Pendidikan Nasional dan Tanggung Jawab Lokal

Sudah menjadi pengetahuan dan kesadaran umum bahwa pendidikan merupakan salah satu masalah yang sangat kompleks dan akut di Indonesia sejak beberapa dekade terakhir. Tidak sulit menghabiskan puluhan lembar kertas, bahkan ratusan halaman buku, untuk menulis tentang krisis pendidikan kita. Sudah terlalu banyak diskusi, talkshow, seminar, workshop, simposium, konferensi dan sejenisnya yang kita selenggarakan khusus untuk membicarakan masalah pendidikan kita. Namun, tampaknya semua perhelatan tersebut belum mampu mengatasi krisis akut dan nestapa yang dialami dunia pendidikan kita.

Makalah ini tidak dimaksudkan untuk sekedar menambah tingginya tumpukan makalah dan artikel yang menawarkan solusi atas masalah-masalah pendidikan kita. Mungkin lebih tepat jika tulisan ini disebut sebagai sekedar ekspresi kerisauan dan kekesalan seorang non-pakar pendidikan yang juga sdang merasakan nestapa dunia pendidikan di Indonesia.


Masalah-masalah Klasik dalam Pendidikan Kita

Dalam pandangan sejumlah pakar pendidikan dan budaya, masalah-masalah pendidikan di Indonesia merupakan akumulasi dari sejumlah faktor klasik yang saling bertautan. Di antara faktor tersebut adalah: Pertama, kebijakan pemerintah, sejak Orde Lama sampai orde sekarang, yang lebih memprioritaskan pembangunan di bidang ekonomi dan politik sementara pembangunan bidang pendidikan cenderung termarginalkan. Anggaran pendidikan dalam APBN selama tiga dekade sungguh tidak proporsional. Ini berimplikasi, misalnya, pada rendahnya gaji para tenaga pendidik, minimnya fasilitas pendidikan dan kurangnya program riset dan pengembangan pendidikan.

Selama beberapa puluh tahun, anggaran pendidikan di Indonesia, misalnya, ternyata yang paling rendah ketimbang di negara-negara tetangga terdekat kita Menurut laporan UNDP dalam Human Development Report 2002, anggaran pendidikan kita hanya sekitar satu persen (1%) dari GNP; padahal angka rata-rata untuk negara-negara terbelakang (least developed countries) seperti Angola, Banglades, Kongo, Ethiopia, Malawi, Nepal, Samoa, dan sebagainya, sudah mencapai 3,5 persen. Human Development Report 2008, memang menyebutkan adanya peningkatan anggaran menjadi rata-rata 9.0 dalam kurung 2002-2005 dan menempatkan Indonesia di urutan 107 dalam daftar peringkat negara-negara berdasarkan ”commitment to education: public spending.” Namun, peringkat itu masih (jauh) di bawah negara-negara tetangga terdekat kita: Singapura (urutan 25), Malaysia (urutan 63, dengan anggaran 25,2%), Thailand (78/25,0%), Filipina (90/10,5), dan Vietnam (107/9,7%).

Kita sering membandingkan sistem pendidikan kita dengan Malaysia yang sistem pendidikannya justru jauh melesat melampaui kita. Jika dulu Malaysia pernah berguru kepada kita, kini kondisinya terbalik total. Lewat program SMART, pendidikan dasar Malaysia maju pesat. Sementara pendidikan tingginya dilecut perkembangannya lewat program Malaysia 2020. Sementara kita semakin kehilangan ketangguhan dan daya saing, Malaysia justru semakin diperhitungkan masyarakat dunia. Kuncinya adalah karena pemerintah Malaysia mempunyai visi yang lebih cerdas dengan memberi anggaran pendidikan yang memadai. Selama ini, anggaran pendidikan di Malaysia tidak pernah kurang dari 20 persen terhadap budget negara. Sementara kita, sekalipun MPR sudah mengamanahkan pengalokasian minimal 20% bagi anggaran pendidikan dalam APBN, tapi pemerintah tampaknya belum konsisten dan serius menjalankan amanah tersebut.

