saat harus taklagi punya HP atau HP kebetulan takbisa berfungsi sama sekali. Padahal, jauh sebelum orang mengenal HP, atau telepon kabel sekalipun, kehidupan tokh tetap bisa berputar tanpa masalah komunikasi yang berarti. Saya teringat ucapan Nurcholish Madjid suatu waktu. Seorang yang bebas, katanya, harus bisa membayangkan hidup dalam situasi apa pun tanpa perlu kehilangan esensi kemanusiaannya. Nyatanya, HP kini cenderung merampas kemanusiaan sebagian pemiliknya, minimal merenggut waktu-waktu mereka buat bergaul secara lebih personal dan nyata.

Akibatnya, bukannya jadi teman berkomunikasi yang semakin baik, beberapa pemilik HP malah cenderung semakin sulit diajak berkomunikasi secara langsung, bebas dan interaktif. Sebab waktunya kini lebih banyak tersita untuk ber-HP ria. Secara taksadar, seolah-olah profesi mereka kini berubah menjadi seorang "operator" HP yang setia. Ada cerita lain, saat menerima kartu nama dari seorang professor bidang politik Indonesia dari Ohio State University, seorang kolega saya heran karena tidak menemukan nomor HP sang professor tertera di sana. Tidak mungkin, pikirnya, seorang professor Amerika, dari universitas ternama lagi, takmampu beli sekedar sebuah HP. Mungkin, jawab saya, ini karena orang-orang di negara maju sangat menghargai privacy sehingga nomor HP mereka hanya di-share ke kawan-kawan terdekat. Untuk orang kebanyakan, komunikasi bagi mereka sebaiknya dilakukan lewat telepon kantor atau e-mail.

Lewat salah satu mailing list perkumpulan mahasiswa Indonesia di luar negeri, saya pernah baca sebuah kisah menarik soal HP. Yang ini tentang seorang professor dari salah satu kampus di Makassar yang menghadiri sebuah seminar di satu kota di AS beberapa tahun silam. Lazimnya, menjelang berpisah, para peserta bertukar business card. Ketika menerima kartu nama dari sang professor, rekannya dari Amerika sedikit heran (campur kagum?). Dia tak menemukan alamat e-mail sang professor Indonesia tertera di kartu nama itu, tapi nomor HP malahan ada dua. "Anda pastilah orang yang sangat kaya," katanya. "Sejak adanya internet, di sini (baca: AS) komunikasi dengan kawan-kawan di luar negeri kebanyakan lewat e-mail. Selain mudah, juga terutama karena lebih murah. Tapi Anda tampaknya merasa lebih enjoy berkomunikasi lewat handphone, dan biayanya tentulah sangat mahal." Professor kita ini tentulah jadi malu dapat sindiran seperti itu. Setiba di tanah air, dia segera minta diantar anaknya ke warnet dan dibuatkan e-mail account. Besoknya, dia pesan cetak kartu nama baru, lengkap dengan alamat email, kali ini nomor HP-nya taklagi dicantumkan.

Walhasil, di sini memang ada perbedaan. Di satu sisi, HP merupakan alat komunikasi interpersonal yang semakin diperlukan di era modern. Tapi di sisi lain, seperti halnya radio, TV, dan beberapa alat elektronik lain yang diperkenalkan di era-era sebelumnya, HP juga, entah sampai beberapa tahun lagi, masih menjadi satu simbol penegas status sosial. Tentu saja, setiap orang memang bebas dan berhak menggunakan miliknya untuk tujuan dan fungsi apa saja. Namun, dari sudut pandang etika, tampaknya kurang etis jika demi memuaskan kesenangan-kesenangan pribadi atau menegaskan identitas diri, kita lantas merampas hak orang lain untuk mendapatkan ketenangan. Kebebasan kita tentu saja dibatasi oleh kebebasan dan hak orang lain. Mengapa misalnya secara tradisional jika kita terbatuk, menguap atau bersin, kita sudah terbiasa menutup mulut dengan kepalan tangan. Atau, bunyi radio dan TV kita setel sedemikian rupa supaya taksampai mengganggu tetangga. Juga, kita hampir sudah terbiasa tak membunyikan klakson kendaraan jika tidak perlu sekali. Lantas, mengapa kita tidak pernah merasa kurang sopan (atau kurang ajar!) jika berada di sebuah pertemuan, rumah ibadah, atau di mana saja ketika orang-orang memerlukan konsentrasi dan ketenangan, HP kita dibiarkan berbunyi dengan nyaring. Di satu pihak, agaknya memang ada akselerasi luar biasa dalam hal penggunaan teknologi modern di sini. Tapi, di sisi lain, terlihat juga adanya fenomena “gatek” (gagap teknologi, atau kebanggaan teknologi?). Yaitu, ketika orang-orang taktahu fungsi sebuah produk teknologi diciptakan dan bagaimana memakainya secara bijaksana dan berdaya guna. Walhasil, jika dulu ada adagium: you are what you eat (Anda adalah apa yang Anda makan), sekarang seolah-olah adagium yang cocok adalah: “you are what your cellular phone is” (Katakan apa merek dan jenis HP Anda, akan kukatakan siapakah Anda sebenarnya).


Comments

Popular posts from this blog

Arung, Topanrita dan Relasi Kuasa di Sulsel

Memperebutkan Makna Islam

Obama dan Kita Menjelang Pesta Demokrasi 09