Anda adalah Handphone Anda
Apa bedanya orang kaya sejati dan orang kaya baru, tepatnya, orang yang berusaha dipandang kaya (populer disebut OKB)? Kawan saya, seorang juragan minyak tanah, punya jawabannya. Orang kaya sejati biasanya tak lagi suka terang-terangan pamer kekayaan. Memang mereka masih kerap terlihat memakai aksesoris orang kaya. Tapi, mereka taklagi menghiraukan simbol-simbol itu bisa selalu dilihat orang. Pemilihan dan pemakaian barang-barang berkualitas tinggi dan mahal tampaknya bukan lagi buat menegaskan prestise sosial-ekonomi mereka, melainkan demi kenyamanan saja. Kalau OKB? Menurut kawan saya yang lain, OKB justru sebaliknya. Masih disibukkan dengan penampakan simbol, icon atau logo dan merek produk yang mengesankan diri sebagai kalangan berduit. Misalnya, bagaimana memilih restoran mewah, merek pakaian, gaya check-in di hotel, jenis musik, filem, dan hiburan lain yang dinikmati, bahkan macam olah raga yang dimainkan. Kepercayaan diri --confidence, alias "pede"-nya-- OKB masih banyak bergantung pada apa yang sedang dipakai, dimakan, dikunjungi, ditonton, atau dengan siapa ia bicara dan bermain. Pokoknya, segala hal yang sifatnya aksesoris, menempel atau ditambahkan pada diri seseorang.
Lantas, apakah handphone (disingkat HP, sebutan lainnya: mobile phone, cellular phone, atau di
Bagaimana di Indonesia? Sejak kira-kira empat tahun terakhir, khususnya di kota-kota besar di Jawa, HP juga tampaknya mulai kehilangan pamor atau gengsi sosialnya. Bukankah satpam, supir taxi, atau pedagang asongan dan kaki
Lepas dari fenomena memasyarakatnya HP di atas, di sejumlah kota lain di Indonesia, apalagi di pedesaan yang sudah terjangkau sinyal sellular, HP tampaknya hingga saat ini masih merupakan “pemandangan” sehari-hari. Artinya, para pemilik HP masih suka "memamerkan" milik mereka, entah dengan malu-malu atau terang-terangan. HP bagi warga beberapa
Seorang kawan bule saya suatu waktu berkomentar, atau mungkin coba menggoda saya. Menurutnya, orang
Banyak orang bingung melihat fenomena HP ini. Apakah karena orang-orang memang sangat menghargai komunikasi dengan keluarga, teman atau relasi bisnis, atau sekedar karena ada semacam kebanggaan tersendiri jika HP mereka berbunyi di tengah orang banyak alias senang memamerkan HP? Bukankah, jika mau, bisa saja, ketimbang menge-set nada deringan, mereka memakai sistem getaran (vibration) untuk menandai adanya panggilan saat berada di tengah orang banyak. Kawan saya yang lain, seorang peminat sosiologi agama, berkomentar lebih jauh. Dia melihat, HP sudah menjadi “berhala” manusia modern. Orang lebih banyak ber-asyiq-masyuq (baca: “berdua-duaan”) dengan HP (ber-SMS, game, dll) daripada bercengkerama dengan the real persons di sekelilingnya. HP, menurutnya, sudah merampas kemerdekaan sebagian pemiliknya dan menguasai kesenangan mereka. Akibatnya, orang-orang ber-HP takbisa lagi membayangkan jika suatu saat harus taklagi punya HP atau HP kebetulan takbisa berfungsi sama sekali. Padahal, jauh sebelum orang mengenal HP, atau telepon kabel sekalipun, kehidupan tokh tetap bisa berputar tanpa masalah komunikasi yang berarti. Saya teringat ucapan Nurcholish Madjid suatu waktu. Seorang yang bebas, katanya, harus bisa membayangkan hidup dalam situasi apa pun tanpa perlu kehilangan esensi kemanusiaannya. Nyatanya, HP kini cenderung merampas kemanusiaan sebagian pemiliknya, minimal merenggut waktu-waktu mereka buat bergaul secara lebih personal dan nyata.