Masalah lain yang juga berkaitan dengan anggaran adalah kurangnya kesadaran dan perhatian pemerintah daerah dan masyarakat terhadap lembaga pendidikan di daerah yang bersangkutan. Anggaran pendidikan tampaknya dipandang sebagai urusan pemerintah pusat saja. Padahal, jika kita mau belajar dari Amerika Serikat, kita bisa juga menerapkan apa yang disebut pajak lokal yang diberlakukan bagi seluruh warga di daerah kabupaten dan provinsi untuk membiayai lembaga-lembaga pendidikan setempat.

Kedua, kebijakan pemerintah berkaitan dengan sistem pendidikan nasional yang tidak konsisten, terpadu dan komprehensif. Penetapan disain kurikulum, misalnya, kerap tidak melewati proses analisis, pengembangan, uji coba dan sosialiasi yang mantap. Juga sering berganti-ganti secara mendadak, sehingga dikenal ungkapan, ”ganti menteri (pendidikan), ganti kurikulum.” Misalnya, sementara Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) belum sempat disosialisasikan secara mantap dan menyeluruh di Nusantara, pemerintah lantas memperkenalkan lagi kurikulum baru bernama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Ketika pemahaman masyarakat, termasuk dunia pendidikan, tentang KBK belum memadai, muncul Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai pedoman bagi KBK. Kurikulum yang diberlakukan secara nasional juga kerapkali tidak mempertimbangkan faktor keunikan dan keragaman budaya, kebutuhan masyarakat lokal, dan tingkat kesenjangan ekonomi, sosial dan geografis masing-masing daerah di nusantara.

Ketiga, sistem dan orientasi pendidikan kita cenderung ikut-ikutan dan nyasar. Seperti halnya kebijakan ”pembangunan” (developmentalism) yang pemerintah Orde Baru dulu adopsi, sistem pendidikan kita seringkali juga merupakan imitasi atau gado-gado dari sistem pendidikan di negara lain yang belum tentu kompatible dengan kondisi negara kita. Sistem kapitalisme yang pragmatis, hedonistik, materialistik dan konsumtif yang sangat menjiwai kebijakan pembangunan nasional kita juga diterapkan dalam dan menjangkiti sistem pendidikan kita. Orientasi pada gelar atau ijazah ketimbang pada pendidikan karakater bangsa mudah sekali terlihat di lembaga pendidikan kita di semua tingkatan. Pendidikan kita yang cenderung memberi penghargaan khusus pada bidang-bidang studi eksakta (sains) sembari menganaktirikan bidang-biang studi sosial dan humaniora (sejarah, filsafat, hukum, seni, dsb) melahirkan generasi-generasi tukang yang lemah etika dan miskin estetika.

Keempat, pengelola dan pengelolaan pendidikan yang tidak profesional dan sarat penyimpangan (KKN) semakin memperparah kondisi pendidikan di Indonesia. Sampai hari ini kita masih banyak menjumpai orang-orang yang tidak memiliki sense of education tetapi diberi tanggung jawab besar untuk mengelola pendidikan, jadi mendiknas misalnya. Mereka fasih berbicara tentang pentingnya pendidikan untuk mengantisipasi datangnya era globalisasi, AFTA, WTO, cyber-komunikasi, E-Commerce, dan sebagainya; tetapi tidak tahu bahwa bahkan di Jakarta banyak ditemukan sekolah yang kondisinya mengenaskan. Mereka juga tidak menyadari, hanya dengan perjalanan darat tiga jam dari Jakarta, banyak ditemui SD yang jumlah gurunya hanya dua atau tiga orang untuk mengajar enam kelas sekaligus. Karena pengelola tidak profesional maka dapat dimaklumi bila manajemen pendidikan kita selama ini juga sangat semrawut. Manipulasi nilai UN oleh guru dan pengurus sekolah, penerimaan siswa lewat jendela (letjen), pembocoran soal UN, ”setoran khusus” untuk menjadi kepala sekolah, bisnis buku paket dan baju seragam dsb, merupakan kasus-kasus yang tidak lagi menjadi berita mengagetkan.