Akibatnya, bukannya jadi teman berkomunikasi yang semakin baik, beberapa pemilik HP malah cenderung semakin sulit diajak berkomunikasi secara langsung, bebas dan interaktif. Sebab waktunya kini lebih banyak tersita untuk ber-HP ria. Secara taksadar, seolah-olah profesi mereka kini berubah menjadi seorang "operator" HP yang setia. Ada cerita lain, saat menerima kartu nama dari seorang professor bidang politik Indonesia dari Ohio State University, seorang kolega saya heran karena tidak menemukan nomor HP sang professor tertera di sana. Tidak mungkin, pikirnya, seorang professor Amerika, dari universitas ternama lagi, takmampu beli sekedar sebuah HP. Mungkin, jawab saya, ini karena orang-orang di negara maju sangat menghargai privacy sehingga nomor HP mereka hanya di-share ke kawan-kawan terdekat. Untuk orang kebanyakan, komunikasi bagi mereka sebaiknya dilakukan lewat telepon kantor atau e-mail.
Lewat salah satu mailing list perkumpulan mahasiswa Indonesia di luar negeri, saya pernah baca sebuah kisah menarik soal HP. Yang ini tentang seorang professor dari salah satu kampus di Makassar yang menghadiri sebuah seminar di satu kota di AS beberapa tahun silam. Lazimnya, menjelang berpisah, para peserta bertukar business card. Ketika menerima kartu nama dari sang professor, rekannya dari Amerika sedikit heran (campur kagum?). Dia tak menemukan alamat e-mail sang professor
Walhasil, di sini memang ada perbedaan. Di satu sisi, HP merupakan alat komunikasi interpersonal yang semakin diperlukan di era modern. Tapi di sisi lain, seperti halnya radio, TV, dan beberapa alat elektronik lain yang diperkenalkan di era-era sebelumnya, HP juga, entah sampai beberapa tahun lagi, masih menjadi satu simbol penegas status sosial. Tentu saja, setiap orang memang bebas dan berhak menggunakan miliknya untuk tujuan dan fungsi apa saja. Namun, dari sudut pandang etika, tampaknya kurang etis jika demi memuaskan kesenangan-kesenangan pribadi atau menegaskan identitas diri, kita lantas merampas hak orang lain untuk mendapatkan ketenangan. Kebebasan kita tentu saja dibatasi oleh kebebasan dan hak orang lain. Mengapa misalnya secara tradisional jika kita terbatuk, menguap atau bersin, kita sudah terbiasa menutup mulut dengan kepalan tangan. Atau, bunyi radio dan TV kita setel sedemikian rupa supaya taksampai mengganggu tetangga. Juga, kita hampir sudah terbiasa tak membunyikan klakson kendaraan jika tidak perlu sekali. Lantas, mengapa kita tidak pernah merasa kurang sopan (atau kurang ajar!) jika berada di sebuah pertemuan, rumah ibadah, atau di mana saja ketika orang-orang memerlukan konsentrasi dan ketenangan, HP kita dibiarkan berbunyi dengan nyaring. Di satu pihak, agaknya memang ada akselerasi luar biasa dalam hal penggunaan teknologi modern di sini. Tapi, di sisi lain, terlihat juga adanya fenomena “gatek” (gagap teknologi, atau kebanggaan teknologi?). Yaitu, ketika orang-orang taktahu fungsi sebuah produk teknologi diciptakan dan bagaimana memakainya secara bijaksana dan berdaya guna. Walhasil, jika dulu ada adagium: you are what you eat (Anda adalah apa yang Anda makan), sekarang seolah-olah adagium yang cocok adalah: “you are what your cellular phone is” (Katakan apa merek dan jenis HP Anda, akan kukatakan siapakah Anda sebenarnya).
Comments