Faktor kelima mungkin lebih banyak berkaitan dengan budaya atau etos membaca kita yang lembek. Sekalipun membaca hanyalah salah satu dari sejumlah proses belajar yang ada, namun sudah umum diakui bahwa tradisi membaca adalah faktor yang paling menentukan dalam proses pencerdasan sebuah bangsa. Sayangnya, dalam masyarakat kita budaya bicara (tutur) tampaknya masih lebih kental daripada budaya baca. Ini diperparah lagi oleh fakta bahwa sebelum masyarakat kita gemar membaca, mereka lebih dulu menggemari menonton televisi. Budaya menonton televisi ini kemudian ditumbuhsuburkan oleh pemerintah, para pengelola sekolah dan keluarga Indonesia dengan memperioritaskan pengadaan unit-unit TV di kantor-kantor pemerintah, tempat-tempat umum, sekolah-sekolah dan rumah-rumah tangga ketimbang pengadaan perpustakaan daerah, kecamatan, desa dan keluarga.


Indikator dan Implikasi ”Kekurangberhasilan” Pendidikan Kita

Ada sejumlah implikasi dan indikator ”kekurangberhasilan” dalam pendidikan yang dengan mudah bisa diidentifikasi. Pertama, rendahnya prestasi siswa kita di bidang pendidikan sendiri bisa menjadi indikator mikro atas kekurangberhasilan pendidikan kita. Antara lain, rendahnya prestasi IPA siswa kita (versi TIMSS), rendahnya prestasi Matematika (versi IMO), rendahnya kemampuan membaca anak Indonesia (versi World Bank), rendahnya kualitas perguruan tinggi Indonesia umumnya (versi AsiaWeek).

Kedua, rendahnya kualitas pendidikan kita menyebabkan kualitas sumber daya manusia (SDM) kita secara umum juga rendah. Menurut sejumlah survei, teutama versi UNDP, SDM kita masih jauh dari kemampuan yang ''kompetitif''. Jangankan dibandingkan dengan negara-negara maju, dengan sesama negara Asia saja kita tergolong lemah. Sebagai perbandingan, menurut data Unesco terbitan 1987, terlihat bahwa di tahun itu Pakistan dari sejuta warganya sudah memiliki 99 orang pakar. Sementara Indonesia dari sejuta penduduk hanya ada 64 orang yang sarjana. Bandingkan lagi dengan India yang dalam sejuta warga terdapat tak kurang dari 1.300 orang sarjana. Angka sarjana yang kita lahirkan di tahun-tahun berikutnya tentu sudah meningkat. Tapi jangan lupa, ketika kita berkembang mereka pun demikian. Sementara itu, daya saing ekonomi kita juga rendah (versi IMD), begitu juga angka harapan hidup (versi WHO), dan sebagainya. Hal-hal tersebut merupakan indikator makro tentang kurang berhasilnya pendidikan kita.

Ketiga, sebagai konsekuensi dari rendahnya kualitas SDM kita, daya saing bangsa Indonesia pun rendah. Menurut hasil penelitian yang dipublikasi pada pertengahan 2001 oleh International Institute for Management Development (IMD), suatu organisasi internasional yang bermarkas di Lausanne, Swiss, daya saing Indonesia ternyata paling rendah di antara 49 negara yang diteliti. Indonesia jauh di bawah Singapura, Australia, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Dalam hal ini, yang dimaksud daya saing adalah hasil analisis terhadap kemampuan suatu negara dalam mengembangkan diri dalam berbagai aspek sekaligus; seperti aspek ekonomi, pendidikan, pemerintahan, ketenagakerjaan, dan sebagainya.

Apa yang harus kita lakukan?

Kompetensi dan otoritas akademik saya tidak memungkinkan untuk menjawab pertanyaan di atas secara tuntas. Sejumlah point di bawah hanyalah sekedar saran-saran sederhana untuk meringankan beban masalah pendidikan kita yang mungkin sudah berulang kali kita dengar dari orang lain di tempat lain.

Pengalokasian anggaran pendidikan dari pemerintah pusat secara proporsional dan penggunaannya secara efektif dan efisien di tingkat daerah mutlak segera dilakukan. Ini berarti, anggaran pendidikan dari pemerintah (termasuk BOS) jangan digunakan hanya untuk membiayai perjalanan dan baju seragam kadis pendidikan, pengawas dan kepala sekolah, membuat gedung baru yang belum mendesak, membeli perabot baru di ruang guru dan kepala sekolah, apalagi membeli televisi. Seharusnya dana tersebut lebih banyak dibelanjakan untuk pengadaan/pengelolaan perpustakaan sekolah, dan yang lebih mendesak, biaya pelatihan pengembangan profesi guru-guru (bukan hanya dalam rangka sertifikasi), beasiswa untuk siswa dan guru dsb.

Penerbitan PERDA tentang pajak atau donasi wajib masyarakat bagi pengembangan pendidikan (belajar dari Amerika Serikat). PAD dalam bentuk pajak atau retribusi seharusnya jangan dihabiskan hanya untuk menambah tunjangan anggota DPRD atau belanja rumah tangga bupati dan wakilnya, atau untuk mempercantik ibu kota kabupaten, tapi juga dialokasikan untuk tujuan-tujuan yang disebutkan di point (1) di atas.

Peningkatan profesionalisme personalia kependidikan lewat pendidikan lanjutan dan pelatihan penjenjangan dan pengembangan profesi secara berkesinambungan. Ini berarti, semua guru seharusnya diberi peluang untuk secara bergilir dan berkesinambungan mengikuti kursus, pelatihan, seminar, worshop dan sejenisnya yang berkaitan dengan bidang studi yang mereka geluti. Misalnya, pelatihan KBK, Quantum Learning, Mengelola Hidup Meraih Masa Depan (MHMMD), Kecerdasan Emosional dan Spiritual (ESQ), dsj. Juga untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (S2 atau S3).

Pemahaman dan penerapan kurikulum (berstandar) nasional secara kreatif dan kontekstual sesuai dengan kepentingan, kebutuhan dan standar kompetensi daerah. Ini berarti, pengurus/otoritas pendidikan di tingkat daerah (kadis, pengawas, kepsek) seharusnya memiliki kreativitas tinggi dalam menyusun dan menerapkan kurikulum nasional sedemikian rupa sehingga memenuhi standar tuntutan dan kebutuhan daerah yang bersangkutan terhadap pendidikan. Bukankah di antara prinsip-prinsip lain KBK adalah adanya desentralisasi penyusunan kurikulum sesuai kompetensi lokal yang dibutuhkan? Sekolah bahkan diberi keleluasaan untuk mengembangkan silabus mata pelajaran sendiri. Karena itu, dalam konteks ini, inisiatif lokal dan sekolah menjadi sangat penting, baik untuk memastikan adanya kesesuaian antara kompetensi yang hendak dikembangkan dan kebutuhan lokal, maupun dalam melahirkan kemampuan selektif dan korektif atas bahan-bahan ajar yang mungkin tidak sejalan dengan prinsip KBK. Dengan penerapan KBK secara benar, diharapkan perspektif mengenai tujuan dan setiap tahap proses kegiatan belajar mengajar yang tepat dapat terus terpelihara, baik di kalangan ototias penyusunan kurikulum, insan pendidikan, para guru, maupun pengembang bahan-bahan ajar.

Yang tak kalah pentingnya adalah perlunya memahami secara tepat konsep life skills (keterampilan-keterampilan hidup) dalam pendidikan, khususnya dalam rangka penerapan KBK. Terdapat pandangan umum yang keliru di kalangan masyarakat, termasuk dunia pendidikan, bahwa istilah ini mengacu kepada keterampilan vokasional yang diperlukan oleh peserta didik ketika mereka kelak memasuki dunia kerja (market place). Padahal, istilah ini memiliki pengertian yang lebih luas. Keterampilan vokasional hanya satu bagian kecil konsep dari life skills ini. Yang disebut terakhir mencakup keterampilan personal, keterampilan sosial, dan keterampilan akademik. Mengikuti definisi kecerdasan majemuk (multiple intelligences) dari Howard Gardner, yang termasuk dalam keterampilan-keterampilan itu adalah kecerdasan eksistensial atau spiritual (SQ), kecerdasan intra- dan interpersonal (EQ), bahkan kecerdasan naturalistik (berinteraksi dengan lingkungan). Pengertian life skills bisa juga diasosiasikan dengan dengan tujuan pendidikan menurut UNESCO. Yaitu: cakap berpikir (learning how think), cakap berbuat atau bertindak (learning to do), kecakapan (intrapersonal) untuk hidup (learning to be), kecakapan untuk belajar (learning how to learn), dan kecakapan (interpersonal) untuk hidup bersama (learning to live together). Ringkasnya, tujuan dasariah KBK seharusnya dipahami dalam perspektif tujuan puncak segenap proses pendidikan, yaitu menyiapkan anak didik untuk meraih kesejahteraan dan kebahagiaan hidup (well being).

Pemantapan status dan peran komite sekolah (dan masyarakat secara luas) dalam menentukan kebijakan-kebijakan pendidikan di tingkat sekolah secara demokratis. Ini berarti, pihak-pihak yang menjadi stake holders di sekolah selama ini harus semakin terlibat memberikan kontribusi mereka dalam menentukan kebijakan pendidikan di sekolah ybs. Sudah bukan lagi zamannya, di mana kepala sekolahlah (atau kepala dinas?) yang menentukan semua kebijakan di sekolahnya, sementara para anggota dewan sekolah, para guru dan para orang tua murid cukup menghadiri acara-acara seremonial saja seperti penamatan.

Peningkatan kualitas dan kuantitas pengajaran sejarah dan budaya lokal yang menunjang tumbuhnya kembali kebanggaan konstruktif generasi muda sebagai bagian dari budaya tersebut. Ini bisa dimasukkan sebagai salah satu local content (muatan lokal) dalam kurikulum. Adalah tragis dan mengherankan, jika siswa-siswi Sulawesi Selatan saat ini tidak lagi mengenal sejarah kemunculan kerajaan-kerajaan yang membentuk Sulsel di masa lalu, khususnya kerajaan-kerajaan Gowa-Tallo, Wajo, Bone, Luwu, Soppeng, Ajatappareng, Massenrengmpulu, Mandar, dst. Mereka juga tidak punya apresiasi terhadap kearifan lokal daerah Sulsel yang termuat dalam dalam lontara. Pemda saatnya mensponsori/mendanai penyusun/penetapan semacam buku teks/paket yang khusus memuat sejarah daerah yang bersangkutan dengan bahasa dan sistematika yang mudah dipahami oleh para pelajar menengah di semua tingkatan.

Perlu upaya strategis, sistematis dan berkesinambungan untuk menyemaikan budaya membaca dan menulis sambil berusaha secara bertahap mengurangi frekuensi atau intensitas menonton TV, baik di ruang-ruang publik (seperti kantor, rumah sakit, terminal, sekolah, dsb) maupun di ruang-ruang keluarga. Ini bisa dilakukan oleh pemda kabupaten/kecamatan/desa dengan banyak cara, antara lain: (a) mendirikan dan mengembangkan perpustakaan daerah, kota, kecamatan, desa dan sekolah; (b) mengadakan pameran dan bursa buku sekali setahun; (c) lomba-lomba mengarang/menulis buku dengan hadiah-hadiah yang menarik (d) mengsubsidi tempat-tempat penjualan buku (toko/pasar buku); (e) memberlakukan waktu-waktu atau hari-hari khusus di mana seluruh warga harus membaca atau tidak mengganggu orang yang sedang membaca; dsb.

Comments

Popular posts from this blog

Arung, Topanrita dan Relasi Kuasa di Sulsel

Memperebutkan Makna Islam

Obama dan Kita Menjelang Pesta Demokrasi 09